The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 23.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 23.2 - Jamuan Setelah Festival Sangat Lezat (2)
Tiga hari kemudian.
Pasukan Kekaisaran Alexander dengan tanpa perlawanan berhasil memasuki Benteng Kedua. Komandan pertahanan, Yalder, telah membuka gerbang seperti yang ia janjikan. Alexander memanggil Yalder ke markas agar segera menemuinya. Namun yang datang adalah seorang staf perwira, yang menyebut dirinya bernama Sidamo.
“Kami telah menerima perintah Anda untuk mengadakan rapat saat ini, namun komandan kami, Yalder, mengatakan bahwa ia tak bisa menunjukkan penampilannya yang buruk rupa kepada Yang Mulia. Sekali ini saja, ia memohon ampunan Anda.”
“Apa yang membuatnya merasa malu setelah apa yang ia lakukan? Tak perlu khawatir dan panggil dia. Jika ekspedisi ini berakhir sukses, jasa Yalder akan lebih besar dari orang lain… ..Ini adalah perintah. Katakan padanya untuk terus terang menghadapku saja,” kata Alexander, dan Sidamo menundukkan kepalanya dalam-dalam dan pergi.
Beberapa menit kemudian, Yalder yang ditopang oleh Sidamo muncul di hadapan Alexander. Di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat, dan ia tampaknya tak mampu berjalan sendiri. Wajahnya bengkak dan tampak mengerikan, cukup menakutkan hingga ia tak mampu membuka matanya sendiri. Dahinya dibalut dengan perban, dan lukanya cukup serius hingga berjalan satu langkah saja terasa sulit.
“Tuan Yalder. Ada apa denganmu?”
Alexander berdiri dari kursinya dan menanyakan tentang keadaan Yalder.
Suara Yalder bergetar saat ia menjawab, “Sebagai seorang anggota militer, ini akhir bagi saya. Tolong, tertawakan saja saya. Inilah takdir seorang pria yang pernah dikenal sebagai Komandan Baja.”
“Dan, perlakuan buruk itu?”
“Saya dipecat, dan akhirnya, didemosi menjadi Letnan Jenderal. Selain itu, saya dihukum karena dianggap melanggar peraturan militer dan langsung dihukum dengan pukulan tongkat. Untuk memikirkan bahwa inilah perlakuan mereka pada seorang pria yang telah mengabdikan dirinya pada Kerajaan selama bertahun-tahun, ini benar-benar, sangat menyakiti hati saya.”
Yalder terdiam. Ia kehilangan kata-kata, dan rintihan terdengar dari bibirnya. Pembicaraan itu berlanjut atas desakan Sidamo.
“Kami ditugaskan untuk menjadi tumbal di sini. Inilah satu-satunya peran yang terisisa bagi korps pasukan yang telah kalah, kata mereka. Para petinggi Kerajaan berencana untuk mempersiapkan segalanya saat itu dan melancarkan serangan balasan… .Bukan hanya kami, untuk memaksa orang-orang yang berada di bawah naungan kami untuk mati seperti anjing membuat saya tak tahan, dan karena itulah kami membuat keputusan untuk menyerah pada Kekaisaran.”
“…Sekarang aku paham. Aku bersimpati atas penderitaanmu,” kata Alexander dengan ekspresi kasihan, dan Yalder berlutut, memohon.
“Yang Mulia. Tolong masukkan kami menjadi pasukan garis depan. Saya ingin menunjukkan pada orang-orang yang meremehkan kami tentang semangat seorang prajurit. Saya mohon. Saya mohon.”
“…Tidak, tidak dengan kondisi tubuhmu itu. Mungkin kau akan sulit menggunakan tombak. Kau seharusnya mencurahkan dirimu dalam proses penyembuhan sekarang. Bergerak bisa membuka lukamu kembali. Tuan Sidamo, bawa Tuan Yalder kembali ke kamarnya.”
“…Hingga mereka benar-benar membuka gerbang, saya masih curiga, namun tampaknya penyerahan diri Yalder itu sungguh-sungguh. Bagaimana menurut kalian?”
Alexander menanyai Gustav, dan bahkan Gustav yang penuh kecurigaan itu mengangguk setuju.
“Yalder terkenal sebagai seorang pria dengan harga diri yang tinggi. Ia berdarah panas, dan ia bukan seorang pria yang bisa memikirkan strategi. Semua orang juga akan merasa jijik jika mereka membahayakan diri mereka dan malah dihargai seperti itu.”
“Dengan kata lain, kita sudah bisa menempati Benteng Kedua. Menurutku ini operasi yang menyenangkan,” kata Alexander, dan semua staf perwira mengangguk. Kemudian, mereka beralih untuk memutuskan kepada siapa pertahanan benteng ini akan diserahkan.
“Hingga orang-orang yang mengikuti kita tiba, biarkan Yalder yang memegang pertahanan. Divisinya kurang lebih 7.000 orang. Jumlah tepatnya seperti itu.”
“Namun, mempertimbangkan skenario yang terburuk, bagaimana jika kita mempercayakan komando pertahanan kepada orang lain?”
Gustav menawarkan sebuah kebijakan yang bijaksana pada atasannya, namun Alexander menertawakannya.
“Saat ia mengalami luka-luka yang seperti itu, ia takkan bisa melakukan sesuatu seperti mengomandoi prajuritnya dengan baik. Jika kita membawa para prajurit yang kalah, menurutku mereka takkan berguna. Mereka hanya akan meningkatkan jumlah makanan yang dikonsumsi. Untuk itu, menurutku tindakan yang paling terbaik adalah membuat mereka menjaga tempat ini,” kata Alexander, dan para staf perwira menyetujuinya.
“Menurut saya, saya setuju dengan Anda, Yang Mulia. Jika kita meninggalkan beberapa orang untuk mengawasi mereka, maka kita tak perlu khawatir. Di atas semua itu, orang-orang itu tak memiliki sedikit pun kesetiaan lagi untuk Kerajaan.”
“Bukan hanya itu, kecepatan kita keluar dari sini jauh lebih penting dari segalanya. Kita harus segera mulai bergerak, merebut gudang sebelum musuh mempersiapkan pertahanan mereka, dan mengepung Madros.”
Salah satu staf perwira menjelaskan rencana sambil menunjuk peta. Alexander mengangguk, dan memberinya perintah.
“30.000 orang Korps Pertama akan mulai bergerak menuju Madros. Gustav, 20.000 orang Korps Ketujuh akan lanjut menuju timur dan menghancurkan gudang itu. Setelah itu, dukung pengepungan Madros. Walaupun aku bertujuan untuk merebutnya sebelum itu.”
“Sesuai keinginan Anda, Yang Mulia, tolong berhati-hati.”
“Tampaknya kekhawatiranmu tak membaik, Gustav. Aku bukan lagi anak-anak. Kepedulianmu yang berlebihan itu tak diperlukan.”
“Saya minta maaf soal itu. Saya, Gustav, telah salah menilai Yang Mulia.”
Gustav membuat lelucon, dan Alexander tersenyum masam. Gustav dalam hati memprioritaskan teritori Wealth jauh di atas Kekaisaran, dan Alexander hanya memikirkan dan berusaha memperoleh takhta. Kedua orang ini berada di sisi yang berbeda, dan mereka mempertahankan hubungan yang aneh, hubungan mutualisme saling memberi dan diberi.
“…Perang ini akan menjadi jembatan kita menuju kemenangan. Semuanya, aku mengharapkan kerja keras dari kalian semua.”
Alexander menyatakan kebulatan tekadnya dan memperhatikan para jenderal yang berada di sekitarnya, dan mereka semua mengeraskan kehendak mereka dan mengangguk.
.
.
.
50.000 anggota Pasukan Kekaisaran mulai bergerak dari Benteng Kedua. Target mereka: gudang makanan dan juga Kastil Madros. 7.000 anggota Legiun Yalder yang telah menyerah mempertahankan Benteng Kedua.
Ditugaskan sebagai unit komando Korps Pertama, unit Schera yang berjumlah 500 orang adalah bagian ‘ekor’ formasi kolom Pasukan Kekaisaran. Mereka mendapat perintah dari atasan mereka untuk bertahan dan melindungi kereta suplai mereka dari kavaleri penyerang milik Pasukan Kerajaan. Sisa anggota unit Schera, yang berjumlah 1.500 orang, disebarkan, dan mereka diberikan tugas yang sama untuk melindungi iring-iringan.
Dengan istilah yang lebih sederhana, Schera mendapat tugas yang paling tak mengenakkan. Tentu saja ia akan melindunginya hingga akhir, namun jika iring-iringan itu mengalami kerugian kepalanya pasti akan melayang.
Alexander menekankan kecepatan pergerakan pada formasi dasar: bagian depan pasukannya adalah kavaleri ringan, di tengahnya adalah pasukan utama, dan bagian belakangnya adalah iring-iringan dan senjata kepung. Mereka melanjutkan pergerakan paksa itu bahkan di malam hari, bergantung pada cahaya obor, dan mendekati Kastil Madros dengan kecepatan yang mengejutkan.
Sebuah jalan yang seharusnya memakan waktu satu minggu mereka lalui kurang lebih dalam tiga hari.
Musuh belum mengetahui mereka, dan 30.000 pasukan Korps Pertama mampu melanjutkan pergerakan yang menjanjikan itu.
Kemudian, ketika mereka satu hari jauhnya dari markas utama musuh, Alexander dan seluruh pasukannya beristirahat.
“Istirahatlah secukupnya malam ini. Besok kita akhirnya akan menyerang Madros. Semuanya, pertahankan semangat kalian.”
Menyembunyikan diri mereka dalam hutan dengan baik, para prajurit Kekaisaran mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah sambil menahan napas mereka agar tak terdengar. Api untuk menghangatkan diri dilarang. Tak ada gunanya datang sejauh ini jika musuhm menyadari mereka. Untuk perbekalan, daging kering yang telah disiapkan sebelumnya dan roti… beserta kentang dibagikan.
Bahkan walaupun begitu, para prajurit mengesampingkan ketidak nyamanan mereka. Jika mereka memenangkan perang ini, mereka dijanjikan akan mendapat penghargaan besar. Juga, mereka hampir tiba. Jika kota itu jatuh, mereka mungkin akan mendapat kesempatan untuk menjarah. Pada kesempatan itu, mereka berencana untuk melepaskan semua hasrat mereka yang menggebu-gebu.
Memastikan bahwa daerah sekitar mereka telah tenang, Schera keluar dari tenda lusuhnya. Para prajurit dari kavalerinya yang terpaksa berkemah di luar, sambil menyelimuti diri mereka dengan lapisan-lapisan kain, dengan perlahan mendongakkan kepala mereka. Mata mereka tampak tajam tanpa rasa lelah sedikit pun.
Katarina memberi sinyal dengan tatapannya, dan Schera tertawa, menunjukkan gigi-gigi putihnya. Anggota kavalerinya juga hampir tersenyum ketika,
–Karl, yang ditugaskan untuk mengawasi Schera dan kelompoknya, muncul ditemani salah satu anggota infanteri.
“Apa yang ingin Anda lakukan larut malam seperti ini, Letnan Kolonel Schera? Memimpin anggota kavaleri Anda, mungkin Anda mau pergi ke suatu tempat?”
“Ini terlalu dingin, jadi menurutku aku harus menggerakkan tubuhku. Karl, bagaimana kalau kau ikut juga?”
Membawa sabitnya, Schera menjawabnya, merasa tak terganggu. Para anggota kavalerinya terdiam, menonton.
“Tidak, saya baik-baik saja. Selain itu, saya sedang mengawasi Anda dengan ketat. Saya telah diberi perintah untuk membunuh siapa pun yang ribut dan membunuh siapa pun yang bergerak tanpa perintah. Letnan Kolonel, silakan kembali. Jika tidak–”
Karl mengangkat tangannya, dan prajurit infanteri itu menghunus pedangnya dengan gerakan lambat.
“Jika tidak, apa, aku panasaran. Hei Katarina. Aku penasaran.”
“Tentu, Letnan Kolonel. Apa yang akan dilakukan oleh Letnan Dua Karl? Mungkin ia sedang mengancam kita.”
Katarina menjawab pertanyaan Schera dengan cemoohan. Di balik kacamatanya yang berembun tersembunyi sepasang mata dengan kegilaan yang meluap-luap.
Untuk membuat mereka mengerti bahwa itu bukan hanya sekadar ancaman, Karl memerintahkan Katarina, yang telah menantangnya, untuk dihukum.
Tentu saja, mereka tak boleh menimbulkan keributan, jadi mereka tak bisa melakukan sesuatu yang mencolok. Karl berencana untuk menyumpa mulut Katarina dan memukulnya dengan tongkat. Walaupun itu sebuah ‘tongkat’, pukulannya akan sangat sakit, dan sangat mampu menyebabkan kematian jika digunakan dengan salah.
“Saya telah menerima perintah khusus dari Letnan Jenderal Gustav. Jika Letnan Kolonel Schera bertindak mencurigakan, hukum ia. Letnan Dua Katarina, saya akan menggunakan tubuhmu untuk membuktikan, bahwa saya serius. Saya takkan membeda-bedakan pada wanita. Saya memperlakukan semua orang dengan sama, jadi tenang saja.”
Ketika Karl melambaikan tangannya ke bawah, anggota infanteri yang menemaninya meraih tangan dan kaki, memaksa orang itu untuk berlutut, dan menyumpal mulutnya untuk menghindari keributan.
.
.
.
Centinni menerjemahkan ini untukmu.
Kami juga membuka donasi via Gojek pay ya guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/fbqJYJX
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 23.2 - Jamuan Setelah Festival Sangat Lezat (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
