The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 33.3
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 33.3 - Aku Sudah Selesai Makan (3)
Kehilangan kesabaran, seorang komandan Pasukan Pembebasan muncul, membawa para pengguna busur silang. Karena awalnya ia berpikir ia tak perlu menggunakan mereka untuk menyerang, maka dibutuhkan waktu untuk menyerang mereka.
Adalah aib jika mereka tak mampu menghancurkan musuh dengan jumlah mereka yang sangat banyak. Apalagi musuh mereka tak lagi memiliki kekuatan yang tersisa.
“Kalian para prajurit Kerajaan telah bertarung dengan baik. Aku memuji kalian. Tapi, hanya sejauh inilah kalian bisa pergi. –Pemanah, formasi.”
Sesuai perintah komandan mereka, pemanah-pemanah itu membentuk tiga barisan, dan membidik.
Para prajurit kavaleri menyiapkan tombak-tombak mereka, siap untuk saat-saat mereka.
“Hidup Kolonel Schera!! Kemenangan untuk Kolonel!”
Anggota kavaleri itu berucap bersamaan, dan komandan itu mengayunkan pedangnya.
Para pemanah menarik pemicu, dan menembak. Kemudian tembakan kedua. Dan tembakan ketiga. Barisan pertama memuat ulang amunisi.
Kavaleri Schera roboh dalam diam. Beberapa menusukkan tombak mereka ke tanah, menolak untuk roboh.
“Orang-orang ini akan bergerak hingga akhir, paling akhir. Tetap menembak. Tak perlu ragu.”
Komandan yang pernah mendengar keburukan kavaleri itu dari Diener dan Fynn memastikan agar tak terlalu dekat. Ia tetap menjaga jarak dan terus menembak.
Tubuh-tubuh anggota kavaleri itu diperlakukan seperti boneka jerami yang digunakan dalam latihan menembak, dan pemanah itu mencemooh saat mereka menembakkan panah mereka.
Setelah beberapa ratus panah yang ditembakkan, tak ada lagi yang hidup.
Tubuh-tubuh mereka seperti landak yang menggelikan. Pasukan Pembebasan itu tertawa.
“Idiot-idiot ini membuat kita menyia-nyiakan waktu. Dan semua itu untuk apa?” bisik komandan itu, yang menatap mayat-mayat anggota kavaleri itu dengan jijik.
Seorang prajurit yang melihat papan tanda itu, dan berbicara.
“Yang Mulia! Tampaknya kebun aneh ini adalah milik Dewa Maut. Tanda tangannya ada di atas sini, dan katanya kita tak boleh merusaknya!”
“Menggelikan. Mereka tetap di sini hanya untuk melindungi sebuah kebun? Apa yang mereka pikirkan? Perbuatan orang gila memang sulit dimengerti.”
Komandan itu meludahkan humor yang jahat.
“Semua untuk Kolonel Schera? Bukankah mereka sudah gila?”
“Kentang Wealth ini? Mereka mati untuk kentang!”
Salah satu prajurit mencabut salah satu tanaman yang dikubur di ladang itu seolah ia tengah menyentuh sesuatu yang menjijikan. Kemudian ia menghancurkannya dengan penuh semangat dengan kakinya.
“Yah, apa pun itu. Jika ini sangat penting, kita akan mengubur mereka bersamanya. Mereka adalah prajurit Dewa Maut yang buruk; kita tak ingin mereka menghantui kita.”
“Dimengerti!”
“Hehe, mari kita bakar mereka semua!! Menyingkir!”
Para prajurit Pasukan Pembebasan itu menendang mayat-mayat anggota kavaleri saat mereka mengumpulkan semuanya ke satu tempat.
Ladang kentang Wealth yang Schera besarkan dengan sangat hati-hati telah dirusak dengan tragis.
Mereka merobek tanaman itu menjadimenjadi potongan olok-olok dengan pedang mereka, menggali ladang itu sepenuhnya dengan tombak-tombak mereka, dan menginjak tanah berkali-kali, dengan jumlah yang tak terhitung dengan sepatu bot mereka.
Mereka menuangkan minyak di atas mayat-mayat, dan menyalakan api di atas mereka bersamaan dengan tanaman-tanaman yang rusak.
“Baiklah, naikkan bendera kita di atas benteng ini. Biarkan Tuan Ahli Strategi mengetahui kemenangan kita.”
“Dimengerti!”
“Sialan, akhirnya kita bisa maju ke Ibu Kota Kerajaan. Sudah lama sekali.”
Infanteri itu mengikuti komandan mereka dan mulai naik ke salah satu menara.
Di belakang mereka adalah segunung mayat yang menyala oleh api dan puing-puing ladang yang telah terbakar.
.
.
.
Markas Pasukan Pembebasan. Diener meragukan matanya sendiri atas situasi yang terjadi di depan matanya.
Menghalangi musuh dengan barisan pertahanan dan membinasakan mereka dengan pemanah yang telah ditempatkan. Seharusnya semudah itu.
Namun, pemandangan apa yang terbentang di hadapannya? Ia tak bisa memahaminya sama sekali.
“M-mengapa. Mengapa mereka tak terhentikan!?”
Pasukan Kerajaan mengisi parit-parit dengan mayat, menghancurkan pagar-pagar, dan menyingkirkan pagar-pagar berpaku, semuanya sambil bertahan dari panah.
Saat itu, prajurit yang terbunuh berjumlah ratusan.
Ia telah menerima kabar bahwa jenderal musuh, Larus telah mati. Bukankah aneh bahwa mereka belum kehilangan keinginan untuk bertempur?
“Tuan Diener, musuh tampak seperti tikus yang dipojokkan. Dengan jalan keluar mereka yang sepenuhnya dihalangi, mereka hanya bisa bertempur.”
“Diam! Kirimkan lebih banyak prajurit ke depan! Mereka tak boleh dibiarkan mendekat!”
“D-dimengerti!”
Membangun blokade, melenyapkan semua jalan keluar, itulah Diener. Adalah ia juga yang telah mengabaikan kapitulasi mereka dan memutuskan menghancurkan mereka semua.
Infanteri musuh yang selamat bergabung dengan garis depan sekutu mereka. Di belakang mereka adalah kavaleri yang mengangkat sebuah bendera hitam dan menendang awan debu di belakang mereka.
Mereka tak memprioritaskan kemenangan, namun kematian dan penderitaan musuh bebuyutan mereka, dan darah rekan-rekan Pasukan Pembebasannya tertus menerus tertumpah.
Diener menyesali keputusannya, namun sudah terlambat.
Prajurit sang Maut menerjang ke depan, mengincar markasnya, sambil membuat lebih banyak korban.
Pasukan Pembebasan mencoba menyerang mereka dari segala sisi, namun momentum kavaleri musuh tak melambat.
“Sialan! Kalau sudah begini-“
“Tuan Diener! Kavaleri Singa! Kavaleri Fynn telah datang!”
“A-apa!”
Tepat ketika Diener mulai memikirkan tentang evakuasi dari markas, kavaleri yang mengibarkan bendera sang Singa menerjang pasukan sang Maut.
Infanteri Pasukan Kerajaan yang menerobos formasi mereka terhenti.
Para prajurit yang terus memutuskan untuk maju, harus mendorong dengan mutlak, dan jika mereka terhenti, mereka rapuh.
“Tuan Diener!”
“Aku tahu! Jangan lewatkan kesempatan, bergabunglah dengan unit Fynn dan hancurkan mereka semua sekaligus!”
Diener tiba-tiba berdiri dan memberi perintahnya.
Dengan heroik mengayunkan tombaknya, dengan memanfaatkan mobilitas mereka, dan mengalahkan Pasukan Kerajaan adalah Fynn dan Kavaleri Singanya.
Semangat musuh sangat tinggi, namun pergerakan mereka tidak tajam. Tampaknya mereka tak bisa menandingi pergerakan kavaleri yang tajam.
Kelaparan tak diragukan lagi telah menyerap habis stamina mereka. Fynn memenggal kepala salah seorang prajurit Kerajaan.
“Kolonel! Dewa Maut ada di depan kita! Kavaleri Maut tengah bergegas maju!” teriak Ajudan Milla sambil mengayunkan pedangnya. Kavaleri Maut tengah bergerak dengan barisan lurus, mengikuti jalan yang telah infanteri Kerajaan buka untuk mereka.
Di depan mereka adalah Schera. Ia bermandikan sejumlah besar percikan darah. Bahunya terangkat akibat tarikan napasnya saat ia menerjang dengan kudanya.
“Jadi Maut datang terakhir. Mereka seharusnya sudah melemah karena kelaparan. Aku takkan kalah kali ini.”
“Kolonel!”
“Apa, aku takkan pergi sendiri. Ini adalah pertempuran hingga mati. Ikutlah denganku; jangan menahan diri.”
“Baik!”
“Di sinilah kita! Kita akan membunuh Dewa Maut itu dan membuat nama untuk diri kita sendiri! Beri tahu mereka kekuatan Kavaleri Singa!” perintah Fynn, dan kavalerinya mulai menyerang dengan kekuatan musuh.
Reputasi Fynn sudah jelas tak tergoyahkan, namun jika ia membunuh Schera di sini, bisa dikatakan ia akan mencapai puncak kemahsyurannya.
Terbayang di depan matanya adalah ketenaran dan kejayaan. Ia tak boleh membairkan kesempatan ini lewat.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/v4pveKG
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 33.3 - Aku Sudah Selesai Makan (3)
Donasi pada kami dengan Gojek!
