Ghost Hunt [Bahasa Indonesia] - Dropped - Chapter 8.2
3
Setelah pulang sekolah, aku pergi ke gedung sekolah lama.
Tapi pertama aku pergi ke tempat parkir dan menemukan Naru yang duduk di mobil vannya.
Ketika aku melihatnya melalui jendela. Jantungku berdebar, dan aku dipenuhi dengan kegembiraan.
Hei, bagaimana bisa ini–
Aku kehilangan kesempatanku untuk berbicara.
Aku akan berbicara! Dengan cara yang sama seperti yang biasa aku lakukan!
Ketika aku mengumpulkan keberanianku untuk berbicara, Naru melihatku. Dia menatapku, matanya dalam.
Tidak bagus…aku merona.
Naru sepertinya sedang mendengarkan rekaman, tapi ketika dia melihatku dia melepaskan earphonenya. “Kemarin malam, apakah kau yang membantu untuk memasang alat perekam ini?”
“Ya…Aku sebenarnya ingin memasang kamera video, tapi aku tidak tahu caranya.”
“Cukup mengesankan kau bisa merekam ini. Ada beberapa suara menarik disini.”
“Jadi kejadian poltergeist dari kemarin terekam?”
“Ya, semuanya.”
Syukurlah.
“Ah, itu benar. Rak sepatu…”
Hmm? Naru melihat ke arahku. Itu akan baik – baik saja jika kau tidak melihat ke arahku–
“Umm… rak.. rak sepatunya…hangat.”
“Yang jatuh?”
“Ya. itu benar, objek yang poltergeist sentuh seharusnya hangat saat disentuh.. Itu yang kau katakan sebelumnya, kan?”
“Aku terkejut kau mengingatnya dengan jelas.”
Wahh–dia memujiku. …Tidak, bukan itu.
Naru berdiri, lalu menyerahkan kabel listrik padaku.
“……”
“Pasangan peralatannya.”
“Hah?!”
Untung bagiku, John lewat dan membantu Naru, john membawa kamera video sementara Naru membawa mesin yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
“Hei, apa itu?” Tanyaku.
Ketika Naru tiba di ruang lab, dia menaruh mesinnya dan berkata padaku untuk memasang tripod. Lalu dia berjalan ke dalam ruangan.
Naru menarik kursi tua dari sudut. Kursi itu hampir patah.
Lalu dia meletakkan kursi di tengah ruangan dan mulai menggambar lingkaran di sekitarnya.
“Apa itu?”
Kursi di tengah ruangan… mantera jenis apa itu?
Setelah Naru menggambar lingkaran, dia pergi dari ruangan.
Dia kembali ke mobil van untuk membawa lebih banyak peralatan. Ketika dia kembali, aku memegangnya.
“Hei, apa yang akan kau lakukan dengan peralatan ini?”
Aku bertanya pada Naru.
Naru melihat ke sekeliling untuk mencari tempat menaruh kamera perekam. Wajahnya tidak berekspresi.
“Hei–”
Mengabaikanku, dia pergi menuju ke koridor.
…Apa artinya ini, kau sialan.
Begitu banyak peralatan. Naru memasang peralatan mahal.
“Hei-Shibuya-sama, apa itu? Apa sesuatu terjadi? Beritahu aku,” Tanyaku mencari tahu.
Dia menghela napas, menyilangkan lengannya, dan bersandar pada tembok, “Itu radar.”
“Radar…seperti yang digunakan oleh pesawat?”
“Benar.”
…oh oh oh.
“Apa yang akan kau lakukan dengannya?”
“Aku tidak bisa mengatakannya. Jika aku memberitahumu, hasilnya akan tidak berguna.”
“Tapi aku asistenmu…”
“Tidak.”
Oh-pria egois.
“Aku akan memberitahumu besok jadi jangan bertanya sampai besok.”
“Ya, aku memiliki pertanyaan lain.”
“Apa?”
“Apa kau tahu alasan dibalik hantu itu?”
“Aku tidak yakin, tapi aku mungkin tidak salah…”
Dengan pengecualian dari apa yang dia katakan padaku, Naru tidak mengatakan apa – apa lagi. Dia tidak mau menjawab ketika aku mengajukan pertanyaan lain.
John tidak mau melihat ini lagi. “Mai-san, Shibuya-san pasti memikirkan tentang kasus sekarang. Dia akan memberitahumu besok jadi jangan bertanya lagi. Tunggu sampai besok, ya?”
“…Baiklah…”
Naru terlihat tidak peduli tentang pertanyaanku. Dia pergi dan mulai memalu beberapa paku di sisi jendela.
…apakah badai akan datang?
Setelah dia selesai, Naru menyerahkan kuas kaligrafi padaku dan John.
“Tuliskan tanda tangan kalian di papan, dan pastikan kau menulisnya besar.”
Hah?
Kau tidak mau menjawab bahkan jika aku bertanya, hah.
Baiklah, aku menunduk ke arah papan, lalu menuliskan tanda tanganku disana.
“Apakah jendelanya tertutup?”
“Ya.”
Jika kau mengetuk jendela, mereka sulit untuk bergerak.
Kami meninggalkan ruang lab, dan Naru menutup pintu, setelah dia memaku papan ke pintu, menyegelnya, dia menyerahkan pena kaligrafi lagi. “Tanda tangan di papan.”
Aku menuliskan namaku di bawah tanda tangan John.
Setelahnya, Naru berjalan ke arah peralatannya dan menempatkan tanda pembersih di atasnya. Kami menandatangani nama kami lagi.
Lalu kami akhirnya pergi.
Apa itu semua. Pekerjaan seperti itu.
Membuat orang lain melakukan hal seperti itu–
***
4
Keesokan harinya aku pergi ke sekolah lebih awal.
Aku langsung berjalan ke gedung sekolah lama.
Naru sudah ada disana. Dia duduk di mobil vannya, melakukan sesuatu. Seseorang berdiri di sampingnya.
Hah?
Itu adalah asisten yang aku lukai!
Aku berjalan ke arah mobil van dan mengetuk. “Selamat pagi.”
Aku sangat khawatir terhadap asisten itu, “Apakah lukamu baik – baik saja?”
Mata asisten itu menatapku dengan dingin.
…Aku juga ditabrak rak sepatu. Kau tidak…mengutukku atau semacam itu, kan?
Naru membuka pintu mobil. “Kau lebih awal hari ini.”
“Tentu saja.”
Itu benar. Hari ini adalah “besok”. Hal yang kau lakukan kemarin. Apakah kau tidak akan memberitahuku apa itu?
Naru terlihat tidak sabar.
“Hei, jadi apa? Apa yang kau lakukan kemarin itu?”
Naru menghela napas. “Mai, tidakkah kau berpikir kalau kau bicara terlalu banyak?”
“Jika kau tidak mau aku memberitahu yang lain, aku bisa merahasiakannya.”
Naru memikirkannya sebentar. “Tunggu sebentar. Semua orang akan disini sebentar lagi.”
Semua orang… artinya? Apa kau berbicara mengenai Miko-san dan mereka?
Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?
Perdebatan pecah sesaat sebelum semua orang berkumpul.
Kuroda datang sebelum kelas dimulai juga.
Seperti aku, dia juga mengganggu Naru untuk jawaban. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin, jadi aku bilang padanya bahwa kami harus menunggu semua orang untuk datang terlebih dahulu. Sayangnya, dia tidak mendengarkanku dan pergi untuk berdebat dengan Naru.
“Lalu aku akan tinggal disini dan menunggu,” Seru Kuroda.
“Pulang,” Jawab Naru dengan dingin.
Pada akhirnya Kuroda memenangkan perdebatan, yang membuat Naru menghela napas tidak berdaya.
Setelah bel sekolah berdering, Miko-san dan lainnya segera berkumpul disini.
Dengan begitu, Kuroda dan aku membolos kelas.
Yah, aku pikir ini tidak masalah.
Miko-san, Bou-san, John, dan Masako datang. Ketika seluruh tim disini, Naru berjalan ke arah gedung sekolah lama.
Naru berjalan ke dalam bangunan, satu tangan membantu asistennya yang menggunakan kruk, dan satu tangannya lagi memegang kamera perekam.
“Apa yang kau akan tunjukan pada kami hari ini?” Cemooh Bou-san.
Miko-san tertawa juga. “Mungkin kita tidak seharusnya pergi dan melihatnya. Seseorang mungkin akan menghilang lagi.”
Naru tidak menunjukkan ekspresi di wajahnya.
“Aku hanya ingin beberapa saksi dalam percobaanku,” Jawab Naru.
“Hah?”
Miko-san dan Bou-san terperangah.
Ketika kami tiba di depan ruang lab, aku melihat peralatan masih di tempat yang sama seperti kemarin. Naru memanggil John dan aku, “Periksa peralatannya. Apakah kertas dengan tanda tangan kalian masih ada disana?”
Apa?
Sebelumnya, Naru telah menyerahkan kamera perekam pada asistennya.
Aku memeriksa kertas dengan tanda tangakami. Itu tidak rusak sama sekali, dan tanda tanganku masih menempel.
“Apakah semuanya baik – baik saja?” Tanyanya.
“Ya,” Jawabku.
“Ya, sama seperti kemarin,” Jawab John.
“Bagaimana dengan tanda tangan yang ada di pintu? Apakah itu tulisan tanganmu juga?”
“Ya.”
“Itu benar.”
Naru mengangguk, lalu melanjutkan mencopot papan yang dia palu ke pintu kemarin.
Kami melihat dengan penasaran.
…Hah?
Lingkaran merah muda digambar di tengah lantai.
Kursi harusnya ada di dalam lingkaran itu… harusnya ada di tengah lingkaran.
Tapi sebaliknya, kursi ada di samping jendela.
“Shibuya-san, kursinya berpindah,” John memberitahu.
“Ya itu pindah.” Ujar Naru, tersenyum puas.
Miko-san menyela, “Tunggu sebentar. Apa yang sedang terjadi disini?”
Alih – alih menjawab, Naru berjalan menuju kamera perekam. Setelah dia melihat layar kamera perekam, dia tersenyum.
“Hei, Naru-chan,” Panggil Miko-san sambil berjalan mendekati sutradara.
Naru menatap ke arah kami, kilatan percaya diri di matanya.
“Terima kasih atas kerjasama kalian. Besok aku akan pergi.”
Eh? Ehhhhhh?
“Kau sudah mengatakan pada kami jika kasus ini sudah selesai,” Miko-san mengingatkannya dengan sinis.
“Aku memang mengatakannya.”
“Penurunan tanah?”
…Dasar bajingan sarkas.
Kemudian, Naru mengangguk, “Ya.”
“Haaa!”
Bou-san mencemooh, “Kau lebih baik berhenti. Apakah bisa penurunan tanah menyebabkan itu semua?”
“Penurunan tanah adalah penjelasan yang tepat untuk kasus yang diajukan kepala sekolah kepadaku.”
“Lalu, apa yang membuat jendela pecah? Dan apa yang menyebabkan suara aneh setelahnya?!”
…Poin bagus. Itu bukan suara yang bisa dibuat oleh penurunan tanah.
“Itu adalah poltergeist.”
“Lihat dirimu!” Miko-san dan Bou-san berteriak secara bersamaan.
“Kau tidak bisa melakukan pengusiran hantu, kan? Jadi kau hanya menyelidiki sedikit kemudian berhenti,” Ujar Bou-san, menunjuk satu jari menuduh Naru.
Naru tetap tenang, “Tidak perlu dilakukan pengusiran setan. Aku percaya bahwa itu tidak perlu.”
Memutar ulang rekamannya, Naru berbalik ke arah kami, “Apa kalian ingin menonton?”
Kami mulai menonton rekaman kursi. Pada awalnya kursi berada di tengah ruangan. Kami melihatnya dengan seksama.
“Untuk apa kita menonton ini?” Gumam Miko-san.
Naru tidak peduli padanya.
“Hei…” Ujar perempuan itu saat kursi yang ada di TV mulai bergetar.
Kursinya bergetar dan bergetar, lalu mulai meluncur melintasi lantai. Tidak ada kekuatan eksternal. Itu hanya berpindah dengan sendirinya ke samping jendela. Itu bergetar hebat, lalu jatuh. Tidak bergerak lagi.
Naru menekan tombol berhenti.
“Apa…apa yang tadi itu?” Tanyaku.
“Itu hanya apa yang kau lihat.”
“Kursinya berpindah?”
“Ya, itu pindah.”
…Apa yang terjadi?
Bou-san menghela napas dengan putus asa.” Itu adalah poltergeist yang sangat kuat! Kita harus segera melakukan pengusiran setan…”
Naru menjawab dengan dingin, “Itu tidak perlu.”
Naru menyadari kebingunganku, lalu mulai menjelaskan. “Kemarin aku memberikan semuanya auto sugesti.”
“Hah?”
“Itu mirip dengan hipnotisisme. Auto sugesti bahwa kursi ini akan bergerak saat malam hari.”
…Sinar itu…seperti senter.
“Jadi Itu hipnotisisme?”
Naru mengangguk.
“…Pada dasarnya, ya. Lalu aku menempatkan kursi disini, dang dengan bantuan Mai serta john aku mengunci pintu dan jendela, dan memalu papan kayu. Setelahnya aku menyegel ruangan. Dengan ini, tidak ada yang bisa masuk. Jika seseorang masuk, kita akan tahu.”
“Benar.”
Jika ada orang yang masuk, mereka pasti akan melepaskan papan kayu dan menaruh yang baru disana, tapi tanda tangan kami masih ada disana.
Berhenti sejenak, Naru menatap kami masing – masing dengan seksama, matanya lebih gelap daripada langit malam.
“Kejadian poltergeist biasanya disebabkan oleh manusia, biasanya mereka yang berusia 13-15 tahun. Tapi terkadang mereka disebabkan oleh gadis remaja yang dibawah tekanan ingin diperhatikan oleh orang lain.”
“Apa maksudmu itu bisa jadi masalah?” Tanyaku.
“Idiot.”
…Apa kau harus menghakimi semua yang aku katakan? Jangan mengatakan itu dengan terus terang.
“Kemungkinannya tinggi. Namun, pelaku biasanya tidak sadar jika melakukan ini.”
“Apa?”
“Dalam situasi ini, auto sugesti akan membuat kejadian itu benar – benar terjadi.”
Auto sugesti… auto sugesti bahwa kursi itu akan berpindah?
Bou-san menyela, “Jadi kau bilang kursinya bergerak karena manusia?”
“Benar.”
“Dan bukan karena hantu?” Tanya Miko-san, “Jadi aktivitas yang terjadi di gedung sekolah lama juga disebabkan oleh manusia?”
“Sederhananya, ya. Aku belum salah.”
“..Lalu pelakunya adalah?”
“Dia…”
Naru tetap diam.
Seseorang yang ingin merasa penting. Seseorang yang ingin diperhatikan.
Orang yang memiliki hasrat kuat… hanya ada satu orang yang seperti itu, dan dia tepat di depan mataku.
Tapi…
Dengan perlahan, mataku menuju ke arahnya.
Semua orang melihat ke arahnya juga.
Kuroda.
“…Aku…?”
Suara Kuroda pada awalnya bergetar, lalu tegas, “Bagaimana bisa…!”
Dia menggelengkan kepalanya.
Naru mengangguk.
“Kau adalah pelaku utamanya.”
“Apa kau bilang bahwa itu semua disebabkan olehku? Poltergeist itu?”
Ketakutan muncul di matanya.
“Kemungkinannya tinggi bahwa itu kau daripada yang lainnya,” Ujar Naru, melihat ke arah kami.
***
Donasi pada kami dengan Gojek!
