The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 17.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 17.2 - Aku Lebih Memilih Makanan Lezat daripada Medali yang Berkilauan (2)
“D-diam! Apa kau tahu kau sedang bertanya tentang siapa? Selain itu, lawanmu sendirian. Kepung dan bunuh dia!”
“Ya bodoh! Kau berkata begitu karena kau tak tahu bagaimana kekuatannya! Bahkan walaupun kami berseratus orang, kami takkan bisa menang! Kita tak mungkin bisa menang melawan monster! Lupakan ini, aku berhenti! Ayo, cepat keluar!”
“K-komandan, tunggu kami!”
Para prajurit itu tergesa-gesa keluar dari ruangan itu. Walaupun mereka ingin melarikan diri dari kastil, sang Maut yang kini menunggu di hadapan mereka bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Nyawa di atas keuntungan. Itulah yang mereka pikirkan.
“Tunggu! Hei! Kalian berani melanggar perintahku? Aku bilang tunggu!”
Asar berusaha mengejar mereka, ketika sesuatu dilemparkan ke punggungnya. Keseimbangannya hilang, dan ia terjatuh ke lantai, dan matanya menatap sesuatu: seorang Staf Perwira, yang pernah menjadi koleganya beberapa saat lalu. Juga, seorang saingan yang selalu berlomba dengannya untuk mendapat promosi dari David.
“Hi, hiii!”
“Staf Perwira Asar. Kau adalah yang paling lamban. Kau tahu? Yang lain sudah datang sebelum kau. Aku bahkan tak menyangka kau akan melakukan tindakan yang berlebihan seperti ini dan mendapat hasil yang sama dengan mereka. Kau benar-benar mengecewakan. Kemari, lihat ini. Akhir dari para pemberontak.”
David berdiri dan menendang beberapa benda bulat yang tak terhitung jumlahnya yang tersembunyi di bawah meja.
Melihat mereka, Asar dipenuhi ketakutan. Benda itu adalah kepala manusia.
Schera mengambil sabitnya yang tergeletak di lantai dan mulai berjalan menuju Asar-sambil meregangkan lehernya, karena merasa sangat jengkel.
“T-tunggu, tolong. Ampuni aku. Jika kau ingin uang, aku bisa memberikannya. Mayor Schera, aku mohon! Oh, ya, bunuh David, jangan aku! Dan kita bisa bersama menuju Pasukan Pembebasan—“
“Pergi bersama ke Pasukan Pembebasan katamu? Ahaha-benar-benar kata-kata yang menggelikan. Baiklah, karena aku bisa mendengar pembicaraan yang menarik, kutebak kita hanya tinggal menunggu waktu?”
Schera tersenyum dengan wajah yang berlumuran darah, dan mengayunkan sabitnya ke arah Asar yang tak henti-hentinya berteriak. David mengangguk, tampak puas, dan menenggak anggurnya yang tercampur dengan sesuatu yang berwarna merah.
“Mayor Schera. Maaf merepotkanmu. Juga, aku ingin minta maaf atas kata-kataku yang kasar sebelumnya. Dengan ini, aku minta maaf.”
David menundukkan kepalanya. Dan Schera memandangnya tanpa perasaan apa pun.
“Kau, pergilah dari kastil ini. Sidamo juga telah memintamu untuk melakukannya. Aku berani berkata bahwa parit itu pasti sudah penuh besok. Jika itu terjadi, kita takkan bisa bertahan.”
“Baik tuan, saya paham.”
“Aku akan tetap di sini, tetapi aku berencana untuk melarikan diri dengan para prajurit yang masih bisa bergerak. Komando telah diserahkan pada Mayor Konrad. Rencana ini akan melibatkan kalian berdua. Jalankanlah rencana ini besok malam.”
“Saya, Mayor Schera, mengerti!”
“Kau boleh pergi. Semoga keberuntungan perang bersamamu.”
Schera memberi hormat, membersihkan sabitnya, dan pergi. Di ruangan di mana aroma darah menguar, David menutup matanya sejenak,
.
.
.
Keesokan harinya.
Parit itu telah terisi penuh dengan pasir. Pengepungan yang sebenarnya akan dimulai.
“MENARA KEPUNG MULAILAH MAJU! JATUHKAN PASUKAN PEMANAH MUSUH!”
Menara kepung maju hingga daerah point blank1 Kastil Belta dan memulai penyerangan.
“Rentangkan busur! Tembak!!!”
Dari dalam menara, sambil menyembunyikan tubuh mereka masing-masing, para prajurit memulai tembakan mereka pada pemanah Kerajaan yang berada dalam benteng. Kehilangan keuntungan berupa tempat yang tinggi, para prajurit Kerajaan gugur satu per satu. Tetap saja, mereka tak bisa berlindung. Jika mereka turun dari dinding kastil, menara kepung akan mengirimkan pasukan untuk mengepung mereka. Pasukan infanteri pasti akan sukses menerobos masuk. Mereka takkan mampu mencegah Pasukan Pembebasan jika itu terjadi. Karena itu, mereka harus melindungi dinding kastil hingga akhir hayat mereka.
Pasukan Kerajaan bukan hanya harus memperhatikan menara kepung, namun mereka juga harus memperhatikan ke bawah. Ada juga kemungkinan musuh akan menggunakan tangga dari tali dan memanjati dinding dengan paksa. Mereka juga harus memperhatikan api agar dinding tak dihancurkan oleh pelontar tubruk.
“JANGAN SAMPAI MEREKA MASUK! JANGAN SERAHKAN BELTA PADA PASUKAN PEMBEBASAN!! TUNJUKKAN PADA MEREKA KEGIGIHAN PASUKAN KEEMPAT!!!”
Suara Komandan Pasukan menggema sia-sia. Semangat para prajuritnya hampir runtuh. Dalam situasi seperti ini, ada situasi di mana para prajurit mulai mengabaikan perintah Komandan mereka.
Namun, situasi itu menjadi jauh lebih sulit karena David sang mantan bangsawan. Lebih penting dari segalanya, adalah ia tak pernah sekali pun keluar dari gedung utama. Karena itu, tak mungkin semangat pasukannya bisa meningkat.
Schera telah memercayakan tugas komandonya pada Katarina, dan ia saat ini tengah berdiskusi dengan Mayor Konrad. Mereka sedang membicarakan tentang rencana pelarian yang akan dilakukan malam itu. Konrad adalah sosok seorang pria yang tidak sopan, dan ia hanya berbicara hal-hal yang diperlukan.
“Mayor Schera. Saya Konrad, Komandan Pasukan Keempat yang baru ditunjuk. Sesuai rencana, kita akan melakukannya saat pergantian hari, di malam ini. sejauh yang bisa saya lihat dari ketinggian ini, tampaknya kepungan di gerbang timur sangat longgar. Karena itu, kita akan menerobos gerbang timur dan langsung menuju Benteng Roshanak di Area Canaan.
Berada di antara Area Belta dan Ibu Kota Kerajaan adalah Area Canaan.
Daerah itu dikelilingi pegunungan yang curam, dan seseorang harus melewati daerah Canaan sebelum bisa mencapai Ibu Kota Kerajaan. Setelah melewati satu-satunya jalan utama di sana, maka mereka akan mencapai Padang Agung, dan di tengah-tengahnya, berdirilah Ibu Kota Kerajaan, Blanca.
Canaan adalah sebuah daerah yang tandus, dan Kerajaan tak bisa mengharapkan hasil tani dari tempat itu. Karena tak memiliki satu pun industri yang khas, tempat itu adalah tempat yang miskin dengan penduduk yang sedikit. Bahkan jika tempat itu diserang, penyerangnya takkan mendapat keuntungan apa pun. Namun, mereka tetap harus melewatinya jika ingin menuju Ibu Kota Kerajaan.
“Dan kalau begitu, apa yang harus dilakukan kavaleriku?”
Karena Konrad memiliki posisi yang sama dengannya, Schera menghentikan formalitas yang ia anggap melelahkan itu. Ia mengayunkan kakinya sambil mengunyah kacangnya. Dan Konrad pun tak tampak peduli.
“Menjadi pasukan garis depan, atau pasukan garis belakang. Dengan kata lain, ini mungkin akan menjadi pertarungan yang sengit. Aku akan pergi dengan siapa pun yang tersisa. Aku tak peduli siapa pun itu.”
Jika mereka ingin bergerak dengan lancar, maka jauh lebih tepat jika kavaleri Schera menjadi pasukan garis depan dan langsung bergerak, namun sayangnya, musuh pasti akan menunggu mereka. Mereka pasti akan disergap, dan korban jiwa yang berjatuhan pasti akan sangat banyak.
Lalu, jika kavaleri Schera menjadi pasukan garis belakang, akan terjadi neraka lainnya, karena ada kemungkinan besar mereka akan dikepung oleh pasukan bala bantuan Pasukan Pembebasan dari utara dan selatan. Akan menjadi akhir bagi mereka jika mereka berhenti bergerak, dan mereka pasti akan dilenyapkan. bisa dikatakan pasukan garis belakang memiliki kemungkinan gugur yang paling besar.
“Maka haruskah kita memutuskannya seperti ini? Aku baik-baik saja dengan keduanya.”
Dengan kata lain, ia takkan melakukan hal selain melenyapkan para Pasukan Pembebasan. Apa yang akan ia lakukan takkan pernah berubah. Di atas salah satu kacang yang ada di tangannya, ia menggambar sebuah tanda ‘x’ dengan kukunya. Kacang yang satunya lagi tak ia tandai. Setelah mengocok tangannya, ia mengambil satu untuk masing-masing tangannya, dan kemudian menyodorkannya ke arah Konrad.
“…Apa.”
“Yang bertanda ‘x’ berarti pasukan garis depan. Keberuntunganmu akan diuji. Semoga beruntung.”
Terhibur, Schera tersenyum cerah, dan mempersembahkannya dua takdir yang berbeda.
.
.
.
Matahari telah terbenam, dan Pasukan Pembebasan menarik prajurit-prajurit mereka. Tak ada serangan yang datang. Lebih seperti, rencana pelarian diri Kerajaan telah terlihat jelas. Tampaknya Pasukan Pembebasan tak ingin membuang-buang prajuritnya.
Cahaya yang menyilaukan membalut, dan obor-obor mulai menyapu Kastil Belta yang hening. Malam terakhir telah tiba. Menatap dari sekeliling dinding kastil yang telah rusak parah, obor-obor dari gerbang timur memang yang paling sedikit. Di bawah sana terdapat hutan, dan sebuah jalan yang mengarah ke Canaan. Ini akan menjadi jalan yang berduri.
Di bawah perintah Konrad dan Schera, 5.000 prajurit Kastil Belta berkumpul. Dengan prajurit yang terluka namun masih bisa bergerak, jumlah itulah yang mampu dikumpulkan. Orang-orang yang tak mungkin bisa selamat ditinggalkan di dalam kastil.
Pasukan Keempat yang awalnya selalu membual tentang keagungan mereka kini hanyalah bayangan diri mereka yang dulu. Sekarang tak ada prajurit selain mereka yang masih bisa bergerak. Segera setelah pelarian diri mereka berhasil, orang-orang yang tak bisa bergerak bisa membuka gerbang dan menyerah.
David telah menolak untuk melarikan diri, dan ia adalah satu-satunya yang tersisa dalam gedung utama. Kepala Staf Perwira telah membakar dokumen-dokumen penting. Ia melemparkan semua kejayaan mereka di masa lalu ke dalam perapian, dan akhirnya ia mungkin akan minum racun untuk mengakhiri hidupnya.
Konrad mengirimkan sinyal pada Schera. Schera mengangkat sabitnya untuk menjawabnya. Terdengar suara seseorang yang menelan salivanya. Jika mereka ingin melarikan diri, inilah kesempatan terakhir mereka. Mereka tidak boleh berhenti.
Tetapi, saat itu, sebuah ledakan menggema dari dalam kastil. Dari dalam gedung utama, sulur-sulur api merangkak naik.
Kecuali Gerbang Timur, semua gerbang terbuka lebar, dan para Pasukan Pembebasan yang telah lelah menunggu menerobos masuk. Tampaknya para pengkhianat yang melakukannya. Tak ada waktu yang tepat selain saat ini untuk menerima penghargaan.
“—Buka gerbang kastil!!”
Konrad berteriak dari atas kudanya, dan gerbang terakhir pun dibuka.
“Unit Konrad, mulai bergerak maju! Seluruh anggota, serang! Majuuuuuu!!”
“OU!!!”
Infanteri yang mengibarkan bendera Pasukan Keempat mulai bergerak. Semua anggotanya kelelahan. Ada pula orang-orang yang membuang pedang mereka dan melakukan desersi ke pihak musuh. Dari Gerbang Timur, semua orang memiliki pola pikir yang berbeda, dan mereka berhamburan ke segala arah. Perintah telah diabaikan.
Orang-orang yang mengikuti arahan Konrad hanya terdiri dari seribu orang. Dan mereka hanyalah orang-orang yang berada langsung di bawahnya yang pernah ia pimpin sebelumnya. Orang-orang yang entah bagaimana berhasil mempertahankan semangat mereka itu adalah buah dari kemampuan Konrad. Dengan arahan Komandan mereka, mereka bergerak dengan penuh keyakinan, menuju hutan.
Schera melihat arak-arakan yang tak berbentuk itu. Kavalerinya tidak mengikuti Konrad. Schera tiba-tiba merasakan suatu pertanda, dan untuk beberapa alasan, ia berhenti.
“Mayor, apa kita takkan mengikuti?”
Salah satu prajurit kavalerinya yang memiliki pengalaman memanah bertanya dengan sabar. Kavaleri Schera, di bawah bendera hitam mereka yang beremblemkan gagak putih, mempertahankan semangat juang mereka. Mereka berjumlah 2.300 orang. Jumlah yang lebih kecil itu adalah karena kematian selama pengepungan kemarin. Schera merasa kematian rekannya adalah ketidak beruntungan. Jumlah orang-orang yang bisa makan bersamanya berkurang, dan tentu membuatnya merasa kesepian. Tetapi, ini perang; ini tak bisa dihindari. Schera bisa memakan porsi mereka.
“Ini tentang waktu, haruskah kita pergi? Tempat ini semakin terang.”
Api menyala dahsyat dari gedung utama kastil, tempat David berada. Sulur-sulur api merangkak naik dari setiap gerbang kastil. Tak ada yang bisa mereka lakukan’ Belta telah jatuh.
Katarina melapor, “Mayor, seperti perkiraan saya, Letnan Dua Vander tidak di sini. Saya takut, tidak, saya yakin ialah pengkhianatnya. Haruskah kita mencarinya dan membereskannya? Jika Anda ingin, saya pasti akan membunuhnya.”
“Tinggalkan itu untuk dilakukan lain waktu. Ada hal lain yang harus kita lakukan sekarang.”
“Baik!”
Schera menahan sabitnya yang bertengger menyamping di bahunya. Mereka akan menyerang mendadak.
“Lalu, apakah kita akan pergi juga?” tanya salah satu prajurit kavalerinya, dan Schera mengangguk. Prajurit itu menurunkan pelindung depan helm perangnya. Schera tak menyukai helm berat yang mereka kenakan. Mengabaikan peringatan anggota pasukannya, ia mengenakan helm yang sengaja dibuat ringan, yang ia sukai.
“Mayor Schera, perintah Anda,” bisik Katarina, sambil menarik kacamatanya. Di tangannya terdapat tongkatnya yang sudah siap siaga.
“Kavaleri Schera, akan mengganti arah!! Ikuti aku!!!”
“Ikuti Mayor Schera!!! Kibarkan bendera!!”
“OU!!!”
Menendang perut kudanya, Schera melesat maju. Kavalerinya mengangkat bendera perang yang disematkan pada tombak-tombak, yang berkuda mengikutinya. Prajurit-prajurit musuh yang penuh semangat, yang tak menyangka musuh mereka akan menyerang, terinjak hingga mati oleh kuda-kuda, dan disula oleh tombak-tombak.
Dalam kegelapan, gagak-gagak putih dilepaskan.
.
.
.
-
- Point blank adalah titik serang paling dekat dengan target, sehingga target tidak mungkin bisa menghindarinya.
.
.
.
Terjemahan ini milik Centinni
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/qHkcfMc
Kami juga membuka donasi via Gojek pay guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 17.2 - Aku Lebih Memilih Makanan Lezat daripada Medali yang Berkilauan (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
