The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 36
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 36 - Kisah Sampingan 2 : Burung Malam
Pada dasarnya, Veloce mirip dengan kakeknya. Ia memiliki kepribadian sederhana dan cepat pulih dari segala hal. Karena ia adalah tipe yang kebetulan memahami penaksiran api, ia pada dasarnya merupakan pelayan, ketua, atau staf yang sempurna.
Schera dan Katarina sepenuhnya memercayakan teknik peperangan padanya, jadi kemampuan alaminya dalam hal itu sangat baik.
Dalam satu kali pengajaran, Katarina dengan putus asa ia latih, namun sayangnya hal itu tak membuahkan hasil.
Setelah kakeknya gugur dalam perang, Veloce menerima sebuah kehidupan di dunia ini. Ayahnya mencoba untuk menghimpun kembali sisa-sisa dan membangun kembali Kerajaan, namun rencana itu gagal. Ia ditahan dan keberadaannya tak diketahui. Ia mungkin sekarang sudah meninggal.
Ibunya meninggal karena terlalu banyak bekerja. Veloce sangat muda dan sendirian di dunia ini.
Beberapa lama kemudian, Veloce dilindungi oleh Kerry Madros, yang memiliki hubungan dekat dengan kakeknya. Ia meninggalkan kampung halamannya dan bersembunyi di daerah Madros yang jauh.
Veloce, yang dihadiahi uang dari rampasan perang Kerajaan Baru, sepenuhnya menyendiri, tak berinteraksi dengan dunia luar saa sekali.
Adalah rahasia umum bahwa Kerry menyembunyikan putri dari Rumah Gale, namun Kerajaan Baru tak bertindak. Bahkan ketika Madros menjauh, mereka bahkan tak ingin memedulikannya. Mereka terkekang untuk mengirimkan pembawa pesan.
Di sana ketika Katarina dan Schera, yang bergabung dengan Gereja Bintang muncul.
Sambil menatap Veloce dan Schera yang berlari cepat menuju kafetaria, Katarina berbisik sambil terkagum-kagum.
Kulitnya tampak buruk, namun mantel merah muda itu menyilaukan. Kacang kenari yang ia cengkeram di tangan kanannya membuat suara membosankan saat dihancurkan.
“Veloce, ah tidak, Yang Mulia Veloce sama seperti biasa.”
“Menurutku Beliau tak memedulikan pengabaian pangkat itu.”
“Tentu, tapi bukan itu masalahnya. Pangkat itu diperlukan.”
“Apa begitu? Kalau begitu, lakukan seperti keinginanmu saja,” kata Dima. Ia mungkin akan dipandang sebagai orang tak berperasaan, namun ia entah bagaimana hanya bisa berbicara seperti ini.
Katarina memikrikan kenangan tentang kepala stafnya.
“…Tempat itu, kau tampak seperti ayahmu, bukan begitu? Kepalanya sangat keras, namun dia sangat hebat.”
“Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya jadi saat kau mengatakan itu, aku tak tahu harus bereaksi seperti apa.”
“Yang Mulia mungkin terganggu, namun saya tak terganggu sama sekali. Jadi tak ada masalah.”
“Apa begitu?”
Ketika Dima menyesuaikan kacamatanya sambil cemberut, Katarina juga menaikkan kacamatanya dengan bangga.
Nama pemuda itu adalah Dima Art, keponakan Staf Perwira Sidamo, yang gugur dalam perang.
Ia adalah putra kedua kakak tertua Sidamo, Matari Art. Katarina berpikir ia tampak pantas sebagai staf perwira Veloce dan ia menarik Dima kelaur dari markas gereja.
Seperti yang ia duga, Dima sepenuhnya pantas. Ketidak pedulian dalam kepribadiannya sebenarnya sangat cocok. Cocok sehingga hal itu tak menjadi hubungan tuan dan pelayan.
Namun, ia menyimpulkan bahwa ia dan Schera adalah yang terbaik dan lanjut berbicara. “Belakangan ini ada yang tampak aneh dengan Veloce, jadi aku khawatir. Bisakah kita berbicara sejenak?”
“Bukankah pangkat itu mutlak?”
Dima memberi ucapan menusuk pada Katarina, yang tiba-tiba melupakan sopan santun.
“Orang yang akan kita sebut tak ada di sini, jadi apa kekhawatiran itu diperlukan?”
“Apa begitu?”
“Begitulah.”
Mereka berdua menaikkan kacamata mereka. Tak ada yang bisa melihat ekspresi mereka.
“Veloce memedulikan kejadian itu.”
“Kejadian apa?”
Jika ada beberapa iblis yang bekerja yang tak ia ketahui, Katarina berpikir apa yang sebenarnya mungkin terjadi.
“Dalam perang untuk merebut Cyrus, mengambil penghargaan atas perang Schera.”
Peperangan di mana pasukan gabungan Wealth dan Madros, dipimpin oleh Schera, menyerang Benteng Cyrus.
Kekaisaran, atas permintaan Gereja Bintang, memutuskan untuk mengutus prajurit mereka ke wilayah Wealth. Schera kemudian memimpin prajurit pribadinya ke gereja.
Selanjutnya, ia telah sukses memenuhi tuntutan Kerry, dan menggabungkan pasukan militer Madros, yang berencana menyerang tempat itu.
Veloce dengan jiwa pejuang dan kepemimpinannya ditunjuk sebagai pemimpin strategi pengambil alihan.
Benteng itu bernama Shishi Masaru. Jenderal yang memimpinnya adalah putra pahlawan Pasukan Pembebasan, Fynn. Pahlawan itu, Fynn Catefu, yang mendekati usia enam puluh, telah pensiun dari garis depan, dan bentengnya ia berikan pada putranya.
Walaupun, ia tak sepenuhnya pensiun. Ia mempertahankan benteng bersama putranya. Milla, yang merupakan istri sekaligus ajudannya, telah meninggalkan dunia ini tanpa melihat perang Kerajaan Baru.
Cucu dari Yalder dari negara yang telah kalah dan putra dari Fynn, putra pahlawan Pasukan Pembebasan.
Mereka harus berhadapan satu sama lain secara tak terduga, namun posisi mereka telah sepenuhnya berbalik.
Pasukan Kesatuan Gereja Bintang berjumlah 50.000 orang. Prajurit Kerajaan Baru hanya berjumlah 5.000 orang. Prajurit Kerajaan Baru telah dikalahkan di berbagai tempat, dan mereka berusaha mengumpulkan prajurit-prajurit untuk perang terakhir di Ibu Kota Kerajaan Blanca. Benteng Cyrus tampak seperti batu pengorbanan di permainan Go, tempat itu perlu dipertahankan selama mungkin.
Karena memahami hal ini, Fynn dan putranya secara sukarela mempertahankan benteng. Jika kau bertahan dan memperlama perang, ada kemungkinan sesuatu akan terjadi.
Walaupun mereka telah berkumpul atas perintah Paus Gereja Bintang, ada banyak pangeran yang ambisius di dalamnya.
Dalam peperangan yang mereka prakarsai ini, ia tak tahu apakah mereka hanya akan saling membantai. Ada secarik harapan dalam seorang pahlawan yang sudah tua seperti Fynn.
“…Ahh, apa kau masih mengkhawatirkannya? Kepala banteng itu?”
Katarina menutup salah satu matanya dan mengingat saat itu.
Tentu, itu adalah kejadian yang tak Schera khawatirkan sama sekali. Tapi juga, tentunya, Velocelah yang akan mengkhawatirkannya.
“Aku bisa pulih dengan cepat, namun ternyata ini tetap memengaruhiku. Terkadang, aku mengingatnya dan harus menarik napas dalam-dalam.”
Katarina menarik napas dalam-dalam, bertanya-tanya mengapa ia mengkhawatirkan hal seperti itu.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 36 - Kisah Sampingan 2 : Burung Malam
Donasi pada kami dengan Gojek!
