The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 25.4
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 25.4 - Cerita Sampingan; Gadis yang Dipanggil Hero (Prekuel) (1)
Di dalam hutan yang remang-remang, Hero berjalan tanpa tujuan. Bergantung hanya pada jejak manusia yang amat tipis, dan ia dengan tekun berjalan di jalan yang belum pernah ia jelajahi itu.
Langit tertutupi oleh banyak pepohonan, dan ia tak memiliki petunjuk sedikit pun tentang waktu. Ia yakin saat itu bukan malam, namun tak ada juga secercah cahaya matahari.
Lumut yang mirip seperti endapan lumpur tumbuh dengan tebal di atas tanah, dan pepohonan yang tumbuh tinggi menghapus semua kesadarannya tentang arah.
Ia terkadang mendengar kicauan burung atau raungan hewan buas dari sekelilingnya. Ia hampir tak bisa merasakan tanda-tanda manusia yang pernah berada di sana.
Keringat mengotori pakaiannya, dan daerah perutnya berwarna kemerahan. Bagian dalam sepatunya dipenuhi lumpur, dan ia merasa jijik saat berjalan.
Lukanya telah sembuh namun tubuhnya terasa sangat lembek. Kepalanya sakit, dan ia juga merasa sedikit pusing. Perutnya juag kosong, dan ia sangat ingin membersihkan tubuhnya.
Bahkan jika ada sebuah penginapan tepat setelah ia meninggalkan hutan, ia tak memiliki uang, jadi ia tak bisa melakukan apa pun.
“Kutebak… aku harus berkemah lagi hari ini. Aku merasa seolah aku hanya berjalan mengelilingi tempat yang sama. Jika seseorang lewat, mungkin aku bisa menanyainya jalan—“
Ketika Hero merasa sudah mencapai batas tekad dan staminanya, ia mendengar sebuah suara aneh yang datang dari dekatnya.
Suara itu berupa suara gemericing yang teratur. Bukan jenis gemericing benda logam, namun suara yang lebih menjemukan.
“… Apa ada iblis di sini?”
Hero mengalihkan pandangannya ke semak-semak di sekelilingnya dengan waspada. Ada beberapa iblis yang akan menyerang untuk membentuk kelompok atau pun hanya untuk menakut-nakuti.
Yang lebih ia sesali, Hero yang saat ini tak memiliki senjata sama sekali. Yang ia miliki hanyalah pakaiannya yang bernoda darah. Akan sangat membahayakan jika ia tiba-tiba diserang.
Jika mereka datang, ia akan mencuri senjata mereka dan membunuh mereka. Sambil memikirkan hal itu, ia dengan perlahan maju ke arah sumber suara itu, tubuhnya menegang.
Sumber suara aneh itu sedikit demi sedikit mulai mendekat. Jeda di antara gemericing itu juga tampaknya semakin cepat. Hal itu memberi kesan seolah sesuatu itu sangat tak sabaran.
“Di samping pohon itu huh? Sekarang, apa yang berada di sana hmm.”
Di depan matanya, terdapat sebuah pohon besar yang tampaknya telah hidup sangat lama. Suara menjemukan itu berasal dari sana.
Ketika ia berjalan melewati semak-semak dan mendekati pohon besar itu, dua sosok manusia muncul di hadapannya.
Salah satunya bersandar pada pohon besar itu—seorang pria paruh baya dengan matanya yang terpejam seolah ia sedang tertidur. Sebuah koper besar berada di sampingnya, jadi ia mungkin seorang pedagang. Namun, ketika ia melihatnya dari dekat, wajah pria itu sangat hitam, dan belatung-belatung mengerumuninya.
Tampaknya pria itu telah menggunakan seluruh tenaganya entah bagaimana dalam perjalanan. Bukan suatu kejadian yang langka jika seseorang sakit dan meninggal di perjalanan.
Manusia yang lainnya adalah seorang gadis muda berambut gelap yang mengenakan pakaian yang kotor dan compang-camping. Ia tampak berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Ia tahu dari sekilas pandangan pada pipi pucat, tubuhnya yang kurus kering, dan penampilannya yang sederhana bahwa gadis itu berasal dari kelas sosial yang rendah.
Gaids muda itu memegang batu di kedua tangannya, dan menatap mayat pria itu, dan dengan putus asa menggesekkan kedua batu itu. Ia tak tahu apa yang coba gadis itu lakukan, namun tampaknya ia tak melihat Hero sama sekali.
Hero, pada akhirnya, mencoba berbicara padanya.
“Hei… apa yang coba kau lakukan? Apa menggesekkan dua batu adalah sejenis ritual berduka, mungkin?”
“…”
Tak ada jawaban yang datang dari gadis muda itu. Ia bahkan tak menatapnya. Dalam keadaan linglung, gadis itu terus menggesekkan batunya, terus dan terus menerus. Terkadang tampaknya jemarinya terluka karenanya; sesuatu yang merah tersebar di beberapa batu. Walaupun begitu, ia tak memutuskan untuk berhenti. Tangan kurusnya tanpa lelah mengulangi tindakan yang sama.
Mungkin ia tak mengerti bahasa. Kalau begitu, mungkin akan sama seperti berbicara pada hewan.
“Hei… apa kau mengerti kata-kataku? Aku bertanya apa yang kau lakukan.”
“Ini, bakar.”
Ketika Hero bertanya dengan lebih bersimpati pada gadis kecil itu, kali ini ia mendapat jawaban. Tak seperti seekor hewan, tampaknya kata-kata itu dipahaminya.
Juga, ia mengerti apa yang sedang ia lakukan. Gadis kecil itu sedang mencoba membuat api.
Namun sayangnya, tak peduli berapa tahun yang akan dilewatinya, harapan itu takkan menjadi nyata. Menggeseskkan dua batu yang sejenis takkan membuat api. Gadis itu mungkin mempelajari gerakan itu dengan memperhatikan orang lain, namun hal yang tak mungkin akan tetap tak mungkin.
“Dengan cara itu, kau takkan bisa membuat api bahkan walaupun kau melakukannya selama ratusan tahun. Jika kau tak menggesekkan batu itu pada baja, kau takkan mampu membuat batu bara. Walaupun hanya untuk membuat api, ada berbagai prosedur yang harus dilakukan.”
“…Aku paham. Sayang sekali.”
Gadis itu tampaknya putus asa, bahunya terkulai, dan karena ia sudah selesai dengan kedua batu itu, ia melemparnya.
Kemudian, ia mengeluarkan sebuah pisau berkarat dari tas pria itu dan mengangkatnya ke atas kepalanya, mencoba untuk menikam mayat itu.
Hero terburu-buru memanggilnya.
“Wa, tunggu sebentar! Aku tak tahu dendam apa yang kau miliki dengannya, tapi bukankah ia sudah mati?”
“Sebenarnya, aku berpikir untuk memakannya setelah memanggangnya. Daging mentah bisa membuat perut sakit. Tapi karena itu tampak tak mungkin, jadi aku akan memakannya seperti ini saja. Aku sangat lapar sampai aku merasa akan mati.”
“…Kau, apa kau mungkin ingin mencoba memakan manusia?”
“Aku mau makan daging. Aku mencoba memakan rumput yang ada di sekitar sini, namun rasanya tak enak dan aku tak bisa memakannya. Ada makanan jika aku pulang, tapi tak ada bagian untukku. Aku sudah melihat isi tas pria ini, tapi tak ada makanan. Jadi, aku memutuskan untuk memakan daging yang ada di sini.”
Hero merasakan sakit kepala yang ringan karena jawaban yang membosankan itu, namun ia memutuskan untuk membujuk gadis itu dan menghentikannya. Itu sebenarnya bukan urusan Hero, namun ia tak ingin melihat anak seperti ini memakan mayat manusia. Sekarang karena ia mengetahuinya, ia tak bisa mengabaikannya.
“Hentikan tindakan yang bodoh ini. Bahkan walaupun kau lapar, mayat adalah sesuatu yang tak boleh dimakan. Manusia tak boleh memakan manusia.”
“…kau juga akan mencuri makananku?” kata gadis itu dengan suara kecil yang tak sesuai dengan penampilannya, sambil berbalik menatap Hero.
Peringatan keras muncul di pikiran Hero. Jangan tertipu dengan penampilan yang tampak kekanakan itu, kata pikirannya. Jangan perhatikan dia dan kau takkan diserang—jangan ceroboh, kata pikirannya.
Sebagai buktinya, mata gadis muda itu menjadi sangat kabur. Dari mulutnya yang setengah terbuka dan air liur terjuntai dari sana, dan tangannya tengah memegang sebuah pisau berkarat, seolah mengatakan bahwa ia akan melahap Hero jika ia dihalangi. Mungkin tak ada hal lain selain rasa lapar dalam pikiran gadis itu. Jika ia tak memiliki sosok seperti gadis kecil, kedua mata itu mungkin hanya akan mengingatkan seseorang dengan serigala yang kelaparan.
“Aku takkan memakan mayat itu, jadi tidak, terima kasih. Namun, aku tak bisa membiarkanmu memakan manusia. Aku tak mungkin membiarkanmu menjadi iblis. Karena aku adalah Hero.”
“…Jadi begitu. Tapi, kau sebenarnya hanya menginginkan semua daging ini untuk dirimu sendiri kan? Kau juga ingin mencuri daging ini dariku.”
“Tak mungkin aku—“
“Sebelumnya, mayat seekor kelinci yang kubawa pulang semuanya dimakan habis. Semua orang memakan daging, namun aku tak mendapat apa pun selain tulang belulang. Tapi aku yang menemukan daging itu, itu sangat tak adil.”
Gadis itu perlahan berdiri, merendahkan tubuhnya, dan melompat ke arah Hero. Pergerakannya kasar dan dipenuhi celah, namun nafsu membunuhnya sebanding dengan iblis. Mengesampingkan pisau berkarat itu, jika Hero digigit di titik fatal, ia takkan bisa menghindari kematian.
“Kau bocah!”
Hero menjatuhkan pisau yang diacungkan ke arahnya, dan mencengkeram leher gadis muda itu. Walaupun ia baru saja bangun, ia tak selemah itu hingga serangan yang buruk itu akan menghantamnya.
“–!!”
Walaupun menderita, gadis muda itu tetap meronta dengan kedua tangan dan kakinya, melawan dengan kalut. Tentu saja Hero tak bermaksud untuk membunuhnya, namun jelas bahwa ketika ia melepaskan gadis itu, ia akan diserang.
Hero mendekatkan wajah mereka sebisa mungkin dan mencoba mengintimidasi gadis itu.
“Semangat saja tidak cukup. Kau masih naif. –Dengarkan baik-baik, kau gadis penggemar makanan yang rakus. Jika kau berjanji takkan menyerangku, aku akan melepaskanmu. Jika kau tak mau berjanji, aku akan mencekikmu di sini.”
“…!!”
Gadis kecil itu memperlihatkan gigi-giginya dan menggelengkan kepalanya. Tampaknya gadis itu beanr-benar bermaksud untuk menyerangnya. Ia sepenuhnya menganggap Hero sebagai seorang pencuri yang akan merebut makanannya.
Lebih dari rasa takutnya atas kematian adalah kemarahannya karena makanannya akan dicuri, ia tampak seperti itu.
“Kau tampaknya sangat berani. Tapi, bahkan walaupun lawanku adalah anak-anak, aku akan melawannya dengan serius. Karena aku takkan ragu untuk membunuh para iblis. Berpikirlah dengan hati-hati.”
Tetap saja, gadis kecil itu menggeleng. Selain itu, gelengannya lemah, namun sudut bibirnya naik, mungkin ketetapan hatinya menunjukkan, ‘jika kau akan melakukannya, maka cepatlah dan lakukan.’ Tentu saja dengan cara apa pun, ekspresi itu tak pantas bagi usia gadis itu.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 25.4 - Cerita Sampingan; Gadis yang Dipanggil Hero (Prekuel) (1)
Donasi pada kami dengan Gojek!
