You Are Too Ugly, I Refuse (Kamu Terlalu Jelek, Aku Menolak) - BAB 1
- Home
- You Are Too Ugly, I Refuse (Kamu Terlalu Jelek, Aku Menolak)
- BAB 1 - Malam Yang Sangat Dingin
BAB 1, MALAM YANG SANGAT DINGIN
TL by HellowYellow78
Angin malam berdesir di antara dedaunan. Bulan bersinar seperti bunga brokat yang tampak terang menyinari pasir putih, memantulkan cahaya pada air yang bergelombang, menerangi jarak antara pelabuhan dan laut, merefleksikan cahaya bulan dan bintang-bintang di langit.
Sebuah perahu yang dilukis dengan indah mengapung di permukaan sungai, bagian atap perahu yang tinggi didekorasi dengan indah, cahaya dari lentera istana yang mengkilap menerangi sungai. Tiang-tiang perahu di ukir dengan ukiran phoenix, dan beberapa helai kain tipis yang tampak halus dan lembut, bergoyang dan melambai terbawa angin malam.
“Kakak, aku punya firasat buruk …”, di dalam perahu itu, seorang wanita berbaju merah yang sedang memainkan erhu berbisik kepada seorang wanita yang memainkan pipa di sampingnya. (TL note: pinyin ‘èrhú’, 二胡, adalah alat musik bersenar dua, dimainkan dengan cara digesek seperti biola, dan kadang-kadang dikenal di dunia barat sebagai biola Cina atau biola Tiongkok dua senar).
“Apa yang kamu takutkan, mainkan erhu-mu dengan tenang, hati-hati, kalau sampai nenek melihat kamu tidak serius, nenek akan memarahi kamu sampai mati!
Wanita yang memainkan pipa menatap wanita berbaju merah dan memarahinya dengan lembut. Wanita berbaju merah itu terkejut. Dia menutup mulutnya dan berhenti berbicara, tetapi dia tidak bisa tenang dan menoleh untuk melihat sekeliling. (TL Catatan: pinyin ‘Pípá, 琵琶, adalah alat musik Cina empat senar, termasuk dalam kategori instrumen yang dipetik. terbuat dari kayu berbentuk buah pir. lebih sering disebut Kecapi Cina).
Meskipun saat itu adalah malam musim dingin, wanita dalam perahu itu hanya mengenakan tulle-pakaian yang terbuat dari kain yang sangat tipis cenderung transparan, dan tubuh seputih salju terlihat jelas menjulang indah di bawah tulle yang tembus pandang, sangat kontras dengan para pemuda yang mengenakan balutan beludru di dalam perahu.
Di tengah-tengah perahu, berdiri sosok yang cantik dan menggoda, seorang wanita dengan wajah cantik memakai gaun berwarna merah plum, dihiasi dengan ornamen batu giok yang disematkan secara diagonal, rambut hitamnya dihiasi jepit rambut berbentuk plum terbuat dari batu giok berlapis emas yang digantung di antara bunga-bunga di kepalanya. Sambil menatap ke arah seorang pemuda yang duduk di kursi pada posisi yang letaknya lebih tinggi, pemuda itu terlalu banyak minum anggur, dan mabuk, membuat telinga dan wajahnya memerah. Wanita itu mulai menari dengan sangat gemulai, memutar pinggangnya dan menginjak lantai dansa dengan sangat menawan.
Lonceng perak di pergelangan kaki putihnya bergemerincing di hembus angin dingin, dan dalam sekejap mata, dia menarik cadar merah tipis di wajahnya dan melemparkannya ke arah pemuda itu.
Wanita berbaju merah yang sedang memainkan erhu gemetar karena melihat hal ini dan membuat kesalahpahaman yang sangat tidak menyenangkan – dia jijik.
Angin dingin menderu ke dalam perahu, dan tubuh wanita berbaju merah menggigil – kali ini sangat dingin. Dia menyedot-nyedot hidungnya dan berbicara dengan malu-malu kepada wanita yang duduk di sebelahnya yang sedang memainkan pipa: “Kakak, aku tidak cukup kuat, kekuatan spiritual ku lemah. angin ini sangat dingin. Bisakah kakak menaruh tirai krey-bambu di depanku agar dapat menghalangi angin? ”
Wanita yang memainkan pipa itu memutar matanya ketika mendengar kata-kata itu, tetapi masih melakukan apa yang diminta adiknya. Ia sedikit menggerakkan ujung jarinya, dengan cepat mendorong tirai krey-bambu di depannya ke arah wanita berbaju merah di sebelahnya, untuk menghalangi angin dingin.
“Terima kasih, Kakak.” Sekarang ia merasa sudah tidak terlalu dingin lagi. Wanita berbaju merah itu menunjukkan senyum cerah-naifnya. Ketika dia melihat ke atas, dia melihat bahwa pakaian yang menutupi tubuh bagian atas Yue Niang semuanya telah terlepas. Pria muda itu menyiramkan sebotol anggur ke tubuhnya. Kemudian dia memeluk tubuh Yue Niang dan menjilati semua cairan anggur dari tubuh Yue Niang dengan lidahnya.
Wanita berbaju merah itu tampak tercengang. Tidak sampai lama, wanita yang memainkan pipa menendang kakinya, dia buru-buru menundukkan kepalanya.
“Apakah kamu mau mati? Beraninya kamu membuat ekspresi seperti itu dan menatap nenek, tidakkah kamu takut nenek akan menggali bola matamu?”
“Aku … aku salah.” Wanita berbaju merah itu menjawab dengan agak canggung. Setengah takut-takut dan setengah bingung. “Aku hanya bertanya-tanya bagaimana nenek memakai begitu sedikit, mengapa?, bukankah itu dingin?”
“Dingin?” Wanita yang memainkan pipa tertawa. “Aku pikir dia sangat seksi, tetapi kamu, mengapa ada begitu banyak kata hari ini?”
“Aku punya firasat buruk …”
“…. diam!”
Sementara itu, di luar perahu, bulu angsa dan salju turun dengan lebat seolah-olah sengaja ditumpahkan dari langit malam yang pekat, batang tinta tampak bergulir dari wadahnya-batu tinta, melayang melintasi sungai dan tercebur ke dalam air.
Angin malam berhembus kencang, menyingkap kabut dari sungai, dan meniup jubah seseorang yang berada di sungai.
Laki-laki itu memiliki rambut hitam seperti tinta, matanya berkilau seperti bintang. Bibir tipisnya sedikit mengerut, ia memakai jubah putih di dalam dan kemeja rompi ungu di luar. Laki-laki itu membawa pedang di tangan kanan yang diletakkan di belakang punggung. Meskipun tubuhnya kurus, dia memiliki aura dingin, yang menakutkan.
Pedang ‘Du Sheng‘ keluar dari sarungnya, mengeluarkan kilatan cahaya putih, yang memantulkan cahaya pada sungai yang bergelombang. (TL note: ‘渡 生’ pinyin Dù shēng berasal dari kata ‘渡过 生活’ pinyin Dùguò shēnghuó, artinya ‘Pedang yang melintasi kehidupan’).
Laki-laki itu mengayunkan pedangnya dan menebas ke arah depan. Pedang itu memancarkan aura cahaya dingin yang tampak sama seperti cahaya bulan perak yang tiba-tiba muncul dari awan di malam yang gelap, langsung menyinari dunia.
Energi yang datang dari pedang membelah permukaan sungai menjadi dua gelombang yang naik setinggi langit!
Perahu kecil itu berada dalam gelombang raksasa ini, seolah-olah itu tidak disengaja, seperti semut-semut di air yang akan terbalik karena terkena guncangan hebat.
“Ah–!” Wanita berbaju merah membuang erhu, bersembunyi di bawah meja dan berteriak di bawah paha wanita yang memegang pipa, bercampur dengan jeritan wanita lain di lukisan itu, suara jeritan yang sangat memekakkan telinga, sehingga bisa menembus langit.
Angin yang datang dari ayunan pedang menyapu dan menghantam perahu, dan membuat ombak besar juga jatuh luruh ke bawah. Tetapi ketika mencapai setengahnya, ombak besar itu tersebar menjadi percikan air di permukaan sungai, dan yang tersisa hanyalah gelombang yang berdesir.
“Hah?” Wanita berbaju merah itu membuka matanya yang tertutup, merasa bahwa perahu itu tampaknya tidak lagi berguncang hebat. Kemudian melonggarkan cengkraman tangannya di sekitar paha wanita yang bermain pipa, dan keluar dari bawah meja, berteriak, “Ya ampun, kakak, apa ini …. Umm!”
Wanita yang memegang pipa dengan cepat menutupi mulut wanita berbaju merah, melindunginya di dalam pelukannya, dan menatap bagian belakang laki-laki dengan kemeja putih dan ungu di atas papan perahu.
Laki-laki itu mengenakan pakaian ungu, yang tampaknya ditutupi kabut putih. Kerah putih disulam dengan benang perak dengan pola rumit, seperti peri di atas lautan awan. Pada saat ini, sebuah kerang besar setinggi lutut laki-laki itu, tergeletak di bawah kakinya, tidak diketahui hidup dan mati, dan beberapa ikan mati terlihat berserakan di geladak. Pemuda yang tadi mabuk dan bersenang-senang telah jatuh ke tanah, tidak tahu apakah dia hidup atau mati.
Melihat itu, wanita berbaju merah menghela nafas lega, matanya melebar. Tirai krey-bambu di depannya telah robek oleh angin yang berasal dari tebasan pedang, dan itu tidak lagi efektif. Angin dingin berhembus meniup gaun merah yang tipis. Wanita berbaju merah itu langsung menggigil, gemetar seperti saringan.
Laki-laki berambut hitam itu berbalik dan melirik mereka berdua. Wajahnya sangat tenang dan dingin, tetapi wanita berbaju merah dan wanita dengan pipa sangat terkejut.
Mereka belum pernah melihat laki-laki yang luar biasa tampan.
Ketampanan laki-laki yang tiada tara itu bisa digambarkan seperti ini, kain sutra yang sangat halus dan lembut berwarna biru tergantung di pinggangnya seperti air terjun yang mengalir. Alis berbentuk pedang terlukis sempurna dari pangkal alis sampai ujung alis, menggambarkan seseorang yang tegas, sedikit egois dan selalu tidak pernah bisa basa-basi akan maksud tujuannya. Sepasang mata berbentuk persik memiliki sedikit semburat warna merah di ujung garis matanya, mata berwarna tinta berkilau seperti bintang. Kulitnya sangat putih seperti porselen cina. Bibir tipis kemerahan sedikit mengerut membuat wajahnya yang sempurna tiada tara sedikit berubah. Seluruh tubuhnya memancarkan aura dingin yang mewakili kesombongan, kebersihan, ketidakpedulian, supremasi, keabadian dan kesempurnaan dari seorang peri yang mulia.
Melihat laki-laki tampan yang luar biasa itu, memaksa mereka harus mundur beberapa langkah untuk memperbaiki penampilan mereka.
“Laki-laki ini …” Wanita yang memegang pipa itu melangkah maju dan membuka mulutnya, tetapi pria muda berambut hitam itu mengerutkan kening, melangkah keluar dari perahu, dan berubah menjadi kilatan cahaya putih terbang ke langit, menghilang tanpa jejak.
“…….”
“Kakak, kakak, apakah nenek sudah mati?” wanita berpakaian merah menarik tangan wanita dengan pipa bertanya sambil terkekeh.
Wanita yang memegang pipa itu melirik kembali ke bentuk asli ‘Yue Niang’ yang tergeletak di atas papan perahu, dan cangkang kerang besar yang telah mati itu tertutup, lalu dia berbicara dengan ringan: “Mati.”
“Lalu … mengapa kita tidak mati?”
“…. Bagaimana aku tahu, cepat pergi.”
“Oh …….”
Mereka berdua berjalan keluar dari perahu itu dengan berpegangan tangan. Dan Mereka melompat ke tengah sungai, berubah menjadi dua ekor ikan mas berwarna merah, sirip ekor mereka yang merah cerah berayun saat berenang, lalu masuk dan bersembunyi di kedalaman sungai berwarna zamrud.
Setelah Yun Caiye menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh kerang dan ikan bajak laut, ia awalnya berencana untuk segera kembali ke ‘Gerbang Yunjian. (TL note: ‘雲 劍門‘, pinyin Yun jiàn mén, ‘gerbang pedang awan’). Ketika ia akan pergi dan berubah menjadi kilatan cahaya putih, tiba-tiba dia melihat ‘Awan Ungu’ yang menyerupai ular naga muncul di langit sebelah timur ibu kota kerajaan Dinasti Zhou, Chang An, Meliukkan ekornya bergerak menuju timur, tak terbendung. (Catatan TL: ‘awan ungu’ dalam bahasa Cina ‘紫雲‘, pinyin ‘Zǐyún’ dan ‘gas ungu’ dalam bahasa Cina ‘紫氣’, pinyin ‘Zǐ qì’, Penulis menggunakan ‘Zǐ qì’ tetapi TL akan menggunakan ‘awan ungu’ bukan ‘gas ungu’)
Awan ungu yang bergerak menuju ke arah timur, sebenarnya merupakan tanda keberuntungan, tetapi Yun Caiye melihat awan ungu di langit yang membawa cahaya warna merah seperti darah, seolah-olah roh-roh jahat datang ke dunia dengan membawa semua bala tentaranya.
Yun Caiye terbang dengan menggunakan pedangnya mengejar awan ungu. Hari masih terlalu pagi, langit masih tampak gelap bahkan matahari pun belum muncul di ufuk timur ketika Ia tiba di luar ibukota, tetapi cahaya dengan warna merah seperti darah yang dibawa oleh awan ungu itu hanya seperti fatamorgana. Menghilang tanpa jejak dalam sekejap mata, hanya menyisakan awan ungu keberuntungan yang menggantung di langit.
Yun Caiye berdiri di jalan Dengbei (TL note: ‘cahaya utara’, 灯北 ‘ pinyin’ Dēng běi’). Di kejauhan, langit berwarna gelap dan tampak buram, tidak ada banyak pejalan kaki di jalan. Hanya lentera berwarna kuning yang sedikit bergetar ditiup angin dingin. Masih ada waktu sebelum matahari terbit pada saat ini. Jika bukan karena pemandangan alami sehari-hari dari ibukota di waktu subuh, jalan Dengbei ini akan lebih terlihat sepi.
Beberapa penduduk yang bangun lebih awal di pagi hari melihat awan ungu di langit dan membuat keributan, menarik perhatian lebih banyak pejalan kaki di jalan. Yun Caiye mengerutkan alisnya, mengibaskan lengan bajunya dan menghilang. Dia duduk di depan sebuah meja kecil dalam sebuah kedai teh yang terletak di sebelah jembatan. Kedai teh sudah mulai menerima pelanggan walaupun hari masih sangat pagi. Dia melihat teko susu kedelai tepat di samping pria tua yang mengelola toko teh, melambaikan tangannya dan teko susu tersebut menghilang, dalam sekejap mata muncul di hadapan Yun Caiye, tetapi orang tua itu masih mengukus roti bun (TL note: ‘roti kukus’; ‘馒头’, pinyin’ Mántou), sama sekali tidak menyadari teko susu kedelainya yang hilang.
Yun Caiye menuang teko yang berisi susu kedelai segar yang masih panas kedalam cangkir dan menyesapnya. Alisnya tidak lagi mengerut, tubuhnya menjadi lebih santai, merasa hangat dan segar, tidak lagi merasa dingin. Dia menghela nafas dan menghembuskan kabut putih dari mulutnya. Rasa susu kedelai di negeri Peri secara alami jauh lebih baik daripada ini, yang dibuat dengan hanya menggiling biji-bijian biasa dan dicampur dengan air gula. Meskipun begitu, ia sering pergi ke dunia manusia untuk mencicipi makanan manusia dimanapun ia berada.
Dalam pandangan Yun Caiye, semua makanan yang berasal dari negeri Peri jauh lebih baik, karena mereka memproses makanan dengan menggunakan ‘kembang api’, walaupun makanan yang dibuat oleh peri memiliki lebih sedikit bau asap dan api daripada makanan manusia biasa. (Catatan TL: ‘煙火‘ pinyin ‘Yānhuǒ’; sebagai ‘fireworks’ / ‘kembang api’, ini berarti makanan yang dibuat dengan menggunakan api, karena itu memiliki bau asap dan api).
(Catatan: ‘negeri peri’; ‘仙界’ pinyin ‘Xiānjiè’, TL menggunakan ‘Peri’, karena walaupun Yun Caiye adalah abadi tetapi dia tidak tinggal di surga, masih tinggal di bumi dan masih berbaur dengan manusia biasa apalagi masih bisa jatuh cinta, maka orang itu bukanlah malaikat / dewa / makhluk surgawi. Kecuali Goblin nya korea…..hahaha).
Mungkin …inilah yang dia dan rakyatnya lakukan untuk mengolah makanan, dan bagaimana dia berbeda dari mereka. Perbedaan cara hidup antara manusia fana dengan para peri yang hidup di negeri Peri.
Untuk menjadi seorang peri dan mencapai kesempurnaan, ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Sebagian peri di negeri Peri adalah orang-orang yang telah dilatih selama ribuan tahun untuk menjadi peri dan mencapai keabadian. Sebagian lainnya memang sejak dilahirkan sudah memiliki tubuh peri yang secara alami sempurna, yang biasanya dilimpahi dengan berkat yang tak terhitung jumlahnya. Tetapi Yun Caiye tidak menjadi peri melalui dua metode ini. Mungkin, inilah sebabnya ia selalu terobsesi dengan dunia manusia.
Memikirkan hal ini, Yun Caiye terkekeh, membuat matanya yang hitam berkilau dan penuh daya pikat seorang peri sedikit terangkat, ia memiliki postur tubuh peri yang menarik dan menawan, tetapi sangat disayangkan, tidak ada yang punya kesempatan untuk melihatnya saat ini.
Setelah periode satu dupa-hio (TL note: satu dupa kira-kira ± 1 jam – 1,5 jam, tergantung jenis dupa dan kegunaanya), dua pria yang sebelumnya telah bangun di waktu subuh, pergi untuk bekerja. Mereka datang ke kedai teh dan membeli seteko susu kedelai panas yang segar dan sekeranjang roti kukus. Mereka duduk di kursi di sebelah Yun Caiye, sambil makan, mereka berbicara tentang awan ungu keberuntungan di langit pada waktu subuh tadi.
“Hei, secara tidak sengaja, apakah kamu melihat awan ungu di langit pagi ini? Awan ungu datang dari timur, pancaran energinya benar-benar … ”
“Saya melihatnya! Saya mendengar bahwa itu dibawa oleh putra bungsu dari seorang Guru Nasional, dan dia terjerat dengan awan ungu ketika dia dilahirkan. Dikatakan bahwa dia tidak bisa melihat wajahnya…” (Catatan TL: ‘Guru Nasional’, 國 師, pinyin ‘Guó shī’, adalah seorang guru terhormat yang telah lulus ujian kerajaan dan ditunjuk langsung oleh kaisar. Biasanya akan mengajar pangeran dan putri, anak-anak kaisar atau para bangsawan).
“Anak dari keluarga Xiang?”
Yun Caiye meletakkan cangkirnya setelah mendengar berita yang diinginkannya, meninggalkan sepotong perak rusak di atas meja, lalu ia berubah menjadi kilatan cahaya putih dan meninggalkan kedai teh. Dia diam-diam menyelinap ke mansion besar Guru Nasional, ‘Xiang Ke’, dan mengikuti pelayan untuk menemukan tempat tinggal putra kedua keluarga Xiang. (Catatan TL: berdasarkan pada akhir Dinasti Qing, 1 tael ‘兩’; pinyin’liǎng’ = 10 mace atau 1/16 kati, 10 mace ‘錢‘ pinyin’ qián= 100 candareens atau 1/10 tael, 100 candareens ‘分‘ pinyin fēn atau sen = 1000 li atau 1/10 candareen atau 1/16000 kati (perak tunai atau wen).
Bayi di ranjang kayu kecil masih tertidur nyenyak, Yun Caiye mendekat, tubuhnya sedikit membungkuk untuk melihatnya, dan agak bingung.
Bayi itu baru saja lahir dan memiliki wajah putih lembut yang bersemu kemerahan, tidak jelek seperti bayi yang baru lahir lainnya yang merah dan keriput. Seluruh tubuh bayi itu tenang dan damai. Dia tidur sambil mengerucutkan bibirnya yang berwarna pink cerah. Melihat wajah bayi itu, sepertinya ia bukan orang yang akan melakukan sesuatu yang jahat, atau yang akan menjadi orang jahat.
Tapi bagaimana dengan cahaya merah darah yang terlihat di langit? Apakah kamu telah menemukan orang yang salah?
Yun Caiye mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi chubby bayi itu, ia melihat bayi itu mengerutkan bibirnya dengan tidak senang, “wu ah ah” bersenandung beberapa kali dan Yun Caiye tidak bisa menahan tawa.
Dia meluruskan tubuhnya dan memasukkan kesadarannya sendiri ke dalam alam bawah sadar bayi itu. Di masa depan, selama anak itu melakukan sesuatu yang tidak dapat dimaafkan, ia secara alami akan tahu. Dan jika ia tidak melakukannya, kesadaran ini juga dapat melindungi anak itu dan dapat memanggilnya di saat yang kritis.
Sudah 30.000 tahun sejak Yun Caiye menjadi peri. Jika terjadi di dunia manusia, dalam kurun waktu 30.000 tahun, mungkin ia sudah dapat memindahkan gunung untuk mengisi laut dan mengubah laut menjadi ladang mulberry. Tetapi bagi peri, kurun waktu tersebut tidak berlalu dalam sekejap mata, meskipun juga tidak terlalu lama. Jadi para peri harus menemukan bagaimana untuk mencari kesenangan dan menikmati waktu luang mereka selama menjalani kehidupan yang tiada akhir ini.
Dan untuk Yun Caiye, kesenangannya adalah sebagai Penjaga Jalan Iblis sekaligus sebagai Pembunuh Iblis.
Sebagian besar, peri merasa sombong dan jijik jika harus berurusan dengan manusia, tetapi Yun Ciaye berbeda dari mereka. Tidak hanya mereka sering makan Barbeque, mereka juga hidup di tempat yang berbeda. (Catatan TL: ‘烟火 食物’, pinyin ‘Yānhuǒ Shí wù’, sebagai ‘makanan kembang api’, ini berarti makanan yang dibuat dengan memanggang, membakar, ataupun merebus, selama menggunakan api. tapi TL akan menggunakan kata ‘Barbeque’ alih-alih ‘makanan kembang api’).
Dia tinggal di Gerbang Yunjian-Gerbang Pedang Awan, tapi itu bukan di alam peri, juga bukan di alam manusia.
- Home
- You Are Too Ugly, I Refuse (Kamu Terlalu Jelek, Aku Menolak)
- BAB 1 - Malam Yang Sangat Dingin
Donasi pada kami dengan Gojek!
