The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 28.5
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 28.5 - Kacang dari Mayor, Pahit dan Keras (5)
–Pasukan Kerajaan, markas Barbora.
“Kirim seorang pembawa pesan pada Octavio. Perintahkan dia untuk segera maju!”
Barbora menendang mejanya dengan kasar dan memerintahkan seorang pembawa pesan.
Ia telah menerima laporan bahwa Schera dan Konrad telah menyerang dan sukses memecah belah musuh. Ia sangat marah karena Octavio tak mulai menyerang sesuai rencananya. Kalau begini, mereka akan mengalami kemunduran. Tidak, mereka mungkin sudah terlambat.
“Jika ia melawan, suruh polisi militer untuk menahannya!! Tidak bisakah pria itu menggerakkan prajuritnya saja!!?”
Si pembawa pesan itu berlari tergesa-gesa, dan Mayor Jenderal Larus yang berada di sebelah Barbora mengamati keadaan peperangan menggunakan sebuah teropong. Celah yang telah dibuat oleh Kolonel Schera, yang membuat nyawanya terancam, telah terisi. Para prajurit yang mengelilingi mereka telah menyerang mereka, dan kemungkinan mereka akan dibinasakan sangat tinggi. Mereka akan mati sia-sia.
Ini adalah waktu saat Legiun Yalder akan mendaki ke Carnas dari barat. Mereka tak bisa mengubah operasi ini sekarang. Karena keputusan bodoh Octavio, bahaya bahwa mereka akan kalah mendekati Pasukan Kerajaan. Mereka telah membagi pasukan besar mereka untuk merebut dataran tinggi itu. Jika semua ini sia-sia, arus peperangan ini akan bergerak menuju musuh.
“Sialan!! Mereka tak berguna, semua anggota mereka!! Mengapa mereka tak bisa menerima komando ini!? Apa yang mereka pelajari ketika para dungu itu naik ke jabatan jenderal!!? Octavio, ini takkan berakhir hanya dengan peringatan!!”
Suara penuh kemarahan Barbora menggema dalam kekosongan. Larus bergerak kembali menuju unitnya dalam diam tanpa menjawab Barbora. Ia tahu Barbora tak memiliki kemampuan memimpin. Bagaimana hal ini akan berakhir jika Sharov berada di sini? Sambil mengingat atasannya yang telah gugur, Larus mengembuskan napas dalam-dalam.
(Masih belum diputuskan siapa yang akan menjadi pemenang dan siapa yang akan kalah. Ini akan sulit, tapi entah bagaimana kami harus memulihkan diri. Tak peduli seberapa busuknya ini, inilah negara yang Yang Mulia Sharov putuskan untuk Beliau lindungi. Aku harus membayar kemurahan hati yang telah aku terima dari Yang Mulia, bahkan walaupun bayarannya adalah nyawaku.)
Setelah menerima tuntutan penuh desakan Barbora, divisi Octavio akhirnya memutuskan untuk bergerak. Terompet perang dibunyikan dengan nyaring ketika mereka menerobos garis peperangan dengan semangat. Unit yang berada di depan mereka sudah sangat kelelahan setelah bertempur dengan Schera dan Konrad. Octavio yakin bahwa jika mereka segera menggerakkan pasukan besarnya dari depan, mereka pasti akan berhasil diterobos.
“Bunuh lawan unit Konrad dan Schera yang telah bertempur keras dalam kesia-siaan dan yang telah dibinasakan! Oh para pejuang pemberani dari Pasukan Pertama yang agung, maju! Jangan tertinggal! Injak mereka tanpa belas kasihan!! Jika kalian menginginkan penghargaan, maka kalianlah yang harus mengambilnya! Semua unit, serang!”
Sambil memuntahkan kata-kata yang memalukan, Octavio mengangkat pedangnya. Mengenakan baju zirah yang indah dan tanpa cela, ia tersenyum penuh kemenangan. Dalam pikiran pria itu, ia telah menang.
.
.
.
Perkemahan Dataran Tinggi yang Dibangun di atas Dataran Tinggi Carnas.
Divisi Ghamzeh dari Pasukan Pembebasan dipaksa dalam sebuah pertempuran yang tak tanggung-tanggung. Serangan gencar yang dilancarkan Pasukan Kerajaan dari barat sangat sengit, dan 20.000 prajurit yang diberikan padanya terbagi menjadi dua untuk bertahan.
Tepatnya karena ini adalah dataran tinggi, tanahnya tak datar, dan mereka membutuhkan waktu untuk menyusun kembali unit-unit.
Ia telah diberi tahu oleh seorang pembawa pesan bahwa unit penyerangan musuh di timur telah sepenuhnya dikepung di kaki dataran tinggi, dan pembinasaan mereka hanya tinggal masalah waktu. Tak memiliki tekanan lagi dari timur, Ghamzeh telah memutuskan untuk menemui Legiun Yalder, yang tengah melakukan serangan bunuh diri, dengan semua pasukannya.
Ia sangat antusias untuk membuat mereka merasakan serangan dari dataran tinggi.
“Hadapi prajurit musuh, dan turunlah menuju mereka! Pembawa pesan, perintahkan seluruh prajurit untuk memanfaatkan momentum dan menyerang dari atas! Buatlah diri kalian berjaya sesuka kalian! Jumlah kita sama, dan kita memiliki keuntungan dalam semangat dan wilayah; kita tak boleh kalah!”
“Dimengerti!”
“Kita akan membalas dendam atas hinaan yang kita dapat di Pegunungan Golbahar! Semua unit lakukan!”
(Jika kami berhasil meraih kejayaan di sini, faksi Belta takkan ada lagi. Kami harus membinasakan divisi musuh tak peduli apa pun yang terjadi. Takkan cukup jika kami hanya melindungi dataran tinggi ini. Seolah aku akan menuruti langkah Diener!)
Setelah selesai mengatur barisan, para prajurit dalam waktu yang paling buruk melancarkan serangan para Legiun Yalder yang menyerang mereka, ketika,
“Y-Yang Mulia Ghamzeh!! Musuh menyerang!!”
“Tenang! Divisi di barat ini adalah satu-satunya musuh kita! Kalahkan mereka semua!”
“B-bukan itu! Kavaleri musuh membanjiri kita dari timur Carnas dengan gerakan yang tak terhentikan!! Bendera hitam dengan emblem gagak putih! Itu Maut! Schera sang Dewa Maut ada di sini!!”
“Jangan bertingkah menggelikan! Bukankah mereka sudah sepenuhnya dikepung di kaki dataran tinggi!? Apa kau sudah kehilangan—“
Sebuah ledakan meledak di perkemahan pertahanan itu saat kavaleri musuh muncul. Berderap di depan mereka adalah sang Maut yang dicat dengan darah. Sebuah mayat terjuntai di ujung sabitnya, dan ia melemparkan mayat itu ke arahnya.
Sang Maut melemparkan mayat itu seperti karung pasir, dan tiang-tiang api meledak bersamaan dengan ledakan yang mengejutkan. Para prajuritnya menggeliat kesakitan saat mereka kehilangan nyawa. Para prajurit kavaleri di belakang Schera menyebar dan menginjak-injak para penjaga yang panik.
Ghamzeh meragukan matanya sendiri.
(A-aneh. Walaupun aku sudah memindahkan beberapa para prajurit di timur, bagaimana mereka bisa diterobos semudah ini!? Aku seharusnya menugaskan 5.000 penjaga di sana!)
Rasa was-was melayang dalam benak Ghamzeh.
(….Tunggu. Ada laporan bahwa salah satu bawahan Diener bergerak di sekitar dataran tinggi untuk beberapa alasan. ….jangan katakan padaku, Diener telah–)
Darah yang segar dan hangat memerciki wajah Ghamzeh, memikat pikirannya. Ketika ia tiba-tiba terlepas dari lamunannya, di depan matanya adalah sang Maut.
Seluruh pengawal Ghamzeh telah terbunuh. Dalam waktu yang begitu singkat itu, sebuah tontonan berdarah dingin yang mengerikan dimainkan di perkemahan dataran tinggi itu.
“Kau ternyata cukup santai untuk melihat ke mana-mana di tengah-tengah medan perang ini. Baiklah, cepatlah mati.”
“Kuh!”
Mata sabit yang jahat itu melayang ke arahnya, dan merobek tubuh bagian atas Ghamzeh. Karena ia dengan refleks langsung bergerak mundur, ia telah berhasil menghindari luka-luka yang fatal, namun sekarang mustahil baginya untuk bisa menghindari serangan berikutnya.
Sambil menatap darah merahnya yang berhamburan seolah hal itu tak ada hubungannya dengannya, Ghamzeh meyakini kematiannya sendiri. Dan, ia mengerti mengapa ia mungkin akan mati.
–Ia telah ditipu oleh Diener. Tak peduli betapa hebatnya gadis ini, menurutnya gadis ini takkan mungkin bisa menerobos 5.000 prajurit yang tersebar di timur dalam waktu sesingkat ini. tak peduli betapa kuatnya ia, mereka setidaknya pasti mampu mengulur waktu. –Tapi, di sinilah sang Maut.
Benar, tak ada para penjaga. Pria itu, telah memberi sang Maut bantuan. Atau mungkin, ia harus mengatakan bahwa Diener telah menggunakan sabit sang Maut.
Dataran Tinggi Carnas ini, adalah sebuah tiang gantungan yang disiapkan untuknya. Inilah eksekusi untuk Ghamzeh, yang jelas-jelas akan menjadi lawan politik Diener setelah perang ini. Dan algojonya adalah, perwira wanita yang berada di hadapannya.
Ghamzeh entah bagaimana berhasil menghubus pedangnya dengan tangannya yang agak bergetar.
(…Diener. Aku berharap aku bisa langsung membunuhmu. Aku akan menunggumu di neraka!)
Ketika ia mengeratkan gengaman pedangnya, bilah sabit yang melengkung yang meraungkan kebencian itu mengambil kepalanya.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 28.5 - Kacang dari Mayor, Pahit dan Keras (5)
Donasi pada kami dengan Gojek!
