The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 8.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 8.2 - Roti yang Diberikan Sebagai Hadiah Mungkin Akan Terasa Enak (2)
Sederetan tembok raksasa telah didirikan di sekeliling Blanca demi melindungi ibu kota kerajaan. Tak jauh dari tembok tersebut, terdapat sebuah parit yang kemudian dilindungi dengan tembok pertahanan yang cukup tinggi. Untuk dapat menembus lapisan pertahanan tersebut, tentu membutuhkan pasukan yang tak sedikit dan dilengkapi dengan persenjataan berat seperti ketapel raksasa, atau tangga pengepung (Siege tower). Bahkan dengan perlengkapan seperti itu, pertempuran itu pastilah akan memakan banyak korban. Banyak menara pengintai dibangun di area sekitar Blanca yang melakukan pengawasan ketat.
Pada dataran tinggi di timur Blanca terdapat benteng Sayeh, yang dibangun pada masa Perang Besar. Dari benteng yang dibangun di atas lokasi strategis ini, punggung Ibu kota Kerajaan yang memiliki penjagaan yang lebih lenggang bisa dengan mudah diawasi.
Pada masa-masa darurat, benteng ini bertugas untuk memberikan bantuan pada Ibu kota Kerajaan, menciptakan pertahanan yang tak tertandingi. Jika musuh memutuskan untuk mengacuhkan Benteng ini, maka mereka akan terjebak oleh serangan dari dua arah. Jika musuh menyerang benteng itu, maka mereka akan membuang banyak waktu dan pasukan. Benteng ini merupakan pertahanan terakhir yang paling tepat bagi Blanca.
Ditambah lagi, di pegunungan selatan terdapat sebuah kastil yang masih dalam tahap pembangunan, dengan skala yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Benteng Sayeh. Kastil Kerajaan, Benteng Sayeh, dan kastil kecil ini, kemudian akan menciptakan pertahanan segitiga, dan melindungi Ibu kota Kerajaan dengan sempurna.
Namun, sangat jelas bahwa sangat banyak dana militer yang dicurahkan demi membangun benteng pertahanan ini.
“Maaf, tapi sebagai Perdana Menteri, aku tak bisa memahami perkataanmu, Panglima Tinggi. Mengurangi pertahanan bagi Ibu kota kerajaan, tempat Yang Mulia Raja tinggal, adalah rencana yang paling gila dan tolol yang pernah kudengar!”
“…Sharov. Pasukan Pertama akan tetap melindungi Ibu kota. Pasukan Keempat akan bergerak menuju Belta. Sesampainya di sana, mereka akan menggantikan Yalder dan mengirimnya kembali…. Urusan ini telah selesai. Gunakanlah tenagamu untuk memperketat pertahanan di sekitar Ibu kota Kerajaan.”
“…Yang Mulia.”
“…Pembicaraan ini sudah selesai. Aku sedikit lelah. Aku akan kembali ke ruanganku. Farzam, kawanku, aku akan menyerahkan sisanya padamu.”
“Tentu, Yang Mulia. Silakan nikmati waktu istirahat anda.”
“…”
“Panglima Tinggi Sharov, dengan ini pertemuan ditutup. Anda boleh kembali melakukan tugas Anda. Diriku juga masih memiliki tugas-tugas yang harus kuselesaikan, jadi aku mohon diri.”
Farzam jelas memandang rendah Sharov, dan bersama dengan beberapa Penjaga Kerajaan, ia keluar dari Ruang Takhta.
Untuk beberapa saat, Sharov tetap berlutut dalam diam.
.
.
.
Setengah tahun setelah insiden di Padang Alucia, Ruangan Sidamo.
Dengan mengenakan kacamata, Sidamo dengan serius mengerjakan tumpukan dokumennya, ketika tiba-tiba, suara ketukan yang agak sembrono terdengar dari pintu ruangannya. Sidamo mendongakkan kepalanya, melepas kacamatanya, dan menjawab, “Siapa?”
“Mayor Schera Zade. Saya dengar anda mencari saya.”
Schera memperkenalkan dirinya dengan nama yang belum terlalu familier baginya. Belum terlalu lama sejak ia mendapat marga Zadenya.
“Masuk.”
“Permisi!”
Tak seperti sebelumnya, tubuh Schera ditutupi dengan baju zirah. Ia memasuki ruangan dan memberi hormat. Tentu saja, ia tak membawa sabit besarnya.
“Aku tak masalah kalau kau agak santai saat menghadapi mereka. Namun, kau tak boleh melakukannya sambil makan. Tahan dirimu ketika menghadap petinggi senior. Berapa kali harus kukatakan sampai kau mengerti?”
Sidamo menceramahi Schera yang segera mengeluarkan beberapa butir kacang setelah mengakhiri sikap hormatnya.
“Maaf.”
“Setidaknya buatlah aku sedikit percaya dengan kata maafmu. Pasanglah raut wajah yang sesuai dengan wajah orang yang meminta maaf. Kau sudah dipromosikan menjadi seorang Jenderal; belajarlah cara bergaul dengan orang lain.”
“Siap!”
Dengan cepat Schera mengunyah dan menelan kacangnya.
“Kau baru saja keluar untuk berpatroli, jadi kau mungkin tak mengetahuinya, instruksi perubahan besar-besaran baru saja kita terima.”
“Lalu, bagaimana prosesnya akan berlangsung?”
“Kondisi kesehatan Jenderal Yalder tiba-tiba saja menurun, sehingga harus kembali dan menyembuhkan diri di Ibu kota Kerajaan. Sudah diputuskan bahwa kita, Pasukan Ketiga, akan digabung dengan Pasukan Keempat dari utara. Dengan kata lain, kita akan mengalami pergantian pemimpin bersamaan dengan datangnya bala bantuan.”
“…Siap.”
Jenderal Yalder terlihat sangat sehat dan penuh vitalitas hingga kemarin. Yalder, yang menerima perintah dari Ibu kota Kerajaan, mengalami kesulitan untuk menahan amarah dan rasa malunya, dan membuatnya berteriak marah. Ruangan Yalder sangat kacau, seolah baru saja diserang musuh. Ia baru saja menyadari bahwa surat dukungan yang dikirimkan oleh Ibu kota Kerajaan, hanyalah sebuah surat penghiburan. Bagi Pasukan Ketiga, yang telah ia besarkan sendiri, untuk diambil alih oleh orang lain, baginya sama halnya dengan orang lain yang telah menculik darah dagingnya sendiri.
Setidaknya ia bisa merasa lega karena pangkatnya tak diturunkan, pikir Schera. Jujur, ia tak terlalu peduli dengan siapapun yang memegang kekuasaan, jadi wajar jika ia merasa tak peduli.
Jenderal Yalder menyayangi Schera layaknya cucunya sendiri, dan bahkan memberikan nama keluarga Mayor Jenderal Jira yang telah gugur di medan perang. Yalder merasa sayang jika keturunan Jira, yang tak memiliki anak, harus berakhir, sehingga ia merasa adalah ide bagus untuk mengangkat Schera yang gagah berani sebagai anak angkat Jira.
Sidamo merasa kepayahan akibat beban tambahan yang harus ditanggungnya. Sejak awal, Jira hanya tak memiliki keturunan, namun ia masih memiliki kerabat yang mampu meneruskan nama keluarganya. Tentu saja ia mengalami kesulitan, namun setelah dengan gigih bernegosiasi, akhirnya ia mendapatkan persetujuan. Setelah ia memainkan kartu terakhirnya, emas yang telah disiapkan oleh Yalder, kerabat Zade, yang memahami situasinya, tiba-tiba saja merubah raut wajah mereka. Daerah kekuasaan keluarga Zade sudah lama digadaikan, dan nama keluarga mereka tak lebih dari sebuah dekorasi. Uang di tangan jauh lebih bernilai daripada rasa bangga mereka akan garis keturunan mereka1.
Aku sudah paham akan hal itu sejak awal… tapi, ada beberapa hal yang tak boleh seseorang abaikan, apapun yang terjadi.)
Sidamo mengejek dirinya sendiri yang juga telah dimanipulasi oleh nama keluarganya. Ia telah menyelesaikan tugasnya untuk mengurus pengangkatan Schera. Tentu saja orang yang bersangkutan tak menyadari sulitnya memberikan nama belakang bagi dirinya. Memiliki nama belakang yang sama sekali tak ia inginkan, Schera hanya bisa memasang wajah kesal akibat nama belakang yang dipaksakan oleh para atasannya. Ketika Sidamo mengingat kerja keras yang harus ia lakukan demi memasangkan nama tersebut di belakang nama Schera, rasanya ia ingin menampar gadis itu. Namun, ia sadar, jika ia benar-benar bertindak gegabah, maka pada akhirnya, hidupnyalah yang akan tamat. Tak ada jalan lain, Sidamo terpaksa menahan dirinya.
“Aku akan terus berusaha memenuhi tugasku sebagai petugas militer, walaupun aku akan kehilangan jabatanku sebagai Kepala Pimpinan Mliter. Kau juga, teruslah mengabdikan dirimu bagi kerajaan ini.”
“Baik.”
“Dan, aku tak ragu akan kemampuanmu sebagai seorang prajurit. Namun, aku agak ragu untuk memberikanmu wewenang atas nyawa para pasukanmu. Oleh karena itu, kuputuskan untuk memberikanmu dua orang ajudan untuk membantumu dalam memberikan komando.”
“Ajudan?”
“Benar. Mereka sendiri sangat antusias untuk bergabung dengan pasukanmu. Posisi sebagai pimpinan kelompok masih kosong, namun mereka menolaknya mentah-mentah. Mereka adalah orang-orang berbakat yang telah mempelajari strategi militer dari akademi militer kerajaan. Kurasa, mereka jauh melebihimu dalam hal strategi, taktik dan kepemimpinan.”
Sidamo tak lupa menambahkan ejekan terselubung bagi Schera dalam pengenalannya terhadap kedua orang ajudan baru untuk Schera. Sidamo berpikir bahwa Schera harus memiliki sedikit rasa tanggung jawab terhadap pasukannya.
“Benar sekali. Diriku juga berpikir begitu.”
Walaupun secara tak langsung disebut sebagai orang bodoh, Schera sama sekali tak peduli. Sidamo mengernyitkan dahinya ketika melihat wajah Schera yang seolah berkata ‘aku tak peduli, yang penting aku bisa tetap makan.’
“Unit kavalerimu telah menjadi pasukan elit yang paling terkenal di seantero Belta. Agar kau tak mengotori reputasi itu, pergunakanlah para ajudan itu dengan baik. Dengarkanlah nasihat mereka, abdikanlah pasukanmu bagi kerajaan.”
“Baik.”
Schera mulai tak fokus akibat ceramah Sidamo yang berkepanjangan. Memerlukan segenap dari dirinya hanya agar dirinya bisa mengucapkan ‘baik.’ untuk menjawab Sidamo.
“Jangan lagi menunggangi kudamu sendirian, lalu mengejar musuh tanpa pasukanmu. Begitu juga dengan tindakan yang kau sebut ‘pengintaian berkekuatan penuh’ lalu memimpin pasukanmu hingga melewati teritori musuh. Jika kau bertempur dengan bodoh dan akhirnya gugur, semangat semua orang disini akan terjun bebas. Itulah tanggung jawab yang dipegang oleh pasukan elit. Aku tak akan membiarkanmu mati konyol sendirian. Kau mengerti?”
“Tentu saja.”
Tentu saja…. ia tak mengerti.
Jika saja, tepat di depan matanya, ada musuh dengan lambatnya membawa makanan menuju titik strategis mereka, tentu saja ia akan segera menyerang mereka. Jika ia mendapat perbekalan itu, maka perutnya akan kenyang. Baginya, itu adalah hal yang sangat baik. Namun, setelah hal ini terjadi berkali-kali, musuh mulai menyertakan pengamanan ketat bersama dengan perbekalan tersebut. Lagipula hal ini telah memberikannya jasa militer, jadi tak ada masalah.
Itulah yang ada dalam pikiran Schera.
“Apa kau benar-benar mengerti? Apa kau mendengarkanku dengan kepalamu itu? Jika kau benar-benar mengerti, maka ucapkanlah dengan mulutmu sendiri.”
Mata Sidamo sudah dangat hingga ia mampu mengetahui keraguan Schera. Penilaiannya terhadap Schera adalah ‘ia seorang pejuang tangguh, namun kepalanya berbanding terbalik dengan kemampuan berperangnya.’
Jenderal Yalder juga setuju akan penilaiannya.
Seorang Petugas Militer haruslah memiliki kesabaran untuk menangani orang-orang seperti Schera. Sidamo, yang tak mampu menangani mereka, menyebabkan pangkatnya sebagai kepala pimpinan militer dicabut. Oleh karena itu, setelah Pasukan Keempat mengambil alih, maka dapat dikatakan bahwa jalannya menuju sukses telah dipotong. Sidamo merasa cukup gundah, namun ia belum menyerah. Sampai kedudukan keluarganya bisa dikembalikan, ia tak akan pernah menyerah.
“Saya, Mayor Schera, benar-benar mengerti!”
“Aku akan menugaskan kedua ajudan itu begitu mereka tiba. Aku telah menjelaskan pada mereka tentang apa yang akan terjadi ke depannya, jadi seharusnya tak akan ada masalah. Itu saja yang ingin kukatakan. Kau boleh keluar.”
Merasa lelah, Sidamo segera kembali mengerjakan tugasnya. Rasa lelah yang berbeda muncul ketika ia berbincang dengan Yalder. Jika ia harus berbincang lebih lama dengan sang Maut, mungkin saja ia akan segera bertemu dengan kakaknya yang telah wafat. Atau mungkin jadi gila seperti saudara perempuannya.
“Siap, saya, Mayor Schera, akan kembali ke pos saya!”
Schera, yang telah mengambil sikap siap selama pertemuan itu, terlihat pusing dan kelelahan.
Namun, seolah bahagia karena ia tak perlu lagi berlaku formal, ia segera menghela napas panjang setelah keluar dari ruangan itu.
Dan, “Ahh, aku lelah sekali,” katanya dengan suara lantang.
Saat itu juga, sebuah benda tumpul terdengar menghantam pintu ruangan Sidamo.
Pintu itu sendiri tak mengalami kerusakan apapun, sebagai akibat dari kuatnya bahan dasar yang digunakan untuk membuat pintu itu.
Mungkin, stres telah menumpuk dalam benak Sidamo, dan ia melempar vas bunganya sebagai pelampiasan. Pasti ia lapar. Schera bersimpati kepada Sidamo.
“Seperti yang kukira, kepalamu tak akan bisa bekerja dengan baik jika kau lapar.”
Schera mengeluarkan sepotong roti dari tas yang ia bawa, meinggalkannya di depan pintu Sidamo, dan meinggalkan tempat itu. Seolah memberi makan seekor binatang, atau meninggalkan persembahan pada yang telah meninggal. Tentu saja, ketika ia menemukan potongan roti itu, rasa kesal Sidamo makin menjadi-jadi.
Pasukan Ketiga Kerajaan yang bertahan di Kastil Belta, dan Pasukan Pembebasan Ibu kota Kerajaan yang menetap di Antigua berada dalam situasi seimbang, tanpa bisa melakukan apa-apa. Kavaleri Schera, yang berjumlah 3000 orang, telah diluncurkan, dan dengan memanfaatkan kemampuan mereka, mereka bertugas untuk berpatroli dan menjatuhkan musuh terdekat
Itulah yang seharusnya terjadi, namun terkadang ia mengambil langkah independen, melakukan pengintaian lebih jauh, dan menyergap suplai makanan musuh. Tentu saja ini adalah pelanggaran regulasi militer, namun karena ia telah memberikan jasa yang semakin besar, para polisi militer memutuskan untuk mengabaikan perilakunya. Pasukan Pembebasan tentu saja tersiksa oleh serangan gerilya yang ternyata jauh lebih genting dari prediksi mereka, sehingga mereka mulai memperketat penjagaan mereka terhadap kiriman perbekalan mereka.
Pada momen inilah, nama Schera mulai dikenal olehPasukan Pembebasan.
-
- Di Jepang, nama seseorang biasanya terbagi kedalam dua kata, nama depan, dan nama belakang. Nama belakang selalu merujuk kepada nama keluarga, dan nama depan merujuk pada nama pemberian orang tua. jadi, Schera Zade, Schera adalah nama asli tokoh utama kita, dan Zade merujuk pada nama keluarganya. biasanya, nama belakang akan mengikuti nama keluarga sang ayah, yang menandakan bahwa seseorang telah bergabung dalam keluarga besar ayahnya.Terus kenapa di sini jadi masalah besar? Nama belakang akan menandakan bahwa orang itu bergabung dengan keluarga besar ayah. jadi dalam hal ini, Jira adalah seorang bangsawan, sehingga diangkatnya Schera, seorang rakyat jelata, menjadi seorang bangsawan. stereotypenya, bangsawan sangat membanggakan keluarganya yang murni berdarah bangsawan, dan sekarang, seorang rakyat jelata akan mengotori darah kebangsawanan mereka. selain itu, dengan diangkatnya Schera menjadi bangsawan, dia memiliki hak untuk mewarisi kekayaan Jira, yang merupakan seorang Mayor Jenderal.
TL Note: nama Schera mengacu pada Scheherazade dari cerita Seribu Satu Malam
.
.
.
Terjemahan ini milik Centinni
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/qHkcfMc
Kami juga membuka donasi via Gojek pay guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 8.2 - Roti yang Diberikan Sebagai Hadiah Mungkin Akan Terasa Enak (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
