The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 25.5
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 25.5 - Cerita Sampingan; Gadis yang Dipanggil Hero (Prekuel) (2)
(Bahkan walaupun ia hanya bocah, ia berani juga. Tunggu, ini bukan waktu untuk menganguminya.)
Hero, yang masih mencengkeram leher gadis muda itu, merasa kacau. Membunuh gadis itu seperti ini pasti akan meninggalkan rasa bersalah. Tapi, ia pasti akan diserang lagi jika ia melepaskannya. Apa yang harus ia lakukan dalam situasi ini?
Adalah kesalahan besar karena ia langsung menyelidiki tempat itu. Jika ia tak tahu apa pun, ia seharusnya melewatinya saja. Terlibat dalam masalah ini adalah sepenuhnya karena kesalahannya.
Setelah memikirkan hal itu sejenak, Hero memutuskan untuk menyarankan sebuah kompromi.
“Kalau begitu, ayo lakukan ini. Kau sangat ingin makan daging hingga kau bersedia untuk mati. Aku tak bisa membiarkanmu memakan daging manusia. Oleh karena itu, aku akan menyiapkan daging yang lain untukmu.”
“….Daging… Lain?”
“Aku akan berburu hewan di sekitar sini dan memberimu makan daging itu. Bagaimana kedengarannya?”
“…”
Hero menanyakan penegasan dari gadis itu, dan gadis itu akhirnya mengangguk dengan patuh. Kepelapan di matanya telah menipis, dan tampaknya ia telah mendapatkan akalnya kembali. Karena pertukaran ini, volume air liur yang menetes dari mulutnya semakin banyak. Sebagai tambahan, perutnya juga berbunyi.
Lelah, Hero tak sengaja mendesah.
“Ini seharusnya bagus.”
Menggunakan pisau berkarat yang dimiliki gadis kecil itu, Hero membawa seekor kelinci liar malang dan juga seekor burung liar.
Di dalam tas yang ditinggalkan pria itu terdapat beberapa peralatan yang tampaknya bisa digunakan untuk memasak, jadi ia menggunakannya tampa izin.
Ia dengan mahir melepaskan bulu dan kulit serta mengeluarkan isi perut hewan itu. Ia memotong daging merah yang meneteskan darah itu menjadi potongan-potongan yang pas dengan pisau, memasukkannya ke dalam panggangan besi, dan menyadarkan gagangnya ke tanah.
Ia menumpukkan potongan-potongan kayu yang telah ia kumpulkan, membuat api dengan sihir, dan dengan sepenuh hati memasak. Sebuah aroma yang merangsang nafsu makan mulai tercium di daerah itu.
Gadis kecil itu duduk dan menatapnya bekerja, namun wajahnya mengatakan bahwa ia sudah sampai pada batasnya. Walaupun makanan itu baru separuh matang, ia mengulurkan tangannya, dan Hero dengan terang-terangan menampik tangannya.
Sambil menarik kembali tangannya, gadis muda itu membuat ekspresi tersedih yang ia buat sejauh ini-wajah seorang anak yang mainannya diambil.
“Tunggu sebentar lagi hingga masakannya matang. Makanlah sesuatu yang separuh matang dan kau akan sakit perut.”
“Tak masalah jika sakit; aku ingin makan sekarang.”
“Jeez, kerakusanmu terlalu berlebihan sehingga sangat menakjubkan. Baiklah, yang ini tampaknya hampir matang, jadi masukkan ini ke mulutmu.”
Ia memberikan gadis muda itu sebuah tempat dengan sepotong daging kecil di dalamnya. Gadis muda itu membuat senyuman lebar dan menikmatinya. Ia tak langsung menelan makanannya; ia mengunyahnya dengan baik dan mengecap sari dagingnya. Setelah waktu yang panjang berlalu dan ia menghabiskan mereka, ekspresinya tampak sangat bahagia. Inilah pertama kalinya Hero melihat seorang manusia yang menikmati makanan seperti ini, dan ia secara spontan tertawa.
“Walaupun tak ada bumbu, wajahmu tampak seolah kau baru saja memakan makanan pesta. Kau pasti benar-benar lapar.”
“Lezat. Hei, apa yang satu ini sudah hampir matang?”
“Yang ini sudah hampir gosong jadi ini tak apa dimakan. Yang satu ini tak apa.”
Hero mendesak gadis itu untuk terus makan, dan gadis itu melanjutkan acara makannya, sembari memegang tusuk sate di kedua tangannya. Daerah di sekitar mulutnya basah dengan sari daging. Tak peduli sama sekali dengan sekitarnya, ia memasukkan potongan berikutnya, dan kemudian yang berikutnya, ke dalam mulutnya.
Hero juga lapar, jadi ia meraih sate yang terdekat dengannya dan mengigit dagingnya. Daging itu dipenuhi rasa daging liar. Ia berharap ia memiliki beberapa bumbu agar bisa menutupi baunya yang buruk, namun ia mungkin tak bisa meminta kemewahan seperti itu di sini.
Bahkan sebelum tiga puluh menit, gadis kecil itu telah menghabiskan semua dagingnya. Hero hanya memakan satu tusuk, tetapi melihat gadis itu makan membuatnya kenyang, jadi ia tak memprotesnya.
“Hei, siapa namamu? Aku akan memuji kerakusanmu yang tak kenal takut itu dan dengarkan, ini hanya sekali saja.”
“Namaku Schera. Aku tinggal di desa yang dekat dengan hutan ini.”
Gadis muda yang memanggil dirinya Schera itu dan dengan hati-hati menjilati minyak yang lengket di tangannya. Mungkin karena ia merasa puas karena perutnya yang kenyang, pergolakan itu telah sepenuhnya menghilang dari matanya.
“Dan di desa itu, ada keluargamu?”
“Ada, tapi mereka mengatakan bahwa mereka tak menginginkanku. Mereka mencoba menjualku, namun tampaknya aku bisa mati dengan segera jadi aku tak terjual, kata mereka. Jadi aku dikatakan sebagai orang tak berguna di keluarga kami. Mereka bahkan hampir tak memberiku makanan.”
Walaupun Raja Iblis telah mati, tampaknya dunia ini tak berubah. Tak berubah sama sekali dari zaman Hero. Tampaknya setelah ini ia bisa mendengar lebih banyak cerita seperti ini.
Ia bisa dengan mudah memahami alasan pedagang pelayan yang menolak membeli Schera itu. Melihat wajah dan tubuhnya, ia pasti akan dianggap tak berumur panjang.
Namun, ia entah mengapa merasakan perasaan tak nyaman mendengar Schera yang acuh tak acuh menjelaskan keadaannya. Jika gadis itu bertingkah seperti anak seusianya, menurut Hero mungkin ia akan menangis.
“Berapa umurmu? Dibandingkan dengan pemnampilanmu, aku merasa kau bertingkah dewasa dan mengagumkan.”
“Mungkin sekitar enam tahun. Aku tak peduli dengan umurku jadi aku tak ingat. Satu-satunya hal yang penting adalah apa yang bisa kumakan hari ini,” kata Schera, yang berbalik menatap mayat pria itu. Melihat Schera menjilat bibirnya, Hero merasakan pertanda buruk dan memberinya peringatan.
“Seperti yang kukatakan, berhenti mengalihkan nafsu makanmu terhadap manusia. Mulai sekarang, bereskan kebiasaan buruk yang memalukan itu.”
“Bisakah aku mencoba satu gigitan saja? Aku penasaran bagaimana rasanya. Hanya satu gigitan.”
“Tentu saja tidak. Juga, rasanya menjijikan, jadi lupakan saja.”
“Kau pernah makan manusia sebelumnya?”
“Bukankah jelas kalau aku belum pernah? Jangan katakan hal-hal bodoh.”
“Kau belum pernah, jadi bagaimana kau tahu itu menjijikan?”
“…I-itu… kau tahu, karena itu jelas terdengar menjijikan.”
Apa itu benar-benar menjijikan? Ia tak tahu. Setelah mengatakan hal itu, ia juga tak bisa mengigitnya dan mengeceknya. Pertama dan paling penting, memiliki nafsu makan terhadap manusia akan membuat seseorang tak berbeda dengan iblis.
“Mengesampingkan rasanya, jika kau memakan manusia, kau akan berubah menjadi iblis. Jadi kau tak boleh. Kau sepenuhnya tak boleh melakukannya,” kata Hero, walaupun ia tak berseni dan kehilangan kata-kata.
“Mengapa kau berubah menjadi iblis setelah memakan manusia?”
“Karena memang begitu.”
“Lalu, apakah hewan-hewan yang telah memakan manusia akan berubah menjadi iblis juga?”
Schera bertanya dengan berapi-api. Ia bukan sedang mencoba untuk membantahnya; pertanyaan terasa seperti pertanyaan yang sungguh-sungguh.
Akankah hewan yang memakan manusia berubah menjadi iblis? Mungkin tidak, pikir Hero. Bahkan walaupun seekor serigala memakan mayat ini, hal itu adalah kejadian yang masuk akal. Itu adalah aturan alam.
Namun, hal yang hanya mengincar manusia, dan lebih dari itu juga gemar memakannya, tak lain dan tak bukan adalah iblis. Sejauh ini, hanya hal-hal yang menakutkan itu yang berbau busuk. Bahkan jika mereka sebelumnya adalah manusia. Secara alami, ia dahulu telah membunuh mereka semua, dan ia akan melakukannya juga sekarang.
“Hal-hal yang dengan senang memakan manusia akan berubah menjadi monster. Entah itu hewan atau manusia!”
“Lalu, kenapa kita baik-baik saja walaupun kita memakan hewan lainnya? Aku baru saja dengan senang memakan kelinci dan burung, tapi aku tak berubah menjadi iblis.”
“…Kenapa kau bertanya…”
“Apakah hanya manusia yang spesial? Mengapa begitu?”
Hero didesak dengan keras untuk menjawabnya. ‘Karena begitulah adanya,’ adalah satu-satunya yang bisa ia katakan. Itu tak menjelaskan mengapa hal itu boleh dimakan, namun manusia takkan hidup jika mereka tak memakannya. Sama dengan hewan-hewan lainnya.
Apakah hanya manusia yang diizinkan memakan hewan-hewan lainnya? Untuk memulainya, siapa yang memutuskan apa yang boleh dan tidak? Hal itu merupakan pertanyaan yang sedikit sulit bagi Hero, yang bukan merupakan pendeta. Ia belum pernah melihat Dewa sebelumnya, dan ia juga tak percaya pada-Nya.
–Tapi, ada satu hal lain yang bisa ia katakan.
“Selain itu, manusia tak boleh memakan manusia. Karena aku, Hero, mengatakan begitu. Itu sepenuhnya tak salah. Untuk hal-hal lainnya, pikirkan hal itu ketika kau dewasa nanti!”
“Manusia, tak boleh memakan manusia.”
“Benar. Itu absolut, karena aku, Hero, mengatakannya begitu!”
“Ohhh.”
Hero menjawab, membusungkan dadanya, dan Schera terdiam. Namun, pandangannya teralih pada mayat pria itu lagi. Ia tampaknya tak memahami hal itu.
Hero memberengut pada Schera.
“Hei kau, apa kau ingin diam-diam memakannya setelah aku pergi huh. Itu tertulis jelas di wajahmu.”
“Benarkah?”
Schera mulai meraba dan menepuk wajahnya. Wajah kecilnya menjadi kotor karena minyak.
“Maksudku wajahmu menunjukkan. … Baiklah, ayo lakukan ini. jika kau berjanji mulai sekarang kau takkan memakan manusia, aku akan memberimu lebih banyak daging. Juga, aku akan mengajarimu bagaimana membuat api. Bagaimana?”
“Aku bisa makan lebih banyak daging?”
Schera mengigit umpannya.
“Benar.”
“Bagaimana jika, aku melanggar janji?”
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 25.5 - Cerita Sampingan; Gadis yang Dipanggil Hero (Prekuel) (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
