The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 37
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 37 - Kisah Sampingan 3 : Sang Banteng, Sang Singa, dan Sang Dewa Maut
Atas perintah Veloce, tirai-tirai diangkat untuk memulai penyerangan ke Benteng Cyrus.
Di Perang Pembebasan yang sebelumnya, benteng kecil itulah yang jatuh dalam serangan orang biadab itu.
Namun, Veloce tahu bahwa sejarah yang ditulis oleh Kerajaan Baru itu diubah dengan cara yang mengerikan.
Adalah Schera yang membesarkannya, mendidiknya, dan hingga sekarang, memimpinnya.
Walaupun ia telah mendengar rincian yang takkan diceritakan, Veloce tahu bahwa ialah sang ‘Dewa Maut.’
Ia akan membuat lelucon bahwa ia adalah ‘Schera Zade II’, namun ia tak boleh membuat kesalahan.
Dari ia bertemu dengan Schera, tak ada perubahan sama sekali pada Schera. Faktanya, seolah waktu sudah berhenti bagi Schera.
Ialah perwira wanita itu, yang memimpin para prajurit di bawah bendera hitam dengan emblem gagak putih, yang mengayunkan sebuah sabit besar dengan tubuhnya yang mungil.
Sejak hari pertamanya, ia yang telah menonton setiap peperangan Schera yakin bahwa, “Inilah orang yang merupakan sang Dewa Maut, Schera Zade.” –Dan kemudian, ia bertanya-tanya. Mengapa orang-orang di sekitarnya tak pernah mempermasalahkan fakta bahwa ia tak pernah menua?
Mungkin itu menakutkan. Itu, ‘kesesatan’ karena orang-orang di Gereja Bintang tak pernah menua.
Ada sebuah kesempatan bahwa ia akan dikenali sebagai ‘Dewa Maut’ yang sebenarnya. Mungkin, jika seseorang mengatakannya langsung, mungkin nyawa mereka akan langsung dicabut.
Walaupun Paus adalah posisi yang berhubungan dengan keagamaan, itu tetap merupakan seseorang yang diberi posisi ‘Jenderal Bintang’. Juga, Schera memiliki sejarah karir dalam masalah penyelidikan. Merupakan sesuatu yang tak terduga bahwa seseorang yang sehebat itu akan menjadi sesat.
Jadi, orang-orang yang berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang mencurigakan soal hal ini akan menutup mulut mereka. Ini adalah sesuatu yang merupakan kegemaran Schera dan tak boleh ada yang mencurigainya. Veloce tak memedulikan kemungkinan bahwa Schera adalah sang Dewa Maut, karena Schera adalah orang yang membesarkannya sejak ia dikurung.
Schera membuatnya bisa membalas dendam pada Kerajaan Baru, yang telah melenyapkan keluarga dan rumahnya. Juga, Schera telah mentraktirnya makanan lezat.
Dewa Maut atau bukan, itu tak masalah. Schera adalah penyelamatnya, pemimpinnya, tuannya, dan pendampingnya.
–Dan, tak ada yang sejelas Schera sebagai ‘keluarganya’. Schera mungkin menyangkal hal ini, namun seperti itulah pemikiran Veloce. Jika itu hanyalah pemikiran, maka Schera takkan peduli. Jadi, untuk menyelesaikan dendam yang ia miliki, Schera berdiri sebagai kepala unit dan memberikan perintah.
“Hancurkan semua dinding dengan batu! Serang prajurit-prajurit kastel dengan panah! Serang, serang, serang! Bertempurlah seperti api yang dahsyat dan jangan biarkan mereka beristirahat!”
“Veloce, sebentar lagi, dan panah kita akan siap ditembakkan!”
“Apa menurutmu kalau panah itu mendarat di belakang prajurit, mereka takkan datang padamu?!” Ia meraung pada prajurit yang terdiam dan mengayunkan tombak kapaknya ke sekeliling, menjatuhkan panah-panah yang berdatangan. Staf Perwira Dima memegang sebuah perisai besar di sampingnya. Parit itu sangat dalam dan jembatan tariknya telah dinaikkan. Di atas dinding-dinding kastel, para pemanah berbaris dan berdiri. Jawaban diberikan oleh anak panah musuh sebelum mereka mulai menyerang benteng dengan batu.
Mereka tak bermaksud untuk terlalu keras. Tujuan mereka adalah melanjutkan sebuah serangan yang berat dan menurunkan semangat beserta energi musuh. Kemudian berubah menjadi serangan penuh saat energi musuh habis. Itu adalah pendapat Kepala Staf Perwira Dima bahwa kekuatan militer mereka lebih dari cukup dan taktik biasa bisa digunakan, Veloce juga tak membantahnya. Di sisi lain, perwira Kerajaan Baru, Mizeru Catefu, yang tertahan di dalam Benteng Cyrus melihat bahwa penyerangan dilakukan tanpa pasukan yang bersatu dan menyadari bahwa takdir mereka telah disegel.
Musuh masih di sana dan hanya pemimpin mereka yang menyerang. Di sisi lain, para prajurit yang bertahan memiliki perang mereka sendiri. Setelah beberapa hari, pasukan utama akan tiba dan tampaknya akan ada serangan lainnya. “Ini sejarah yang terulang, namun ini terlalu awal. Ini tak tergantung pada nama dan jalan sang Singa.”
Saat Mizeru tersenyum ironis, ia mengeluarkan sebuah peta, segera menghancurkannya, dan membuangnya. Melihat kembali atau berusaha membalikkan keadaan perang adalah sesuatu yang sia-sia. Peperangan ini adalah kekalahan mereka.
Keadaan Kerajaan Baru hanya bisa dikatakan sangat menyedihkan. Di bawah perintah Gereja Bintang, semua gereja bangkit bersama. Memanfaatkan hal itu, kekuasaan yang lebih unggul, yang tak puas dengan Kerajaan Baru, berkumpul dan ikut serta dalam perang ini. Tak perlu dikatakan lagi bahwa hati mereka yang sebenarnya hanya mementingkan ambisi.
Keyakinan mereka yang sebenarnya.
Faktanya, Pasukan Kekaisaran Gereja Bintang dari barat dan Pasukan Kesatuan Gereja Bintang dari selatan menyerang. Alasan mengapa semua negara mengutus prajurit mereka adalah, tak lebih dari menghindari kemarahan Gereja Bintang, mereka takkan mampu menahan api yang ada di kaki mereka,
Kekaisaran memiliki ketakutan di hati mereka. Sebagai hasil rezim boneka yang terus berlangsung di Kerajaan Baru, monster-monster yang sebelumnya tertidur membuka mata mereka.
Mereka tak sadar bahwa mereka dipenjarakan oleh ketakutan mereka sendiri dan meminjamkan kekuatan mereka pada ahli Bintang, dan mereka memperpendek nyawa mereka sendiri.
Setelah kejatuhan Kerajaan Baru, diduga bahwa, di bawah pengaturan Gereja Bintang, pemerintahan yang dibagi di antara para pangeran akan dilakukan. Inilah era di mana kompetisi dan kesombongan berada di atas kekuasaan. Ini hanya akan memperbanyak kerajaan-kerajaan dan kekuasaan. Karena anggota yang berpartisipasi dalam perang ini sayangnya bisa mengingat rasa kemenangan.
Saat-saat yang penuh masalah akan kembali lagi. Mizeru yakin akan hal ini.
“Mizeru. Kita takkan dikalahkan. Prajurit-prajurit kastel basih bersemangat dan kita dengan keras kepala akan terus bertahan. Kita tak boleh menyerah!”
Sambil menatap staf perwiranya yang bertugas, Mizeru berbicara, mengejek dirinya sendiri.
“Itu benar. Kau juga mengerti, ya kan? Sekarang kita tak mungkin bisa pulih. Takkan ada kesulitan jika kau bisa memenangkan sebuah perang hanya dengan antusiasme dan semangat…”
Tentu saja, gerbang-gerbang benteng belum roboh. Tapi ini hanya masalah waktu. Takkan ada bala bantuan yang datang, hanya musuh. Adalah lelucon bahwa mereka belum dikalahkan dan tak ada yang perlu ditertawakan.
Kebanggan takkan mengizinkannya membicarakan tentang kelemahan. Ayahnya yang heroik takkan mengizinkannya. Namun pada awalnya, memang tak diketahui apakah Mizeru diperbolehkan untuk menyerah atau tidak.
“Perang Pembebasan sebelumnya sepenuhnya merupakan kebalikan dari hal ini. Bagaimana hal ini akan dilukis dalam sejarah? Jika aku bisa, aku takkan membiarkan diriku disebut sebagai seorang pengecut.”
Pemenanglah yang menulis sejarah. Para pemenang selalu benar. Semua kecacatan akan diberikan pada yang kalah. Kali ini, adalah mereka, merekalah, yang akan merasakan ini.
Cairan kemenangan yang manis untuk pemenang, dan cairan asam untuk yang kalah. Mungkin merupakan keberuntungan karena ayahnya bisa merasakan hal ini sekali seumur hidup, dalam waktu yang lama.
Kalau dipikir-pikir, hidup Mizeru selama dua puluh delapan tahun ini seperti yang ayahnya katakan. Karena menurutnya itu alami. Kata-kata seorang pahlawan adalah kebenaran. Dirinya yang bodoh seharusnya bertindak berdasarkan hal itu.
Memikirkan maut, Mizeru ingin mencobanya sendiri. Menurutnya akan lebih baik jika ia akhirnya melakukan apa yang ia inginkan.
Ia tak takut akan maut, namun hal itu entah bagaimana tak bisa diterima dan harus dihancurkan tanpa arti.
Berdasarkan informasi para pengintai, Veloce Gale memimpin sisi penyerang. Garis keturunan Jenderal Yalder yang telah mengambil nama ‘kegigihan’ di Kerajaan lama. Sebagai seorang lawan, tak ada yang kurang darinya.
“Staf perwira. Bawa perkamen ini pada musuh untukku. Ahh, persetujuan ayah tak diperlukan sekarang.”
Setelah menulisnya dengan cepat, ia menyerahkan perkamen itu pada staf perwiranya.
“Namun, jika Yang Mulia Fynn tak menyetujui ini…”
“Komandan benteng ini adalah aku! Komandan Kavaleri Singa adalah aku! …aku bukan boneka ayahku. Tentu, tak ada yang peduli apakah aku akan lewat atau tidak.”
“…”
“Ini permintaan pertama dan terakhirku.”
“…Baik! Saya akan segera mengantarkan ini.”
Setelah menundukkan kepalanya dengan hormat, staf perwira itu pergi. Dalam ruangan itu, hanya tersisa Mizeru.
Seperti yang ia duga, ia menyadari bahwa tak ada yang bisa ia lakukan.
Seperti yang ia duga, isi perkamen itu telah dipastikan. Tak masalah dengan cara apa ia akan jatuh. Tak mungkin itu akan sampai pada ayahnya.
“Baiklah, aku sudah berjalan dengan bahagia. Tapi… dengan kata lain, apakah ini akhirnya?”
Mizeru bersandar dalam-dalam di kursinya dan menatap langit-langit, dan seolah ingin mengeluarkan bebannya, ia mengembuskan napas dalam-dalam.
Di markas Pasukan Kesatuan Gereja Bintang, Dima, yang menerima laproan pembawa pesan itu, sedang berkunjung. Ekspresinya bengis tak seperti biasa.
Karena orang yang ada di hadapannya telah membuat keputusan yang kurang optimum.
Ia ingin menghancurkan laporan itu, namun itu akan menjadi tindakan semena-mena. Itu bukan hal yang bagus dilakukan oleh seorang staf perwira.
Setelah beberapa saat, ia mulai berbicara dengan Veloce, yang menatap bagian depan benteng dengan tatapan jahat.
“…Veloce.”
“Ada apa, Dima?”
“Sebuah perkamen tiba dari komandan Benteng Cyrus, Jenderal Mizeru. Apa kau mau memeriksanya?”
“Sebuah tawaran kapitulasi? Kalau begitu ini tak bersyarat, aku tak masalah, kita bisa menerimanya. Kalau itu lebih daripada itu, tolak saja.”
“Ah, bukan itu. ..Ini sebuah permintaan untuk pertarungan dengan Yang Mulia Veloce.”
Veloce mengambil perkamen itu dari Dima dan memindai isinya untuk memastikannya.
Seolah untuk menunjukkan kegembiraannya, wajahnya perlahan-lahan memerah.
Isi surat itu adalah:
–Jenderal Mizeru dari Kerajaan Baru, yang bertanggung jawab atas pertahanan Benteng Cyrus, menantang Tuan Veloce Gale untuk petarungan satu lawan satu yang adil dan konvensional. Dengan mempertaruhkan kehormatan keluarga dan bersumpah untuk tak menggunakan trik-trik atau perangkap.
Jika Veloce menang, benteng akan menyerah, tetapi juga, saat itu, semua prajurit selain Mizeru diperbolehkan meninggalkan benteng.
Jika Veloce kalah, dijanjikan bahwa gerbang benteng akan segera dibuka dan para prajurit akan menyerah dan melucuti senjata mereka masing-masing. Ia sadar bahwa tak ada keuntungan dari pihak yang dominan, namun ia mengharapkan jawaban yang positif dari sudut pandang seorang prajurit.
Itu sebenarnya merupakan proposal yang sepenuhnya tak masuk akal. Sangat hingga Dima berpikir ingin menghancurkannya saat ia membacanya.
Ide itu tak mengetahui level kebodohan yang lebih tinggi, itulah, dengan dua pasukan besar yang saling berhadapan, kedua pemimpin menyudahi perang dengan melakukan pertarungan satu lawan satu.
Lagi pula, mereka adalah pihak yang dominan, dan dalam keadaan akan mendapat kemenangan, jadi menghibur musuh dengan menyetujui undangan ini tak diperlukan.
…itulah, dari sudut pandang pikiran orang biasa.
Mereka telah mengenal satu sama lain selama sepuluh tahun. Sangat mudah untuk memprediksi apa yang akan dikatakan oleh wanita ini. “Aku ingin menerima ini.”
“…Aku tak bisa mendengarmu. Maaf, bisakah kau ulang itu satu kali lagi?”
“Aku bilang aku mau menerima tantangan untuk pertarungan ini. Entah aku menang atau kalah, benteng akan tetap jatuh. Tak masalah. Tak ada gunanya menumpahkan darah lebih jauh lagi.”
Dima menggosok matanya tanpa berpikir dan mendongak ke arah langit.
Ia berpikir bahwa ini bodoh, tapi ini hanya gila.
Tak ada jaminan bahwa musuh akan menepati janji yang ia buat.
Jika Veloce dikalahkan, semangat musuh akan meningkat. Jika janji tak ditepati musuh, maka untuk merobohkan benteng itu akan diperlukan tenaga dan waktu yang lebih.
Di sisi lain, bahkan jika Mizeru dikalahkan, tak ada artinya jika musuh menutup gerbang benteng.
Karena sang pahlawan, Fynn dari Perang Pembebasan, berada dalam benteng.
Bahwa ia akan menyerah dengan mudah takkan pernah terpikirkan oleh mereka.
“Tolong jelaskan padaku. Tak ada jaminan bahwa musuh akan menepatinya. Kita harus mengabaikan ini dan lanjut menyerang. Kita memiliki kekuatan sepuluh kali pasukan mereka. Dan, kapan pun, kita bisa menyerang.”
“Walaupu begitu, aku harus menerima ini. Untuk menghindari tak menghormati nama ‘Kegigihan’ kakekku, kita hanya bisa bertarung sekarang.”
Dirinya yang percaya diri dan tegas tak bisa memahaminya sama sekali. Ia tahu Veloce menggenggam erat kehormatan keluarganya.
Namun hal itu berbeda dengan situasi ini. Jika ia menyatakan pendapatnya sebagai seorang Staf Perwira, ia hanya akan dianggap bodoh dan gila. Namun ia bisa memahami bahwa jika ia seorang perwira, mungkin ia akan merasakan hal yang sama.
Jika demikian, mustahil bisa mengubah keputusan Veloce. Wanita ini tak bisa dihentikan; ketika dia sekali mengatakan sesuatu, ia akan melakukannya. Seperti seekor banteng yang baru saja melihat sesuatu yang merah, ia akan menyerangnya tak peduli di mana benda itu berada.
Itu merupakan pesona sekaligus kelemahan terbesarnya. Karena ini, Dima melayani Veloce.
“Apakah ada ruang kau akan mempertimbangkan ini lagi?”
“Tidak. Tetapkan waktu dan harinya di sini. Siang besok, bawa ini ke depan benteng dan sampaikan pesanku.”
“…”
“Apa jawabannya, Dima?”
“Dimengerti. Serahkan semuanya padaku.”
Dengan suara baju zirahnya yang berdenting, Veloce pergi. Ia tampaknya akan bersiap-siap untuk pertandingan yang akan segera terjadi.
Jik proposal mereka yang terbaik ditolak, Staf Perwira harus melaksanakan tindakan yang terbaik.
Dima menggelengkan kepalanya, dan dengan langkah berat, ia berjalan menuju tempat penyihir dengan ‘kulit yang buruk’.
Jika untuk Veloce, ia akan menggunakan segalanya. Itulah peraturan dasar Dima.
.
.
.
–Keesokan harinya.
Katarina yang telah menerima laporan Dima, muncul di depan Veloce.
Ketika mengenakan kerudung merah muda yang dipakai oleh seorang penyihir, ia menampar wajah Veloce dengan kilatan cahaya.
Suara kering bergema, dan untuk sesaat, Veloce yang biasanya berdiri dengan tegap kini lututnya tampak gemetar. Ia agak kehilangan kesadaran akibat tamparan itu.
“A-apa ini!?”
“Ini untuk mengambil keputusanmu sendiri! Satu cambukan akan lebih efektif untuk seekor banteng daripada kata-kata, benar? Jika menggunakan kata-kata tak berguna dari awal akan lebih baik jika membuatmu mengerti dengan tubuh.”
“Ka-katarina! Jangan perlakukan manusia seperti binatang!”
Ia dengan kuat mencengkeram dagu Veloce dan mendekatkan wajah Veloce padanya.
Seseorang mungkin akan menyangka Veloce akan melampaui kekuatannya, namun Veloce tak mampu bergerak. Ia seperti katak yang ditangkap oleh seekor ular, ia tak bisa menggerakkan tangan dan kakinya.
Wajahnya yang membiru diberi perintah dari bibir Katarina yang berkilat aneh.
“Hei, kepala banteng. Kau takkan tertolong jika seperti ini. Jika kau melanggar janjimu, kau bisa menurunkan semangat pasukan kita. Kau harus menang! Bahkan jika kau mati, kau harus menang! Kau tak perlu khawatir akan dikalahkan. Kami akan mengangkat tubuhmu selamanya hingga membusuk. Oke? Kau tak boleh mengotori nama Schera.”
Katarina membisikkan berbagai hal buruk dengan lidahnya yang mirip seperti ular. Wanita ini benar-benar mampu melakukan apa pun. Sejak kecil selama pelatihannya, ia pernah terbunuh.
Schera adalah orang yang tak pedulian, namun ia pada dasarnya sangat lembut. Bahkan jika seseorang gagal melakukan sesuatu, ia akan memaafkan. Namun gadis ini berbeda,
Ia benar-benar seorang iblis.
Veloce mengingat kembali traumanya, namun ia menahannya. Karena ia sekarang adalah seorang komandan. Ia tak diperbolehkan untuk takut.
“Te-tentu! Ey, aku akan menang!”
“Kepala banteng akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal sulit, jadi lakukan saja satu hal. Apa pun yang terjadi fokuslah pada pertarungan. Jangan lepaskan pandanganmu dari musuh. Benar, apa kau mengerti?”
“Ya.”
“Suaramu terlalu kecil! Katakan dari dasar perutmu dengan keras!”
“Dimengerti! Aku takkan mengalihkan pandanganku dari musuh!”
“Oke bagus. Lakukan yang terbaik. Schera juga mengatakan ini.”
“Ya. Aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku.”
Veloce mengembuskan napas dengan kedua pipinya dan mencoba mengatur suasana hatinya agar kembali normal.
Melihat ini, Katarina meremas lehernya dan pergi melalui teras.
.
.
.
Pertandingan yang sebenarnya akan dilakukan di garis batas perang.
Namun, ada kemungkinan tombak akan menusuk dari samping.
Dari benteng, mereka akan menjadi target yang mudah atas tembakan yang dibidik dengan benar.
Untungnya, ada segunung mayat di dalam benteng.
Katarina, dengan gerakan yang biasa, mencabut beberapa tongkatnya dari rerumputan, ketika ia measukkan mantra dengan matanya, tubuh-tubuh yang terkubur dalam benteng bereaksi.
Walaupun mayat-mayat itu sangat jauh, menjalankan mereka sangat mudah, bahkan dengan seratus mayat.
Saat ahli nujum itu menggerakkan mulutnya, dalam gerakan lambat, mereka mulai berjalan. Saat itu tiga jam sebelum perang.
.
.
.
–Bagian depan Gerbang Benteng Cyrus.
Kedua pasukan saling menatap Veloce dari Gereja Bintang dan Mizeru dari Kerajaan Baru yang saling berhadapan. Sambil mengendarai kudanya dan menutup jarak di antara mereka, Mizeru mulai berbicara.
“Aku berterima kasih setulus-tulusnya karena tawaran egoisku telah diterima. Aku telah memberi perintah bahwa jika aku kalah, para prajurit akan menjatuhkan senjata mereka dan menyerah. Janji ini, tanpa gagal, akan dilaksanakan.”
“…Dan jika kau menang, apa tak masalah? Kami tak memiliki jaminan bahwa kalian akan menepati janji.”
Saat Veloce berbicara, Mizeru mengangguk. “Aku Mizeru Catefu! Aku telah menerima kekuatan singa dari ayahku, dan aku akan menunjukkannya padamu!”
Ia menaikkan tombaknya tinggi-tinggi yang membuat benteng di belakangnya bergetar karena kebanggaan dan meneriakkan namanya. Para prajurit Kerajaan Baru yang bertahan itu berteriak.
Veloce merespons hal ini, melanjutkan, “Aku Veloce Gale. Akulah Veloce sang ‘Banteng Merah’. Ayo mulai!!”
Dengan menendang perut kudanya, Veloce memacu kudanya menuju Mizeru, sambil menggenggam senjatanya. Bulu-bulu merah di helm yang ia gunakan melambai-lambai di udara.
Mizeru, yang menemuinya, memutar tombaknya dan mengangkat harapannya. Ketika momentum membuat tombak dan tombak kapak itu bersilang jalan, ada sebuah suara tumpul yang bergema.
Kemampuan dahsyat kedua sisi telah memulai peperangan mereka.
Pertahanan maju dan mundur. Kuda ditunggangi, berjumlah lusinan. Inilah tempat di mana yang menang tak bisa diperkirakan.
Ketika sebuah tombak diacungkan, benda itu bertemu dengan serangan yang kuat. Tombak kapak itu diangkat ke atas dan ditusukkan ke bawah dengan serangan yang keras.
Mizeru mengelak dengan tombaknya di jarak yang setipis kertas, dan peperangan yang dahsyat itu dimulai kembali. Peperangan di atas semua peperangan di antara kedua nama militer yang hebat itu dimulai, dengan kedua pasukan mereka yang menonton.
Sepuluh orang prajurit menonton pertarungan mereka dengan dingin dari dinding-dinding kastel. Bukan Mizeru, para prajuritlah yang melapor langsung pada Fynn.
Mereka secara spesifik dipilih sebagai penjaga karena kepandaian mereka dalam memanah. Kesetiaan mereka tak tergoyahkan dan mereka adalah prajurit-prajurit unggul yang akan melaksanakan sepenuhnya apa pun perintah Fynn.
Mereka mendapat satu perintah dari Fynn, “Tutup celahnya, dan tembak jenderal musuh.”
Mereka diberi tahu bahwa bahkan jika Mizeru terkena panah, ia tak peduli.
Fynn telah memutuskan bahwa usulan Mizeru untuk melakukan pertarungan adalah sesuatu yang bodoh, dan pada akhirnya, menentangnya.
Tetapi ketika Mizeru melaksanakannya, Fynn telah dengan dingin memberi tahunya untuk melakukan apa pun yang ia inginkan dan Fynn memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil posisi bertahan.
Di saat yang sama, walaupun Fynn telah memutuskan untuk mengabaikan anak kandungnya, Mizeru tak menyadarinya.
Satu-satunya yang Fynn cintai adalah istrinya, Milla. Setelah Milla meninggalkan dunia ini, Mizeru tidak seperti putranya namun lebih tampak seperti bawahannya, dan ia secara sadar membuat jarak di antara mereka. Mereka sudah tak membicarakan masalah keluarga selama bertahun-tahun.
Mustahil baginya untuk mengakui bahwa Mizeru, yang lebih rendah darinya di segala aspek, adalah ‘pewarisnya’. Ini karena rasa percaya diri yang kuat dalam dirinya bahwa kejayaan ‘Jenderal Singa’ adalah sesuatu yang ia bangun sendirian.
“Bersiap! Tembak saat kuberi sinyal!”
Penembak jitu yang paling terlatih dalam tim itu mengambil alih komando.
Untuk mengeksekusi perintah Fynn, ia mengincar dua orang yang terlibat dalam peperangan hingga mati itu. Karena dua orang itu terus bertukar posisi, dan mereka sulit dibidik.
Namun, sambil menutup salah satu matanya dan menajamkan inderanya, pemanah terlatih itu dengan perlahan mengambil panah besinya. Angin yang bertiup berlawanan itu adalah masalah, namun panah yang seberat ini bisa mengatasinya.
Jika sebuah panah yang direndam dengan racun menusuk dengan tepat, maka panah itu akan menjadi permata yang pasti akan merenggut hidup Veloce.
Pemanah itu dengan kuat menarik tali busur yang ketat dan melatih pandangannya.
Dengan tarikan napas dalam, ketika genggaman di tangan kanannnya ia lepaskan, ia membelalak sesaat. Ketika seseorang berpikir bahwa mayat-mayat yang berada di belakang pemanah itu berdatangan, sebuah sinar putih meledak.
Suara pekikan yang kuat itu sangat dahsyat dan entah orang yang berada di dalam ataupun di luar benteng, semuanya memperhatikannya. Sesuai insting mereka. –Ini, kecuali satu orang.
Tak mengambil jeda sedikit pun yang dilakukan oleh semua orang, tombak Veloce membuat kontak yang sangat dalam di pinggul Mizeru.
Mata tombak kapaknya telah menghancurkan baju zirah Mizeru, merobek daging yang tebal dan masuk ke organ dalam musuhnya.
Sambil berteriak kesakitan, Mizeru terjatuh dari kudanya, berdarah. “Curang. Ey- aku, setelah semua ini. –Ibu.”
Veloce mengatur napasnya dan menyeka darah dari senjatanya.
Setelah turun dari kudanya, ia mendekati Mizeru yang menderita.
“Apa kau memiliki kata-kata terakhir??”
“Ba-bagaimana, takdir seorang praju-“
“Janji itu akan ditepati tanpa gagal.”
Schera sepenuhnya akan menepati janjinya. Jadi Veloce juga.
Mizeru mencicitkan kata-kata terima kasih dan menutup matanya.
Setelah membantu tindakan bunuh dirinya, Veloce membungkuk.
Setelah itu, ia mengangkat tombak kapaknya, memenangkan kemenangan yang luar biasa.
“Jenderal Mizeru telah dikalahkan oleh Veloce!! Kita telah menang!!”
Ada teriakan dari sekeliling prajurit Kesatuan.
Veloce telah menang dari lawan yang kuat, dalam pertarungan yang seperti dongeng.
Semua orang merasa bahwa seorang pahlawan baru telah terlahir.
Prajurit-prajurit dari Benteng Cyrus telah melakukan seperti yang Mizeru katakan, mereka melucuti senjata mereka sendiri dan bahkan tak ada yang bisa melihat perlawanan dari mereka.
Dengan peristiwa yang besar karena telah membunuh sang ‘Jenderal Singa’, keletihan perang terjadi dan mereka telah kalah dalam perang.
Veloce melakukan seperti janjinya dan mengampuni nyawa para prajurit kastel. Katarina ingin mencongkel mata mereka namun ia menahan diri.
Ia dan Veloce harus menepati janji. Karena itu merupakan keyakinan Schera.
.
.
.
Sosok Fynn Catefu yang telah menua tampak linglung di benteng.
Dalam kastel dan benteng, terdapat sesuatu yang disebut ‘jalan rahasia’. Jalan-jalan itu dibuat untuk keadaan khusus agar para perwira berpangkat tinggi dan bangsawan bisa melarikan diri.
Para perwira berpangkat rendah dan prajurit biasa tak mengetahui keberadaan tempat ini, dan bahkan walaupun begitu, mereka menyamar dengan cerdas. Jalan-jalan rahasia itu sangat sempit hingga hanya beberapa orang yang bisa melewatinya.
Namun, dalam catatan sejarah, kegunaan jalan-jalan ini sebenarnya hanya ada sedikit.
Namun tak diketahui apakah mereka yang memilih kematian yang penuh hormat mengetahui atau tidak tentang keberadaan jalan-jalan ini.
Jenderal Fynn berlari sepanjang jalan yang sempit, lembap, dan redup itu.
Ia meninggalkan kuda favoritnya selama bertahun-tahun. Juga ada lebih dari tiga puluh prajurit dan senior yang menemaninya.
Fynn belum gugur. Ia yakin ia masih memiliki kesempatan.
Untuk seorang pahlawan yang hebat dari Perang Pembebasan. Ia adalah salah satu dari prajurit-prajurit spesial yang telah menerima pembebasan ibu kota.
Bahkan jika Kerajaan Baru jatuh, ia akan menghormati saat-saat itu. Selama ia masih hidup, ada kemungkinan ia bisa kembali lagi.
Tertutupi kotoran, Fynn menyeka keringatnya dan lanjut berlari ke dalam kegelapan.
Ketika ia semakin dekat dengan ujung jalan yang membuat seseorang berpikir bahwa itu seperti selamanya, cahaya tertumpah dari pintu besar yang tak memiliki bukti telah digunakan selama beberapa tahun ini.
Fynn menggunakan kekuatannya dan membuka pintu yang berkarat itu. dengan kedua tangannya yang menopang, ia melompat. Fynn yang pertama muncul dari pintu.
Baju zirah di tubuhnya basah oleh keringat secara menyedihkan.
–Di sekelilingnya, dipimpin oleh helm yang berbulu merah yang dikenakan oleh pemimpin kavaleri. Seratus orang prajurit Kavaleri Hitam dan seribu orang prajurit mengepung mereka.
Bendera Gereja Bintang dengan emblem tiga bintang beserta bendera hitam dengan emblem gagak putih dengan bangga berdiri di samping mereka. Jenderal dengan bulu merah itu maju.
Fynn mencoba untuk memperpanjang pembicaraan dan menemukan sejenis rencana untuk menerobos. “…Mengapa, kalian tahu jalan ini? Hanya ada beberapa orang yang mengetahui jalan ini.”
“Karena aku berada di benteng ini tiga puluh tahun yang lalu. Namun tak ada yang menggunakannya. Semua orang gugur. Tak ada seorang pun yang kabur, karena semua orang gugur di tempat mereka.”
Saat itu masih siang, namun penglihatannya buruk. Sesuatu seperti awan berkabut berkumpul. Prajurit-prajurit Gereja keheranan, namun Kavaleri Hitam tak terkejut semudah itu.
“Aku takkan melawanmu. Kau tampaknya tak setua itu. Dari mana kau mendengar cerita itu?”
“Aku melihatnya. Puing-puing yang dibakar oleh ‘Pasukan Pembebasan’ yang sia-sia. Abu bawahanku tersebar seperti abu kentang biasa. Dan ketika aku mengingatnya, hal itu membuatku marah. Jadi, aku takkan membiarkan kalian semua kabur.”
Perwira wanita itu tersenyum ganas, menyingkap kejahatannya. Hampir seolah ia akan menenggelamkan taringnya pada korbannya.
“…? T-tunggu! Sialan kau!”
Atas kata-kata terakhir orang itu, Fynn mengingat orang-orang yang sudah tiada. Orang itu mencoba mengingatkannya atas sesuatu yang terukir pada dirinya.
Luka di punggungnya terbakar dengan rasa sakit.
“Kalian semua, lebih busuk dariku!! Kalianlah yang mengambil makanan terakhirku!! Aku takkan pernah, takkan pernah membiarkan ini!!”
Fynn menatap perwira wanita di hadapannya dengan ekspresi keterkejutan. Wanita itu menatapnya dengan seringai ganas.
Tinggi itu dan senjata itu, dengan wajah yang tak berubah dari saat itu. ini bukan kesalahan, ini gadis itu. “—De-Dewa Maut Schera? Ini bodoh.”
“Apa kau akhirnya sudah ingat?”
“De-Dewa Maut, tapi kau sudah mati. Kau bahkan sudah dirobek-robek! Bagaimana kau bisa di sini sekarang!?”
Tanpa menjawab pertanyaan Fynn, Dewa Maut itu dengan senang menyatakan, “Tentunya saat itu kau terlalu sibuk untuk peduli. Sekarang, biarkan kami melanjutkannya di sini. Tak perlu khawatir, takkan ada apa-apa. Aku akan memberikan lawanku kesempatan untuk bertarung. Jika tak melakukannya maka akan tak adil.”
Dewa Maut yang turun dari kudanya itu melambaikan sabitnya di atas kepalanya, dan dengan nafsu membunuh, ia mengarahkan ujung tajamnya ke arah Fynn.
“Dengan segala hal tentang Dewa Maut. Apa yang kau lakukan padanya terakhir kali adalah pilihan terakhirmu yang telah salah kau buat.”
Fynn menatap sekelilingnya sambil mencengkeram tombaknya. Sejauh yang bisa dilihatnya adalah prajurit lawan.
Untuk mundur adalah neraka, dan untuk berhenti adalah neraka. Tidak, mungkin ia akan segera mati.
Ini pasti halusinasinya. Mungkin ia seharusnya memilih kematian yang penuh hormat di benteng.
Dewa Maut, yang dipenjarakan oleh kebencian, muncul untuk menyeretnya.
Apa yang terjadi pada Mizeru, putranya? Ia menghilangkan pemikiran itu, ia hanya memedulikan kebodohannya sekarang. Jika Milla melihat ini, apa yang akan ia katakan?
Setelah tertawa kering, Fynn menyiapkan dirinya untuk sesuatu yang tak terhindarkan lagi dan tombaknya menghadapi sang Dewa Maut.
“…Tak masalah, kau adalah hantu menyedihkan yang diselimuti kebencian. Fynn ini akan memberimu arahan.”
“Dengan hal-hal hebat yang kau katakan, kaki dan tanganmu gemetar.”
“D-diam! Aku akan menikammu dengan tombak ini!”
Fynn mulai menggoyangkan tombaknya dengan kekuatan seluruh tubuhnya.
Kau mungkin berpikir caranya menggunakan pedang masih setajam seperti masa kejayaannya, dan sehebat itu.
Namun ia bahkan tak mampu mengenai sang Dewa Maut. Dewa Maut telah menghentikan semua serangan tombaknya, mundur, dan menggoyangkannya.
Perlahan-lahan, Fynn mulai kelelahan. Napasnya memberat dan ritme serangannya menjadi tak menentu. Ketika kakinya melemah, ia mendapat serangan di perutnya oleh sabit sang Dewa Maut.
Inti tubuhnya menderita kerusakan yang berat dan hebat dari atas baju zirahnya.
Pergerakan Fynn terhenti. Tampaknya ia hanya mampu berdiri karena ditopang oleh tombaknya.
“Ah, ah sialan! Mengapa kau tak datang dan menyerang!?”
Ketika waktu berlalu, serangan akan datang. Ia tahu dengan jelas bahwa serangan itu akan datang.
Fynn tak bisa menahannya.
“Menurutku aku akan membunuhmu ketika taring sang Singa telah berserakan. Hingga saat itu, kau bisa menggoresku sesukamu. Karena aku akan menerima semuanya. Tapi, aku pasti akan membunuhmu.”
Sang Dewa Maut menggerakkan mulutnya dan jantung Fynn rusah.
Ini hanya seperti binatang buas pemakan daging yang menatap diri mereka sendiri menyantap mangsa mereka.
Ketika ia memuntahkan gumpalan darah, Fynn melempar tombaknya.
Semua bawahan Fynn menutup mulut mereka, mencoba menahan teriakan mereka yang akan segera keluar. Inilah ombak yang tinggi. Ia bahkan tak ingin memikirkan tentang bagaimana ia akan diterima di catatan sejarah yang akan datang.
“—Bunuh aku! Tapi, ingatlah Dewa Maut! Suatu hari, akan datang saatnya di mana kau akan menerima balasanmu. …ini pasti. Ini sama untuk kami, dan akan sama untukmu.”
“Aku cukup tahu tentang hal itu, karena itulah aku tak menyetujuinya. Itulah mengapa aku melakukan ini.”
“A-apa?”
“Baiklah, selamat tinggal.”
Saat gadis itu tersenyum, dua Dewa Maut muncul dari belakangnya. Wajah tengkorak mereka berubah-ubah dan mereka berbicara.
Atas pemandangan ini, Fynn meragukan matanya, dan bahkan kewarasannya.
Ia langsung menutup matanya, lalu perlahan-lahan membiarkan cahaya masuk, dan di sana terdapat senyum polos seorang gadis.
Itulah hal terakhir yang dilihat Fynn.
Dewa Maut, seolah melakukan pertunjukkan , mengayunkan ketiga sabit mereka dan mengarahkannya ke tubuh Fynn. Dengan satu serangan, darah memancar dari tangan kiri dan kanannya, kedua kakinya, tubuh dan lehernya terbang.
Tubuh bagian atas dan bawahnya terpisah dan baju zirah dan dagingnya yang tersisa bercampur dengan sesuatu yang tak bisa ia kenali.
Seketika, teriakan menyedihkan Fynn yang terpisah itu terdiam.
Dalam kabut putih itu, sebuah kabut merah muncul dan berkumpul, untuk mengincar kepalanya, mata sabit itu memotongnya. Saat mereka mengangkatnya tinggi-tinggi, gadis muda itu menatap Kavaleri Hitam dan berteriak,
“Jenderal Fynn, telah dikalahkan oleh ‘Banteng Merah’. Veloce!!”
Di tengah-tengah kabut yang tebal, kavaleri sang Maut menaikkan suara mereka, untuk merayakan kemenangan tuan mereka.
Orang-orang yang menatap prajurit Schera mengakui bahwa Velocelah yang telah mengalahkan Fynn.
.
.
.
Membuka helm berbulu merah itu, Schera menyeka darah dari wajahnya.
“Ahh, aku lapar.”
“Bagus sekali, Yang Mulia Schera.”
“Terima kasih banyak.”
Schera dengan senang melemparkan sebuah permen ke dalam mulutnya, yang Katarina berikan pada semua anggota kavaleri.
.
.
.
“Itu pasti karena saat itu. Itulah, saat Veloce dikenal sebagai ‘Banteng Merah’. Walaupun ia tampaknya lebih ingin dipanggil dengan ‘Bulu Merah’.”
Dima memprotes pada Katarina tanpa berpikir.
Veloce, yang tak berharap untuk dipanggil sebagai hewan liar, mengenakan helm berbulu merah. Walaupun ia berkata ia merasa hebat dengan bulu merah, merupakan penyesalan baginya karena ia dipanggil sebagai Banteng Merah.
“Banteng Merah lebih cocok denganmu! Dengan kepala banteng itu, penilaian Schera akan benar-benar luar biasa!”
Velocelah yang telah mengalahkan kedua Jenderal Singa. Awalnya, ketika Katarina bertanya pada Schera mengapa ia memberikan nama Banteng Merah, alasannya adalah karena sapi itu lezat. Katarina yang percaya mengangguk berkali-kali sambil mengatakan, “Yang Mulia Schera seperti biasa.”
“Omong-omong, mengapa Schera memberi Veloce nama itu, saat itu? Karena itu, Veloce merasa bermasalah. Tak peduli seberapa banyak ia menyangkalnya, ada banyak cemoohan dari orang-orang.”
“Ahh, aku tak tahu. Namun, Yang Mulia tampaknya tak masalah sama sekali.”
Apa yang Schera inginkan adalah Benteng Cyrus. Jadi ia tak memerlukan jasa di atasnya. Mengapa ia membiarkan Veloce mengambil penghargaan? Katarina tak mengerti. Mungkin itu adalah bayaran untuk Yalder? Atau mungkin itu hanya tingkahnya?
Apa pun itu, Veloce mendapat nama baru dan rasa malu yang menyelimuti Rumah Gale sepenuhnya hilang.
“…tolong izinkan aku bertanya satu hal lagi. Berapa umur Yang Mulia Schera dan dirimu?”
“Yang Mulia tujuh belas tahun. Aku dua puluh empat tahun.”
Katarina segera menjawab, sambil menyentuh kacamatanya.
“Hari sebelumnya jawabannya adalah delapan belas dan dua puluh lima. Mengapa kau mengurangi umur kalian setiap satu tahun? Izinkan aku bertanya.”
“Waktu itu ya waktu itu. Yang penting adalah sekarang. Tanpa perlu melihat masa lalu.”
Bisa dikatakan bahwa ia mengatakan sesuatu yang bagus, namun sebenarnya ia hanya mengalihkan pertanyaan.
Tentu, Dima cemas karena fakta bahwa Katarina dan Schera tak menua. Walaupun ia bertanya, hal itu selalu dialihkan oleh mereka.
Omong-omong, karena hal itu bisa berubah menjadi merepotkan, ia awalnya ingin memikirkan sebuah alasan, namun ia benar-benar tak bisa melakukan apa pun.
Dima menggunakan ‘penundaan’, kemudian membuang hal-hal yang merepotkan itu ketika waktunya tiba. “Apa begitu? Jika begitu, untuk sekarang, aku baik-baik saja.”
“Jadi berikutnya, aku ingin bertanya sesuatu, Dima.”
“Silakan tanya. Aku takkan menyembunyikan apa pun.”
“Akankah kau memberi tahuku ketika kau dan Veloce menikah?”
Mendengar kata-kata Katarina yang tiba-tiba, Dima tersedak keras. Bersamaan dengan itu, kacamatanya terjatuh.
Katarina menatap Dima, yang tersenyum menyedihkan, dari balik mantel merah mudahnya. Dima menampakkan mata pemburunya. “Kau sekecewa itu!”
“Ka-Katarina, apa yang kau katakan?”
Dima menyangkalnya, dan mengigit jarinya. Wajahnya yang biasanya pucat mulai memerah. Keringat dingin menjalari punggungnya.
Kepribadiannya yang biasanya tenang telah menghilang dan wajahnya yang menua tampak muncul.
“Aku tahu ada seorang bodoh yang memiliki hubungan tak pantas dengan atasannya.”
“Bagaimana mungkin itu aku!?”
Karena apa yang Katarina natakan sebenarnya kebenaran, suara Dima semakin kuat saat ia berbicara. Ia dan Veloce memang memiliki hubungan yang dalam.
Itu sudah berjalan dari awal. Berlatih bersama. Memiliki perasaan yang sama. Nyaman saat bersama. Kesalahan anak muda. Tapi sekarang—
Tetapi, mereka selalu berhati-hati untuk memastikan tak ada yang mengetahui tentang apa yang mereka miliki itu. Apa yang telah mereka mainkan dengan iblis ini?
“Menggunakan nekromansi, aku membuat seekor tikus bersembunyi di dalam kamar Veloce. Aku membuatnya hingga aku bisa melihat apa pun yang tikus itu lihat dan melihat semuanya dari awal hingga akhir. Aku sangat iri! Aku mengumpulkan semua yang aku lihat dan menulisnya dalam sebuah dokumen agar aku bisa membaca dan memastikannya nanti!”
“Ah, ah tapi-“
“Ada rumor yang menyebar. Bukan hanya di Cyrus, namun juga di Mirad dan di sekitarnya.”
“Dari mana sumberi ru-rumor ini! Aku akan meninju mereka!”
“Sumber rumor itu adalah aku.”
Katarina tertawa dan Dima menggaruk kepalanya sendiri.
“Ah, ah.”
“Jadi, Staf Perwira Dima Art yang tak pantas. Kapan kalian akan menikah? Yang Mulia Schera tampaknya akan menantikannya! Dengan bufet all-you-can-eat. Aku sudah membuat undangannya dengan penuh kegembiraan.”
Saat menyerahkan undangan Schera dari balik dadanya, wajah Dima menggelap. Itu bukan sesuatu yang bisa ia lakukan dalam semalam.
“K-kau idiot.”
“Omong-omong, Veloce tampak seperti ibumu. Kepribadian dan kelakuannya sama, apa kau memiliki semacam jimat khusus?”
Katarina menambahkan dengan fakta-fakta, menghentikan serangannya pada Dima yang memerah. Ia memutar kacang kenarinya sambil tersenyum jahat.
Ibu Dima adalah Matari Art. Ia adalah seorang wanita pemberani, yang merupakan pelatih pedang Katarina.
Sosok Matari dan Veloce tak sepenuhnya sama, namun mereka mirip dalam kepribadian mereka yang sederhana dan mereka berdua tak berpikir sebelum melakukan sesuatu.
–Setelah ini, penyiksaan ahli nujum yang tak mau mengampuni Dima itu berlangsung selama sejam. Tak perlu dikatakan lagi, Veloce akan menajdi penerima perlakuan ini yang berikutnya.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 37 - Kisah Sampingan 3 : Sang Banteng, Sang Singa, dan Sang Dewa Maut
Donasi pada kami dengan Gojek!
