The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 33.4
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 33.4 - Aku Sudah Selesai Makan (4)
4.000 infanteri Pasukan Kerajaan yang tersisa tampaknya sudah menghabiskan stamina mereka, dan kekuatan mereka melemah.
Ia harus mengisolasi mereka semua dan setelah itu menghancurkan mereka. Musuh akan dikelilingi oleh pasukan yang sepuluh kali dari jumlah mereka. Sejak awal memang tak ada kekalahan bagi mereka.
Kavaleri Singa bertemu dengan Kavaleri Maut.
Fynn memutuskan untuk mengincar Schera, dan ia mengeratkan genggaman tombaknya. Satu serangan ketika mereka saling bertemu. Ia bermaksud untuk mengakhirinya di sana.
Schera tengah memegang sabitnya di sampingnya dengan horizontal menggunakan kedua tangannya. Mata sabitnya dilumuri darah, dan benda itu telah memungut banyak jiwa.
“Schera sang Dewa Maut! Kepalamu milikku!”
“…”
Tiba-tiba, Schera melemparkan sabitnya ke atas. Dan ketika Fynn mendongak, dengan cepat, dua buah sabit kecil menancap di kedua bahu Fynn.
Schera telah melemparkan dua buah sabit kecil dari pinggangnya.
“—A-apa.”
“Aku tak memiliki waktu untuk bermain denganmu. Tujuanku hanya kepala Komandan Tinggi.”
Tanpa melihat Fynn yang roboh akibat rasa sakit yang hebat, Schera bergerak maju dengan dua ribu anggota kavalerinya.
Terjatuh dari kudanya, Fynn berlumuran lumpur yang kotor dan ditendang oleh kuda-kuda. Ia berteriak saat ia menggeliat kesakitan, melumuri dirinya sendiri dengan kotoran.
Hingga Mila menyadari dan bergegas ke arahnya, ia disiksa oleh rasa sakit yang tak berujung.
Mengangkat sabitnya, Schera sekali lagi menggenggam tali kekangnya.
Dengan Kavaleri Singa Fynn yang telah mereka terobos, Schera maju ke arah markas musuh, bendera jenderal musuh berkibar di atasnya, ketika mereka merobohkan pagar pelindungnya.
Untuk menahan pergerakan musuh yang cepat, anggota kavaleri atas keinginan mereka sendiri berhenti dan berbalik.
Hanya Schera yang bergerak maju, maju, dan maju. Yang mengikutinya adalah Darus hanya dengan kurang lebih dua ratus penunggang. Yang lain memberikan diri mereka pada sang maut dan pergi untuk mengganggu formasi musuh.
“—Haah-, Haah-“
“Hampir sampai Kolonel! Itu bendera Diener si bajingan!”
“Sayangnya, itu bukan Altura.”
“Sekarang bukan waktunya untuk serakah! Adalah keajaiban kita bisa sampai sejauh ini!”
“Tak ada sesuatu yang bernama keajaiban. Hanya kebencian dan tekad.”
Ia mengayunkan sabitnya sambil menggertakkan giginya. ia takkan bisa bergerak sebentar lagi. Tak banyak waktunya yang tersisa.
Menjatuhkan panah-panah yang menghujaninya, Schera menyerang ke depan.
Wajah pria muda yang tajam dan kaku memasuki jarak pandangnya. Berbeda dari prajurit lainnya, ia mengenakan seragam yang tak kusut.
Giginya bergemeretak keras hingga darah mengalir dari bibirnya. Tampaknya ia sangat marah.
Ia berpikir untuk melemparkan sabit kecil, namun ia telah menggunakan yang terakhir pada pria singa yang sebelumnya itu.
Apa pun itu. Mungkin akan lebih baik jika ia memenggalnya dengan sabitnya. Schera memegang sabitnya tinggi-tinggi.
Satu serangan terakhir. Ia hanya memiliki satu serangan terakhir. Mangsa terakhirnya adalah bajingan ini. Ia akan membunuhnya, tanpa gagal.
Jumlah kavaleri di belakangnya berkurang saat ia lanjut bergerak. Hanya sedikit lagi. Hanya sedikit lagi.
Hanya beberapa detik jauhnya dari kepala musuh bebuyutannya, hanya satu langkah lagi.
“—Pemanah, tembak!”
Di saat yang sama sebuah suara yang familier berteriak, beberapa anak panah menusuk tubuh Schera.
Schera merasa seolah ia akan terjatuh dari kudanya sebagai akibat dari hal itu. Ia mencengkeram tali kekangnya dan menahannya.
Dunianya terbalik. Ketika ia memastikan pemilik suara itu. Adalah Vander si pengkhianat. Schera tersenyum melihat wajah dalam kenangan ini.
Ahh, betapa penuh kenangannya Belta itu. Katarina, Sidamo, Yalder. Ada banyak manusia yang menarik. David, Konrad, Darus. Ada banyak manusia yang aneh. Diener, Vander, Octavio. Ada banyak manusia yang menjijikan.
Banyak hal yang terjadi. Dalam satu tahun ini, benar-benar ada banyak hal.
Ia lelah.
Darah dengan kasar memercik keluar mulutnya, dan Schera terbaring ke depan kudanya. Bahkan walaupun demikian, ia tak melepaskan sabitnya.
“Dewa Maut telah tertembak! Ambil kepalanya!” kata Vander, dan infanteri membanjir ke depan. Lebih banyak anak panah yang ditembakkan untuk membantu.
Kavalerinya berdiri di depannya, lengan mereka terentang lebar-lebar saat mereka gugur untuk melindunginya.
Darus mengambil alih tali kekang dari Schera yang roboh dan menariknya dengan kuat.
“Bertahanlah! Hei!”
“…Apakah ini… akhirnya…Aku bertanya-tanya.”
“Bodoh! Belum! Kita belum mengambil kepala bajingan itu!”
“Tapi… aku agak… lelah.”
“Diam! Aku tak mau mendengar tingkahmu, Maut! Hei kau, bawalah Kolonel dan larilah! Gunakanlah semua yang kau dapat dan larilah entah ke mana!”
“T-tapi.”
Seorang penunggang muda kebingungan atas perintah Darus.
Ia telah siap untuk mati; mengapa ia harus kabur? Ia tak paham. Ia tak bisa mengabaikan rekan-rekannya dan kabur.
“Itu akan membuat orang-orang ini jengkel! Jika Kolonel kabur, bajingan itu akan kesal. Ayo, bergerak! Jangan berbalik!”
“Di-dimengerti!”
Mengangkat tubuh Schera, penunggang muda itu mundur. Beberapa orang penunggang mengikuti untuk melindunginya.
Darus tersenyum tipis dan ia berbalik. Ia telah menemukan tempat yang bagus untuk mati. Ayah sialannya mungkin juga takkan memprotesnya jika ia gugur saat melindungi seorang wanita. Inilah yang terbaik.
“Heh, inilah akhirnya! Schera, ini untukmu!”
Darus dan kavalerinya yang selamat memeras tenaga terakhir mereka dan menyerang.
Mereka bergerak ke dalam kelompok pemanah, dan mereka bertarung dengan keras walaupun mereka dihujani anak panah. Mereka hampir seperti iblis jahat.
Mereka sejujurnya bertempur dengan keras. Demi mengulur waktu hingga Schera bisa melarikan diri, mereka membuat kerusakan besar di markas Diener.
Satu pria membunuh sepuluh musuh. Sebenarnya, lebih, dan setiap prai bertempur seperti kesatria terhebat dari sejarah.
Pada akhirnya, mereka ditarik turun dari kuda-kuda mereka oleh kerumunan prajurit yang marah, dan kaki tangan mereka disalib, dan semua anggota gugur sambil tertawa gila.
Darus juga, bukan sebagai pria dari Madros, namun hanya Darus, gugur dalam perang.
Dengan musuh yang telah dibinasakan, markas Pasukan Pembebasan akhirnya memperoleh kembali ketenangan mereka.
Dibebaskan dari ketakutan karena Maut yang akan segera datang ke hadapannya, Diener menggerakkan tangannya yang gemetar di rambutnya.
“…Apa, ini.”
Diener menatap perkemahan yang setengah hancur.
Di hadapannya adalah mayat-mayat prajurit Pasukan Pembebasan. Di wajah mereka terdapat kesedihan.
Ketika ia menatap mayat-mayat penunggang Maut, mereka semua gugur dengan senyuman mengejek, merasa puas. Wajah mereka seolah mencemooh Diener dengan janggal.
Vander mendekat dan berbicara.
“…Tuan Diener. Apa Anda terluka?”
“Apa yang baru saja terjadi!? Apa aku dikalahkan oleh Dewa Maut itu lagi!?”
“Tolong tenang. Maut telah dipukul mundur. Ini kemenangan Anda.”
“Apa ini tampak seperti kemenangan bagimu!? Aku bermaksud untuk melemahkan mereka karena kelaparan dan menahan korban, namun keadaan menyedihkan apa ini!?”
“…”
“Aku, aku… mengapa, mengapa aku tak menyiapkan sebuah jalur pelarian? Mengapa aku mengubah semua musuh menjadi prajurit Maut. Apakah aku telah menjadi congkak tanpa kusadari?”
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas Indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/v4pveKG
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 33.4 - Aku Sudah Selesai Makan (4)
Donasi pada kami dengan Gojek!
