The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 18.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 18.2 - Jamuan Ibu Kota Kerajaan Pasti Sangat Lezat (2)
Teritori Canaan yang dikendalikan Pasukan Kerajaan. Perkemahan Benteng Roshanak.
Sambil mengelilingi sebuah api unggun, semua prajurit menikmati makanan mereka, meminum alkohol, menghilangkan kelelahan mereka, dan menghibur diri mereka sendiri dengan perbincangan. Itulah beberapa kesenangan yang dimiliki para prajurit. Di tempat yang terpencil seperti ini, tak ada hiburan lain.
Setelah memperoleh keuntungan yang mengagumkan dalam perang dan setelah menyelamatkan sekutu mereka, Kavaleri Schera diterima sebagai pahlawan.
Prajurit-prajurit dalam unit Schera sangat populer, dan mereka selalui ditanyai, “Orang seperti apa Schera itu?”, dan, “Apakah rumor tentang kehebatannya yang luar biasa itu benar?”
“Jadi, apa itu benar? Tentang semua itu dan Tuan Schera. Bukankah hal tentang Dewa Maut itu hanya dongeng? Dari yang bisa kulihat dari sejauh ini, ia tampaknya tak berbeda dari para gadis desa yang berada di sekitar sini.”
Penjaga itu menyilangkan lengannya sambil mendesah aneh. Mereka memang mengalami aktivitas yang hebat, pikirnya, tetapi kehebatan itu mencapai tingkat di mana ia tak meyakininya lagi. Mereka menerobos kepungan Belta, dan kemudian memukuli pasukan pengejar hingga babak belur. Pahlawan yang seperti apa itu? ia ingin tertawa. Ini bukan cerita dongeng.
“Mayor Schera, bukan, mungkin Letnan Kolonel? Rumor yang beredar itu hampir tepat. Ia memang berusia delapan belas tahun. Tapi jika kau melihatnya bertarung sekali saja, kau takkan lagi mengatakan bahwa rumor itu bohong.”
Seorang pria yang berasal dari Kavaleri Schera berkata sambil menuang alkoholnya. Sepuluh pria yang ada di sekelilingnya, yang terlalu gembira, berdesakan di sekelilingnya dan mendengarkannya dengan saksama.
“Berdasarkan mereka yang selamat, mereka bilang kalian bertempur dengan sengit. Apakah kalian terinspirasi karena Tuan Schera yang memimpin kalian? Seolah itu benar? Hahaha!”
“Kalian bahkan diberi penghargaan! Aku takkan iri, karena kita semua tak berguna, haha.”
“Mungkin aku akan mencoba membuat petisi untuk mengganti komandan juga, karena dengan demikian, mungkin aku akan diberi penghargaan dan dipromosikan!”
Semua orang bercanda sambil tertawa. Pria yang berasal dari Kavaleri Schera itu, sambil menatap api unggung, berkata terus terang, “Bagimana aku bisa menjelaskannya? Ketika aku berada di bawah bendera itu, bertarung bersama Letkol, aku tak merasa takut lagi. Aku benar-benar tak takut mati lagi. Bahkan aku pun berpikir bahwa itu hal yang aneh.”
“Itu karena kau terlalu berlebihan. Seolah ada saja orang yang tak takut mati.”
“Sekarang karena kau mengatakannya, kutebak. Aku terlalu bersemangat untuk bertarung, tapi aku jelas takut mati.”
“Tak ada yang namanya Maut bagi Kavaleri Schera. Kami… kami takkan pernah mati. Bahkan walaupun daging kami dikuliti, selalu berada di bawah bendera gagak hitam, kami selamanya akan terus bersama dengan Letkol. Itulah mengapa Kavaleri Schera takkan pernah bisa dikalahkan. Kami takkan pernah kalah.”
Semua orang terdiam menatap pria yang melanjutkan pembicaraan itu dengan tatapan kosongnya. Seolah menceritakan isi kitab, pria itu seolah percaya akan kebenaran keyakinannya. Di matanya bersinar cahaya kefanatikan.
“H-hei.”
“Apa kau baik-baik saja?”
Pria itu kembali ke kenyataan, dan menatap ke sekelilingnya. Ia tertawa ringan, dan menenggak minumannya.
“… Apaaaa? Ibaratnya, kami bertarung dengan antusiasme yang seperti itu. Letkol selalu bertarung di garis depan kami. Mengikutinya setidaknya adalah sesuatu yang bisa kami lakukan.”
“Oh, oke. Betapa mampu diandalkannya dia.”
“Yah, ayo minum. Jika kau tak minum selagi kau bisa, kau akan menyesalinya.”
“Y-yah! Ayo, minum, minum!”
“…”
Setelah itu, semua orang mulai minum dalam diam. Seolah berusaha menahan ketakutan mereka pada kematian. Seolah berusaha dengan kalut untuk mengalihkan pandangan mereka dari benda itu. Benda itu, bendera hitam yang berkibar tepat di atas benteng. Gagak putih itu—mereka berdoa agar gagak itu takkan menyambar punggung mereka. Jika mereka dirasuki oleh gagak itu, mereka tentu akan menjadi seperti itu:
–Pria yang berasal dari Kavaleri Schera, yang menatap bendera itu dengan gembira.
.
.
.
Benteng Roshanak, Ruang Makan Perwira.
Schera diundang oleh Yalder untuk makan. Walaupun Belta telah jatuh, untuk perolehan pribadi, ia telah menerima tanda jasa yang tak tertandingi. Yalder saat ini sangat senang, dan saat ini ia tengah meminum alkoholnya sambil tertawa sepenuh hati.
“Mayor Schera. Tidak, Letkol! Aku tak salah telah merekomendasikanmu!”
“Terima kasih banyak, Yang Mulia.”
“Ah—tidak perlu repot-repot dengan formalitas. Tidak perlu menahan diri; makan, makan. Aku dengar dari Sidamo bahwa kau menyukai makanan lebih dari apa pun. Bukankah itu benar, Staf Perwira Sidamo?”
“Tuan, Anda tak salah.”
Lolos dari Belta, Sidamo mengangguk. Ia mengalami sedikit luka, tetapi tak sampai hingga ia tak mampu bergerak. Ia sekali lagi telah kembali ke sisi Yalder, dan bekerja sebagai Staf Perwira.
Schera melirik Sidamo dan setelah itu kembali makan. Ia memakan sejenis ikan panggang yang tak ia kenal, daging kelinci, jamur, tanaman liar, dan buah-buahan. Mungkin makanan itu bisa ia sebut sebagai berkah dari gunung? Walaupun tanah mereka tandus, gunung ini tetap memiliki hasil panen seperti ini.
“Mm, mm! Saat kebangkitan kembali Pasukan Ketiga, aku berencana untuk menjadikan Letkol sebagai dasar pasukan. Kita pasti akan megambil kembali kebanggan sebagai Divisi Baja yang telah jatuh di pertempuran berikutnya. Paham, Sidamo?”
“Baik, saya, Sidamo, akan mengeluarkan segenap kekuatan saya.”
“Bagus! Baiklah, kau pelan-pelan saja menikmatinya. Makan saja sebanyak yang kau mau; aku tak peduli. Aku akan pergi dulu. Jika terjadi sesuatu, jangan tahan dirimu dan cari saja aku.”
“Dimengerti!”
Schera memberi hormat sambil makan, dan Yalder pergi setelah tertawa lepas. Sikapnya yang angkuh dahulu sekarang menjadi lebih berkurang.
Sidamo, yang berpikir bahwa ini adalah arah yang benar, mengangguk pada dirinya sendiri. Selama kesombongannya tidak ada, Yalder adalah seorang komandan yang tak tertandingi. Walaupun jika ia tak memilikinya, tanpa koneksi bangsawannya yang spesial, Yalder takkan dipercayai sebagai Komandan Pasukan Ketiga.
“Baiklah, Letkol. Aku juga undur diri. Kau telah tetap hidup dan kembali. Instruksimu tak berubah. Jika kau akan mati, matilah di luar. Mati di dalam benteng adalah hal yang sia-sia bagi kavalerimu.”
“Saya mengerti, Staf Perwira Sidamo.”
“…Jangan cemas tentang Vander. Kita pasti akan membuatnya menerima hukuman atas pengkhianatannya suatu hari nanti. Ini bukan tugasmu. Walaupun kau pasti mengerti tanpa harus kuberi tahu.”
“Saya akan membinakan pasukan pemberontak itu. Vander akan mati di tangan saya, tak terkecuali.”
“Vonis kematian dari Dewa Maut, huh? Hmph, aku harap aku bisa membuat pria itu mendengarkannya.”
Sidamo mendengkus dan pergi.
Schera menusuk gumpalan daging kelincinya kuat-kuat dengan garpunya, dan mengigitnya dengan kasar. Rasa darahnya amat terasa.
.
.
.
Terjemahan ini milik Centinni
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/qHkcfMc
Kami juga membuka donasi via Gojek pay guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 18.2 - Jamuan Ibu Kota Kerajaan Pasti Sangat Lezat (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
