The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 23.5
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 23.5 - Jamuan Setelah Festival Sangat Lezat (5)
Para staf perwira hanya bisa terdiam karena kata-kata Gustav. Ada dua jalur yang bisa dipilih Korps Ketujuh.
Mereka bisa lanjut menuju timur sesuai tujuan awal mereka dan melakukan penjarahan seperti rencana awal mereka. Namun, hal itu bisa membuat mereka dibinasakan.
Jalan lainnya adalah merebut kembali Benteng Kedua yang ditinggalkan dan mundur ke Wealth. Hal itu juga sangat meragukan, namun ada juga kemungkinan bagus bahwa unit yang mengikuti mereka berada cukup dekat dengan Benteng Kedua.
“…We-Wealthian, takkan pernah mungkin bisa dikalahkan oleh Madrosian, benar?”
“Tuan, tak ada gunanya mundur. Tolong beri perintah agar kita segera menyerbu maju. Jika kita membakar gudang itu, kita juga akan bisa membuat musuh merasakan neraka!”
“Baiklah. Maka, kita harus bergerak maju. Kita takkan bisa menunjukkan wajah kita pada Wealth jika kita bahkan tak mampu menghancurkan sebuah gudang!”
“Dimengerti! Kita akan tunjukkan apda mereka; kita akan sepenuhnya melenyapkan gudang itu!!!”
Gustav memutuskan untuk bergerak maju. Jika mereka membakar gudang itu, ia akan bisa sekali lagi memicu sebuah jalan buntu. Selain itu, dengan menganggap bahwa Alexander telah ditawan, ia mempertimbangkan kemungkinan ia bisa melakukan negosiasi dengan baik. Dengan demikian, dengan gangguan yang mencampuri pikirannya yang tenang itu, ia memilih untuk mengambil jalan yang biasanya tak akan ia ambil.
Ketika mereka akhirnya tiba di tempat di mana mereka bisa melihat gudang tersembunyi yang dipagari itu, Korps Ketujuh meningkatkan kecepatan mereka, entah mereka menyukainya atau tidak. Mereka melompat. Ke kematian mereka sendiri, yang disembunyikan oleh semak-semak yang tinggi.
“A-apa ini? I-ini—“
“Ini rawa yang tak berdasar! Berhenti, kalian semua berhenti!!”
“Semua anggota berhenti, berhenti!! Jika kalian tak mau mati, berhenti!!”
Ketika kelompok garis depan memasuki daerah rawa itu, para prajurit menemui malapetaka. Tubuh-tubuh tenggelam dalam lumpur, dan mereka tak mampu bergerak. Bukan hanya itu, tubuh mereka mulai ditelan, dan tak lama kemudian, mereka sepenuhnya ditelan oleh lumpur itu.
Tentu saja tidak semua daerah itu tak berdasar, suara kaki mereka yang meronta berhenti. Kuda-kuda yang meronta terjatuh, dan para prajurit yang diberatkan oleh baju zirah mereka memiliki pijakan yang buruk dan mereka tak mampu berdiri.
Gustav memerintahkan seluruh pasukannya untuk berhenti dan mengirimkan perintah untuk membantu. Namun, sudah terlambat.
Seluruh Pasukan Kelima Kerry telah disebarkan di sini sebagai penyerang, dan telah menahan napas mereka, menunggu Pasukan Kekaisaran untuk melompat ke kematian mereka.
“Kau Gustav sialan, betapa langkanya melihat dirimu tenggelam sedalam ini. kau menyelamatkan kami dari banyak masalah. Kepung musuh!!! Dorong mereka ke rawa dan tembaki mereka dengan anak panah!! Bunuh semua Wealthian!!”
“Dimengerti!!”
“Dorong merek!!”
“Hujani mereka dengan panah!!”
Genderang perang dipukul, sangkakala berkumandang, dan seluruh pasukan mulai menyerang. Para pria dengan kaki mereka yang tertahan oleh tanah rawa dihujani oleh anak panah, dan mereka terjatuh tak berdaya. Menunggu orang-orang yang mencoba melarikan diri untuk nyawa kesayangan mereka adalah tugas para pemanah yang berjaga, kebangaan Pasukan Kelima.
Kerry juga telah mengangkat sebuah busur, dan telah mengarahkannya dengan stabil, dan menembakkannya dengan akurat pada para prajurit. Ketika menembakkan anak panah berikutnya, ia berpikir,
(Gustav, tampaknya kau telah menghirup racun Tuan Maut, dan tak pernah meragukan kami sedikit pun.)
Mengapa mereka harus membangun sebuah gedung dengan cepat di sini, tepat di depan Benteng Kedua yang pertahanannya yang tak bisa dipercaya? Tak ada alasan lain, kecuali karena seluruh wilayah ini sepenuhnya diamankan oleh tanah rawa ini. sebaliknya, takkan pernah ada sebuah gudang yang akan dibangun di daratan rata yang sulit dilindungi. Kerry jauh lebih mengenal daerah Madros daripada siapa pun.
Jika ia adalah Gustav yang biasanya, ia pasti akan melakukan pengintaian, bergerak dengan hati-hati, dan mungkin akan mengetahui niat mereka yang sebenarnya.
Apa yang membuatnya seperti ini adalah karena matanya telah dibutakan oleh keberadaan tekanan yang dikenal sebagai Maut.
“Mundur, mundur!!! Terobos kepungan dan kembalilah ke Wealth bahkan walaupun kalian harus melakukannya sendirian!!! Untukku dan semua orang yang telah dijerat oleh perangkap licik ini!” teriak Gustav, mendorong para prajuritnya. Ia merasa malu pada dirinya sendiri karena kehilangan ketenangannya dalam permainan ini. Ia telah sepenuhnya ditipu oleh Schera yang awalnya ia ragukan, dan kemudian mengigit umpan yang teruntai tepat di depan matanya. Betapa bodohnya dirinya.
Ia memimpin para prajuritnya dengan wajahnya yang memerah karena amarah dan penyesalan yang mendalam. Tak ada waktu untuk menyesal.
“Yang Mulia, Yang Mulia tak boleh gugur di sini. Kembalilah dan hidup untuk kami, para Wealthian. Itulah tugas pria yang berasal dari keluarga Wealth. Tolong jaga keluarga kami.”
“Aku tak bisa! Aku ingin kalian semua—“
“Anda tak bisa! Kami akan menyerang dan membuka jalan keluar tanpa kegagalan. Temukan celah dan pergilah tak peduli apa pun yang terjadi!”
“Yang Mulia Gustav, Anda harus selalu aman!”
“Tunggu, aku!”
Suara Gustav yang bergetar meminta mereka untuk berhenti, namun unit elit yang berada di sisinya mulai menyerang, dengan sungguh-sungguh menghadapi infanteri musuh. Mereka ditusuk oleh tombak, ditarik dari kuda, dan banyak orang yang terbunuh. Namun, serangan mereka yang hebat mampu membuat celah dalam Pasukan Kerajaan untuk sesaat.
“Arrghh, jangan biarkan pengorbanan mereka sia-sia! Semua orang ikuti aku! Kita pasti bisa menerobos kepungan ini!!”
“Ikuti Yang Mulia!! Panjang umur Weath!!”
“Jayalah Waealth!!!”
“Bunuh satu Madrosian lagi!!”
Gustav telah menerobos kepungan, dan bertempur sekuat tenaganya, menuju Benteng Kedua. Mencoba mencegahnya, unit pengejar Kerry tanpa belas kasihan menyerang mereka. Tak ada tawanan Wealthian. Semua orang bertempur hingga akhir hayat mereka, dan pembunuhan itu berlanjut.
Ketika kerugian mereka mulai meningkat di luar dugaannya, Kerry dengan enggan memerintahkan agar pengejaran dihentikan. Tak ada yang lebih berbahaya dari para prajurit yang sudah siap untuk mati, para prajurit yang telah menyerahkan diri mereka pada Maut. Prajurit Gustav telah bertempur dengan segenap hati mereka.
Korps Ketujuh Gustav yang sebelumnya berjumlah 20.000 orang kini berkurang menjadi 5.000 orang. Orang-orang yang selamat tersebar dengan bebas di segala arah, dan dengan pendapat mereka masing-masing, berusaha untuk mundur kembali ke Wealth.
Yang mendampingi Gustav di sekelilingnya hanyalah kurang lebih 500 orang. Tak ada perintah, dan mereka tak melakukan apa pun selain terus mundur dengan stabil.
Dalam badai salju yang keras, di depan mereka muncul sebuah kavaleri. Bendera mereka hitam, dengan emblem gagak putih. Itulah emblem Schera, karakter yang seharusnya dipanggil aktor utama di balik kelahan mereka.
“…Jadi di sinilah pertunjukkan sang Maut akan dimulai, huh? Waktu yang tepat untuk memberi hadiah perpisahan. Kita buat mereka menerima hukumannya!”
Gustav menghunus pedangnya dengan tatapan berapi-api dan memberi perintah untuk menyerang.
Kavaleri Schera juga mulai menyerang, dan pertempuran itu menjadi battle royale1dengan kuda-kuda di kedua sisi yang sama-sama berhenti. Kedua sisi telah kelelahan, dan satu-satunya yang tetap bergerak dengan lincah adalah Schera dan beberapa orang lainnya. Mengayunkan sabitnya dengan bersemangat, ia mencabut nyawa semua orang yang bisa ia raih.
“Schera!! Kau sialan, beraninya kau muncul!! Jika kau memiliki harga diri sebagai seorang pejuang, serahkan dirimu segera!”
“Ahaha! Letnan Jenderal Gustav, aku telah menunggumu! Aku sedang melakukannya karena aku berlari ke arahmu seperti itu. Semakin banyak kepala jenderal semakin bagus. Maaf, tapi tolong jadilah santapanku!”
“Diam! Dengan harga diri Wealth, aku akan membunuhmu!”
Sabit Schera terayun ke arah Gustav, namun Gustav berhasil mengelak serangannya, dan dengan terampil menggerakkan pedangnya. Intuisinya dari pengalamannya bertahun-tahun di medan perang memperingatkannya bahwa ia takkan bisa menahan serangan dengan pedangnya. Gustav lanjut menghunuskan pedangnya, mengelak serangan Schera.
Kudanya dengan liar meringkik, dan teriakan memotivasi Gustav bergema di daerah sekeliling.
“—Ha!! Haaaaaa!!!”
“—Di sana. Ayunannya. Seperti ini!”
Membelokkan serangan, ia menangani serangan Schera dalam jarak yang setipis kertas. Dalam keadaan berbahaya seperti ini, Gustav menampilkan keahliannya dalam ilmu berpedang.
“Naif, gadis kecil!!”
“–!!”
Schera tak sengaja terkecoh oleh gerakan tipuan Gustav. Gustav sengaja berpura-pura membuat kuda-kudanya goyah, dan sabit itu terayun ke bawah, namun Gustav berhasil menghindarinya dalam jarak beberapa sentimeter.
“Aku dapatkan kau!!!”
Schera telah terlalu jauh mengayunkan sabitnya. Gustav mengincar dadanya, mengirimkan sebuah tusukan tajam dengan seluruh kekuatannya. Tusukan itu adalah serangan yang amat cepat, yang tercepat sepanjang hidup Gustav.
“…”
“Betapa menyayangkannya. Hanya satu ujung jari jauhnya. Letnan Jenderal Gustav, kau benar-benar sial.”
“Gugah, gah—“
Pedang Gustav yang dihunus terhenti dalam jarak yang sangat dekat dari jantung Schera. Ia telah menembus baju zirah Schera, namun sayangnya, ia tak mampu meninggalkan luka apa pun.
Schera mengayunkan sabitnya yang agung itu ke arah atas dan menikam rahang Gustav. Ujungnya tampak menembus bagian depan wajah Gustav. Gustav tak bisa meneriakkan apa pun karena rasa sakit yang sangat hebat menjalari tubuhnya. Dari mulutnya yang kejang, tertumpah darah dengan jumlah yang cukup banyak.
Schera dengan kasar menarik sabitnya, dan kepala Gustav terpenggal dari samping. Kemudian, ia menarik napas dalam-dalam, dan berteriak pendek,
“Aku, Schera, telah membunuh jenderal musuh, Gustav!!! Musuh telah dikalahkan, bunuh siapa pun yang bisa kalian jangkau!!”
“OUUUUU!!!”
Sebuah unit yang telah kehilangan kemandannya sangat rapuh. Di sisi lain, para prajurit yang menang mengumpulkan kekuatan mereka. Prajurit Gustav yang telah kehilangan semangat bertempur mereka semuanya dihancurkan, dan mayat mereka tersebar di tanah. Bahkan walaupun begitu, mereka harus dipuji karena telah bertempur hingga akhir.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 23.5 - Jamuan Setelah Festival Sangat Lezat (5)
Donasi pada kami dengan Gojek!
