The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 28.4
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 28.4 - Kacang dari Mayor, Pahit dan Keras (4)
Menunggang kudanya sejajar dengan Schera, Katarina menoleh dan melihat ke belakang sejenak. Unit Konrad telah ditelan oleh massa, dan ia memastikan pembinasaan mereka dengan matanya sendiri.
Di saat yang sama, mayat-mayat yang ditanamkannya di belakang mereka meledak, memuntahkan gumpalan asap.
“Kolonel, unit Konrad telah dibinasakan.”
“…Begitu, sangat disayangkan. Tapi, kita pasti akan menemui mereka cepat atau lambat.”
Sambil mengayunkan sabitnya dengan satu tangan, Schera mengeluarkan kacang yang Konrad gunakan untuk menipunya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Rasanya sangat pahit… dan keras. Wajah Schera berkerut. Terima kasih pada darah yang ada di kedua tangannya, kacang itu juga terasa seperti besi.
“Kolonel?”
“Tak ada, rasanya hanya sedikit pahit.”
Dari belakang mereka, kavaleri musuh mengejar. Kecepatan Kavaleri Schera, yang bergerak maju sambil menghancurkan musuh yang ada di depan mereka, sayangnya lambat. Katarina mengirimkan sinyal dengan tatapannya pada salah satu penunggang, dengan cara yang takkan diperhatikan oleh Schera. Ia tak perlu tahu.
“Bertarunglah hingga kau mati, dan ulur waktu.” Inilah perintah yang Katarina sampaikan pada mereka sebelumnya. Pada akhirnya, ia juga bermaksud untuk bertahan dan bertarung hingga mati.
300 prajurit yang jauh di belakang berbalik dalam diam dan mulai menyerang pasukan pengejar musuh. Mereka seperti tumbal. Agar atasan mereka bisa maju, mereka harus mengulur waktu.
Katarina menilai bahwa mereka takkan mampu mencapai tujuan jika ia tak menyiapkan pengorbanan, tak peduli sehebat apa pun kemampuan yang Schera miliki.
Memelototi Dataran Tinggi Carnas, Schera tak menyadarinya. Juga dengan cara yang tak disadarinya, Katarina dan yang lainnya bergerak maju sambil mengelilingi Schera.
“Jadi sisi ini benar-benar kekurangan orang. Prajurit musuh telah mengirimkan pasukan utama mereka pada Legiun Yalder. Kita akan pergi dan menjarah perkemahan musuh. Kita tak bisa menyia-nyiakan waktu berharga yang Mayor Konrad buat untuk kita.”
“Tentu. Seperti yang telah direncanakan, kita akan merebut Dataran Tinggi Carnas. Saya tentu akan melakukannya.”
Schera dan 2.000 penunggang kuda dengan paksa menerobos pertahanan yang jarang itu sambil dengan ketetapan hati mereka bergerak dengan cepat menuju dataran tinggi. Yalder telah membuat sebuah serangan sengit dari barat. Dataran Tinggi Carnas tak disangka-sangka telah berhasil dikepung sesuai rencana. Tentu, bisa dikatakan bahwa Kavaleri Schera dikepung juga.
Berapa lama 300 penunggang kuda bisa mencegah hal itu? Sebuah perlawanan tanpa harapan menuju kematian telah dimulai.
Kavaleri yang bertahan sambil menghalangi pengejaran itu dengan setia tengah melaksanakan tugas mereka.
“Kita adalah Kavaleri Schera.”
“Kalian tak seharusnya lewat.”
“Panjang umur Kolonel Schera. Kemenangan untuk Kolonel.”
Kavaleri Schera itu mengayunkan tombak-tombak mereka, mengempaskan darah. Banyak panah menembus baju zirah mereka, dan juga ada seseorang yang telah tertusuk tepat di tengah-tengah wajahnya.
Namun walaupun begitu, kavaleri itu tak kehilangan keinginan mereka untuk bertempur, dan lanjut untuk menjadi rintangan di jalan yang setengah menuju Dataran Tinggi Carnas. Mereka telah memperoleh lebih dari tiga puluh menit. Mereka mendekati batasan ketahanan mereka, namun untuk tuan mereka, mereka tetap mengangkat tombak mereka hingga akhir hayat mereka.
–200 penunggang tersisa.
“…J-jangan takut! musuh sudah terluka! Pengguna tombak, maju!!”
“T-tapi! Mereka monster! Mereka seharusnya tak mampu bergerak!”
“Diam, ini perintah! Maju!!”
Menerima perintah dari perwira komandan Pasukan Pembebasan, satu unit tombak yang terdiri dari 500 pria dengan takut bergerak maju.
Melihat hal itu dari belakang, Vander menyemangati mereka, memberikan sebuah hadiah.
Ia telah menerima perintah dari Ahli Strategi, Diener, dan telah datang ke tempat ini sambil memimpin satu buah unit.
“Siapa pun yang mampu membunuh kavaleri itu akan diberi hadian satu koin emas per kepala! Semuanya bersenang-senanglah!!”
“S-satu koin emas!?”
“P-per kepala!?”
“Ya! Disahkan oleh Tuan Diener sang Ahli Strategi! Untuk kemenangan Pasukan Pembebasan, maju!”
Mata para prajurit itu berubah. Jika mereka memiliki sebuah koin emas, mereka bisa hidup mewah selama berbulan-bulan. Walaupun prajurit musuh kuat, mereka sudah berada di ambang kematian. Mereka akan mampu menghancurkan mereka jika mereka menyerang semuanya sekaligus.
Vander mengangkat tinju kanannya dan para prajurit di bawah komandonya menunggu dengan waspada. Mereka telah dilengkapi dengan busur-busur mekanik, busur-busur silang.”
Busur-busur silang adalah sebuah senjata yang membuat semua orang bisa mendapat hasil yang teratur. Membutuhkan waktu untuk mengisi ulang mereka, namun kekuatan mereka terjamin.
Dengan cara yang tak disadari oleh unit para penombak, mereka membentuk barisan dan meluncurkan panah mereka.
“Penombak, serang!! Bunuh musuh!!”
500 pria di bawah perwira komandan infanteri memulai penyerangan. Tak takut, para prajurit dari unit Schera menghunus senjata mereka, menyebarkan maut.
Seketika terjadilah pertempuran, namun para pengguna tombak yang memiliki keuntungan dalam jumlah sepenuhnya dipukul mundur. Para prajurit kavaleri ini, yang telah menyerahkan diri mereka pada kematian dan dengan sadar menjadi prajurit sang Maut, tak takut terluka. Semangat bertarung mereka tak sebanding dan berbeda dari para prajurit Pasukan Pembebasan yang masih merupakan milik kehidupan.
“S-sialan!”
“S-selamatkan aku! Aku tahu ini mustahil!!”
“Kemenangan untuk Kolonel Schera!”
Seorang penunggang menusuk kepala prajurit yang mencari pertolongan dengan tombaknya yang ia pegang dengan teknik reverse grip1. Sebuah tombak dari samping menikam perutnya, dan ia terbatuk darah. Ia menarik tombak itu, dan sembari terjatuh, ia menusuk wajah pria yang memucat itu dengan ujungnya. Prajurit infanteri itu kehilangan nyawanya, dan penunggang kuda itu amsih hidup.
Melihat kejadian ini, Vander melakukan salah satu perintah yang telah diberikan oleh Diener sambil merasa ngeri dalam hati.
“Tak peduli berapa banyak pengorbanan yang harus dibuat, bunuh sang Dewa Maut itu dan kavalerinya.”
Ia menurunkan tangan kanannya, dan para pengguna busur silang menembakkan panah-panah mereka. Panah itu menembus bukan hanya kavaleri musuh, namun juga infanteri mereka sendiri.
“K-kapten! Apa yang Anda lakukan! Apa Anda masih waras!?” teriak perwira komandan infanteri lainnya dengan marah sambil mengelilingi kavaleri itu. Panah-panah yang ditembakkan yang akan menembus tubuh sekutu mereka itu bukan sebuah perintah yang waras.
“Diam. Orang-orang itu takkan terbunuh jika kita tak melakukan ini. dalam hal ini, inilah pengorbanan yang tak bisa dihindari. Mereka akan membuang nyawa mereka dan ditusuk oleh kavaleri Maut. –Selanjutnya, tembak!!”
Tembakan kedua dilepaskan. Para anggota kavaleri dan pengguna tombak keduanya tertembak dan gugur.
“A-apa yang Anda katakan tak masuk akal! Hentikan ini sekarang!”
“Letnan Satu. Ini medan perang. Inlah rencana untuk mengurangi korban sekecil mungkin. Apa kau tak mengerti?”
Dengan tatapan jengkel di wajahnya, Vander menegur Letnan Satu yang masih muda itu.
“T-tapi, tak baik jika kita menembak sekutu kita juga! Mereka sekutu kita, ya kan!?”
“Mereka adalah kavaleri Maut yang dengan mudah mengelak panah. Jadi pengalihan dengan orang hidup dibutuhkan untuk menghentikan mereka. Mereka menyerang sesuka mereka, berani dan setia untuk Pasukan Pembebasan. Kalau begitu aku hanya bisa menghormati ketetapan hati mereka. Tak ada masalah, bukan begitu?”
“Karena Andalah yang memancing mereka dengan uang!!”
“Apa kau mengutuk kematian mereka? Orang-orang kita bertempur demi keadilan. Seharusnya takkan ada satu pun di antara rekan-rekan kita dalam Pasukan Pembebasan yang bekerja untuk uang. Kematian mereka adalah sesuatu yang harus dibanggakan.”
“—tsk!”
“Akhiri mereka. Jangan biarkan satu pun dari mereka tetap hidup. Biarkan mereka beristirahat. Selain itu, mereka sudah tak bisa diselamatkan lagi.”
Vander menjentikkan jarinya, dan tiga siraman hujan anak panah dilakukan. Tak ada lagi satu pun pria yang bergerak setelah serangan itu. Para prajurit Kavaleri Schera yang berada di ambang kematian telah dihabisi oleh para prajurit yang mengelilingi mereka. Panah-panah itu telah diselimuti racun. Tak peduli berapa besar semangat bertarung yang mereka miliki, hal itu tak berarti jika tubuh mereka tak bisa bergerak.
Itulah senjata yang disiapkan yang dipercaya bisa melenyapkan para prajurit Maut.
“Ini, ini salah!”
Letnan Satu yang masih muda itu mencampakkan pedangnya. Para prajurit yang berada di bawah komandonya berusaha menenangkannya, namun ia dengan marah menyingkirkan mereka.
“…Letnan Satu. Perhatikan kata-katamu. Sekali lagi kau mengucapkan ucapan yang gegabah, hal itu akan dianggap sebagai pelanggaran peraturan kemiliteran. Aku akan mengabaikan ini sekali saja. Mulai sekarang, berpikirlah baik-baik sebelum kau berbicara.”
“—tsk. Saya akan memulai pengejaran sekarang! Mohon undur diri!”
Dengan wajah yang tegang, Letnan Satu yang masih muda itu kembali ke unitnya.
Vander melihat sisinya yang dulu pada bayang-bayang pria itu.
“…”
(…Ini demi keadilan. Aku tak salah. Aku berbeda dari orang-orang itu yang membunuh anak-anak. Aku bertempur demi orang-orang itu. Jadi, aku tak salah. Benar, aku tak salah. Aku seharusnya benar.)
Ulang Vander dalam hatinya, dan ia mengepalkan tinjunya. Di hadapannya bertebaran mayat-mayat mantan rekannya, dan juga mayat-mayat rekannya saat ini. Ia benar. Jika ia tak mempercayai hal itu, ia takkan mampu keluar ke medan perang. Oleh karena itu, ia tak salah.
“Aku, tak salah!” erang Vander, sambil berlari menaiki dataran tinggi itu sambil menatap kavaleri yang menaikkan bendera hitam terkutuk itu.
Ia memiliki satu tugas lagi. Seorang pembawa pesan yang membawa perintah mungkin seharusnya sudah mencapai perkemahan mereka di dataran tinggi.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 28.4 - Kacang dari Mayor, Pahit dan Keras (4)
Donasi pada kami dengan Gojek!
