The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 26.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 26.2 - Manisan Ibu Kota Kerajaan itu Terlalu Enak (2)
Schera membuka sebuah kotak besar yang berada di tengah-tengah meja. Di dalamnya, adalah sebuah manisan yang tampak sepenuhnya lezat, yang dihiasi dengan sejumlah buah-buahan yang berwarna-warni. Ketika ia membuka tutupnya, aroma manis dan asam menggelitik hidungnya dan membuatnya lapar. Dilapisi dengan gula yang telah dilelehkan, manisan bulat itu berkilap dengan menarik; penampilannya membuat seseorang ingin langsung segera memakannya hingga habis.
Manisan itu tampak seperti seseorang telah dengan sembarangan menumpahkan berbagai spesies dan varietas buah-buahan di atas sebuah kue pai. Pai yang Yalder pesan dengan khusus itu tampak aneh, namun kepuasan yang diberikannya tak tertandingi.
Schera dengan hati-hati mencoleknya dengan jarinya, dan kemudian menjilati air gula yang lengket di tangannya. Rasanya manis dan sangat enak. Rasanya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia tak mampu menahan dirinya lagi; ia meraih ‘Pai Yalder’ dengan kuat, ketika,
“—Kolonel Schera. Apa kau tahu kau sedang ada di mana?”
“Ah….”
Schera terdiam dengan tangannya yang berada di dalam kotak. Sidamo mengulangi pertanyaannya.
“Kolonel. Aku bertanya padamu, apa kau tahu kau sedang ada di mana?”
“….Maafkan kelancangan saya.”
Kecewa, Schera menarik tangannya. Melihat kesedihannya, Yalder dengan putus asa berusaha menahan tawanya.
Ia merasa seolah ia berada di tempat lain, menatap dua orang saudara yang sangat tak menurut tengah berdebat.
“Bagus. Sekarang tutup kotaknya, dan sampaikan kata-kata yang tepat yang seharusnya kau katakan pada Yang Mulia. Sekarang.”
Schera mengangkat tutup kotak seperti yang diminta, dan… dengan keengganan yang tak pernah tampak sebelumnya, ia menutup kotak itu.
Kemudian, dengan sikap merengut yang terlalu jelas, ia berbalik menatap Yalder dan memberi hormat.
“….Terima kasih banyak. Yang Mulia.”
“Umu. Kau bisa menikmatinya nanti. Aku sebenarnya tak peduli, tetapi ada seorang Tuan Staf Perwira yang sangat berisik tepat di samping kita. Maaf, tapi untuk sekarang bersabarlah.”
“Dipanggil berisik sangatlah mengecewakan bagi saya. Anda tak bisa bersikap lembek padanya. Wanita yang bodoh ini tampaknya mungkin akan makan di tengah-tengah dewan perang. Ini kesempatan yang bagus, jadi kita harus melatihnya dengan keras di sini.”
Schera baru saja ingin mengatakan bahwa ia tak makan selama dewan perang di Belta, namun ia menghentikan dirinya. Karena ia merasa manisannya akan semakin menjauh darinya. Sambil menenangkan Sidamo yang mulai berceramah, Yalder menoleh ke arah Schera.
“Kolonel, urusan kita sudah selesai. Sesegera mungkin, perintah untuk berangkat akan datang. Aku tak melebih-lebihkan ketika aku mengatakan perang berikutnya akan menentukan takdir Kerajaan. Berikan segala yang kau miliki. Tentu saja, kami juga akan bertempur hingga mati. Aku mengharapkan lebih banyak kejayaan darimu.”
“Tuan, serahkan saja pada saya! Saya pasti akan membantai semua pasukan pemberontak!”
“Baiklah. Saat kemenangan kita tiba, aku akan mengundangmu ke kediamanku di Ibu Kota Kerajaan. Aku telah mempekerjakan banyak koki yang andal, jadi kau tentu akan puas.”
“Terima kasih banyak, Yang Mulia!”
Schera sebenarnya tak pernah sekali pun memasuki Ibu Kota Kerajaan. Tak peduli apa pun itu, ia harus memenangkan perang ini-ia ingin mendapat traktiran makanan lezat.
Mereka adalah para koki yang dipekerjakan oleh seorang jenderal berpangkat tinggi. Tak diragukan lagi, pasti akan ada beberapa makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Membayangkan mereka saja membuat mulutnya dipenuhi liur.
“….Simpan saja bayangan makanan mewah itu setelah kita menang, Kolonel. Sebelum kau meneteskan air liur, siapkan dulu persiapan untuk perang.”
“Dimengerti!”
Schera dengan riang menjawab Sidamo yang jengkel, dan memeluk kotaknya yang berisi manisan yang sangat berharga itu, dan pergi dengan langkah terburu-buru. Ia berencana untuk memakannya segera setelah ia kembali ke ruangannya. Hal ini adalah hal yang paling utama baginya.
Yalder menatapnya pergi dengan ekspresi sayang. Sidamo berdeham dengan ringan, dan ia memanggil Yalder.
“Yang Mulia. Sebenarnya, ada sebuah masalah resmi yang sangat mendesak yang harus saya bicarakan dengan Anda.”
“Apa, mengapa kau tiba-tiba bersikap formal? Jangan katakan padaku, kau telah jatuh cinta dengan Schera dan menginginkan sebuah wawancara pernikahan formal?! Maaf, tapi itu takkan berhasil. Kolonel Schera harus menikah ke dalam keluarga Gaelku. Maaf, tapi tolong tahan dirimu untukku,” kata Yalder dengan nada yang takkan membuat orang lain mengiranya tengah bercanda, dan Sidamo memberengut ke arahnya dengan ekspresi yang seolah mengatakan, “Omong kosong apa yang Anda katakan?”
Ia berdeham dengan lebih keras dari sebelumnya, dan lanjut berbicara dengan sikap tak senang.
“Itu kekhawatiran yang tak diperlukan. Saya takkan melakukannya, walaupun neraka ataupun tsunami datang.”
“Aku paham, aku paham! Kalau begitu aku lega. …Jadi, apa itu?”
“Tuan, sebenarnya, yang telah mendapat sebuah hal yang aneh dari intelijen kita yang telah kembali dari utara. Anggota pasukan pemberontak telah menyimpan sejumlah besar sapi Cologne dari daerah utara,” kata Sidamo, dan Yalder menggosok rahangnya, merasa penasaran.
“Berbicara tentang sapi Cologne, mereka ternak yang terkenal karena rasa mereka yang lezat. Tapi mereka memiliki sebuah sifat yang aneh…”
“Ya. Sapi itu memiki kepribadian yang brutal dan ganas, dan jika mereka entah bagaimana merasa terancam, watak mereka akan membuat mereka tanpa henti berlari ke arah target mereka. Jika sejumlah besar mereka dilemparkan ke dalam medan perang….”
“Jadi begitu. Itu pasti akan merepotkan. Para prajurit yang tak mengetahui apa pun mungkin akan kacau jika mereka tiba-tiba diserang oleh sekawanan hewan yang ganas. …Baiklah, beri tahu Barbora untukku bahwa aku ingin ia membuatnya menjadi pengetahuan umum di antara para prajurit sebagai persiapan. Ia mungkin takkan menyukainya, tapi itu lebih baik daripada kalah. Jika ia mengatakan tidak, aku yang akan mengaturnya.”
“Terima kasih banyak, Yang Mulia. …Juga, tentang yang digunakan dalam Pertempuran Alucia—“
“…Ahhh, tentang ranjau sihir kan? Aku tahu tanpa harus kau beri tahu. Bahkan sekarang, aku masih bermimpi buruk tentang kekalahan itu. Jika saja karakterku jauh lebih bijaksana. Aku tak bisa mengungkapkan seberapa besar penyesalan yang kurasakan.”
Pandangan Yalder merosot, dan Sidamo sedikit khawatir, namun Yalder tersenyum pahir, mengatakan bahwa kekhawatirannya tak diperlukan.
“….Yang Mulia.”
“…Kita harus memperingatkan mereka tentang itu juga. Kita tak boleh mengulangi kesalahn yang sama. Kirimkan sekumpulan pengintai dan minta mereka untuk terus menerus mengawasi padang. Kita takkan terjatuh pada perangkap itu lagi!”
Gelisah, Yalder memukul mejanya. Dan Sidamo menundukkan kepalanya dalam-dalam dan keluar dari ruangan itu.
Ia telah mengambil tindakan pencegahan dari situasi-situasi yang bisa ia pikirkan. Ia telah merencanakan perlawanan untuk ranjau sihir itu, dan ia telah menyarankan pencegahan terhadap rencana busuk tentang sapi-sapi Cologne itu.
Namun, ia merasakan perasaan yang buruk. Seolah ia telah melewatkan sesuatu. Jenis kegelisahan itu melekat dalam benak Sidamo.
“…Aku harus berpikir sekali lagi. Tak ada cukup waktu lagi hingga keberangkatan garis depan, namun kita harus memiliki persiapan yang sempurna. Kita tak boleh mengizinkan kekalahan lagi.”
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 26.2 - Manisan Ibu Kota Kerajaan itu Terlalu Enak (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
