The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 33.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 33.2 - Aku Sudah Selesai Makan (2)
Seolah mengganggu kegelapan malam, langit perlahan-lahan memutih.
Berbicara pada prajurit-prajurit yang berkumpul di gerbang utama, Larus menaikkan suaranya, wajahnya muram, dan ia memberi perintahnya. Muram, untuk kepahitan bahwa ia telah memerintahkan mereka untuk mati, namun ia menyembuntikan fakta itu.
“Gentleman, aku memberi kalian rasa terima kasihku yang terdalam karena telah bersamaku hingga hari ini. Kita akan tunjukkan pada pasukan pemberontak, semangat prajurit Cyrus. Kita akan membuat mereka tahu, keberanian pasukan elit Kerajaan. Tanpa gagal. Kita akan mengangkat kepala komandan mereka!”
“OU!”
“Baik, buka gerbangnya! Maut akan menjadi pemimpin kita! Kawal Kolonel Schera menuju markas musuh!”
“Hidup Kerajaan! Hidup Pasukan Pertama!”
“Semua unit mulai menyerang! Maju! Maju!”
“UOOOOOO!”
Jembatan tarik diturunkan, dan gerbang dibuka.
Larus menyerang sebagai garis depan, dan para prajurit menerjang di atas kuda mereka setelah dirinya.
Strateginya sangat sederhana. Larus dan infanteri akan menerobos pagar di sekeliling mereka, beserta pagar-pagar berujung tajam dan parit-parit, dan kemudian mengehentikan semua bala bantuan hingga mereka gugur. Unit Schera akan memanjati mayat-mayat mereka dan masuk ke markas musuh.
–Tanpa harapan mereka bisa kembali hidup-hidup.
Setiap anggota Kavaleri Schera mengangkat tombak-tombak mereka, dan siap menyerang.
Schera menatap mereka semua, dan mengangguk sekali.
“Kita akan membunuh para bajingan pemberontak sebanyak yang bisa kita raih. Aku akan bertarung, hingga aku tak mampu bertarung lagi. Jadi tetaplah bersamaku. Terima kasih atas segalanya. Makan dengan kalian semua sangatlah menyenangkan. Aku selamanya akan mensyukurinya.”
“Adalah kehormatan untuk bisa bersama Anda, Kolonel.”
“Kolonel, terima kasih banyak!”
“Hidup Tuan Schera!”
“Hidup Kolonel Schera!”
“Baiklah. Ayo pergi. …naikkan bendera! Kavaleri Schera akan mulai menyerang! Bunuh mereka semua!”
“Mulai menyerang! Ikuti Kolonel!”
Schera mengumpulkan kekuatannya dan berderap dengan kudanya. Darus berteriak, dan kavalerinya mengikuti, suara kaki kuda bergema.
Bendera-bendera hitam itu melalui gerbang, dan gagak putih yang terkutuk itu mengarungi ladang yang terbuka—untuk membawa kematian pada Pasukan Pembebasan, untuk membawa bahkan satu pria saja dengan mereka.
–Prajurit Cyrus dan Kavaleri Schera memulai penyerangan.
.
.
.
Merasakan serangan dari Pasukan Kerajaan, Diener memusatkan prajuritnya di depan markas, dan memerintahkan mereka untuk memanfaatkan pertahanan yang dibangun untuk membinasakan mereka.
Ia berencana untuk membunuh mereka semua dan tak membiarkan mereka menerobos. Ia bahkan takkan membiarkan satu orang saja bebas.
“Musuh sudah melemah. Tenang dan tembak mereka. Tembak dan bunuh mereka semua.”
“Tuan Diener, persiapan telah selesai.”
“Bagus, mulai pengambil alihan Cyrus. Jangan tawan siapa pun, bunuh mereka semua.”
“Baik!”
Pembawa pesan itu pergi. Sekarang karena pasukan utama Kerajaan telah menyerang, Benteng Cyrus hampir kosong. Tempat itu akan segera jatuh dengan serangan 30.000 orang.
Dengan taktik kelaparan kali ini, ia akan bisa membuat kehilangan prajurit mereka berada di tingkat yang sangat minimum. Pengepungan ini berjalan dengan sempurna.
Akan terlalu mudah bagi mereka untuk mengelak dari serangan tanpa rencana musuh. Mereka telah membangun garis pertahanan yang kuat.
Kavaleri Schera takkan mampu melewatinya. Satu-satunya hal yang menunggu mereka adalah kematian yang penuh kemalangan.
(Baiklah, bahkan jika mereka tetap di dalam benteng, mereka hanya akan bergerak menuju kematian mereka karena kelaparan yang seperti neraka. Faktanya, kami mungkin bisa dianggap sebagai malaikat karena telah membebaskan mereka dari kesengsaraan. Kukuh, seorang malaikat yang menyelamatkan sang Maut, oh betapa hal itu membuatku tertawa.)
Dengan tawa yang sepenuh hati, Diener mengeluarkan teropongnya. Kematian untuk Kerajaan yang bodoh—ini akan menjadi komedi terakhir mereka.
Setelah Schera dan yang lainnya menyerang, seperti kerumunan semut yang menyerbu mangsa, Pasukan Pembebasan pun bergerak menuju Benteng Cyrus.
Orang-orang yang memutuskan untuk menemui akhir mereka di sana dengan putus asa menjaga gerbang, namun mereka diterobos tanpa kesulitan.
Pelantak tubruk tak lagi diperlukan. Pasukan Pembebasan melekatkan tubuh mereka di gerbang, dan dengan paksa menerobosnya dengan palu godam besi.
Para prajurit yang telah melemah diserbu oleh Pasukan Pembebasan yang penuh semangat, dan mereka terbunuh tanpa belas kasihan.
Untuk prajurit-prajurit Pasukan Pembebasan yang menyerang, hanya ada sedikit kesempatan yang tersisa agar mereka bisa membuat nama dalam perang ini. Agar keberanian mereka dalam perang diakui, mereka harus membunuh semua orang.
Ini bukan medan perang, hanya sekadar arena berburu.
Tak ada yang menerima kapitulasi. Tak ada gunanya mendengar binatang buruan yang memohon demi naywa mereka.
Para prajurit yang menjatuhkan pedang mereka dan menyerah ditendang dan ditusuk dengan tombak-tombak. Kepala mereka ditikam berkali-kali dengan pedang.
Sama dengan yang terluka. Mengambil tawanan tak diperlukan. Berdasarkan perintah Diener, mereka membunuh semuanya, tak meninggalkan seorang pun yang tersisa.
Di tengah-tengah semua itu, ada sekelompok prajurit yang dengan tegas betempur hingga akhir. Mereka berbeda dari para prajurit Kerajaan lainnya yang berlarian untuk mencoba melarikan diri seperti bayi-bayi laba-laba yang tersebar. Di halaman benteng, seratus orang itu mengambil formasi persegi dan dengan berani terus melawan.
Di depan mereka terbaring mayat-mayat prajurit Pasukan Pembebasan, dan sekarang dengan senyum buas di wajah mereka, mereka tengah menarik tombak-tombak mereka dari daging mayat.
“Hahaha. Mereka tak memiliki keberanian. Jumlah mereka besar, namun di atas semua itu mereka hanya sampah yang dikumpulkan.”
“Jika Kolonel di sini, mereka pasti sudah mati kurang dari semenit.”
“Kita sendiri sudah cukup.”
“Kita harus membawa sebanyak yang kita bisa. Mari membunuh bahkan walau satu pria lagi.”
Mereka, Kavaleri Schera, mengelilingi ladang dengan formasi persegi, dan di tengah-tengah mereka berdiri bendera perang mereka.
Prajurit Pasukan Pembebasan yang berada di sekeliling mereka ragu untuk berjalan maju.
Bendera itu adalah simbol sang Maut. Mereka akan dihormati jika mereka bisa menurunkannya, namun mereka tak ingin mati ketika mereka telah menang.
Orang yang gegabah untuk mencari tanda jasa dan yang telah dengan semangat untuk membunuh telah menjadi potongan-potongan daging.
Benteng sudah sepenuhnya hampir direbut, namun hanya halaman ini yang terus tetap melawan. Bahkan walaupun mereka mengalami luka, atau jumlah mereka berkurang, Kavaleri Schera takkan pernah membiarkan mereka mendekati ladang.
Prajurit Maut tak takut pada apa pun.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/v4pveKG
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 33.2 - Aku Sudah Selesai Makan (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
