The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 14.2
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 14.2 - Makanan Yang Disantap Bersama Setelah Hari Yang Melelahkan Akan Terasa Lebih Enak (2)
Sekarang, pada jarak yang dekat ini, pasukan kavaleri Schera bergerak ke Utara, tepat ke arah Jembatan Besar Sulawesi. Mereka telah meredam dan menetralisir seluruh pengintai Pasukan Pembebasan, hingga akhirnya mereka berhasil mencapai Jembatan Besar Sulawesi. Beruntung, mereka sama sekali tak bertemu dengan unit pasukan musuh. Tak ada seorang penunggang kuda pun yang mereka temui. Di antara mereka, tak ada satu pun yang membelot dan kabur dari kesatuan itu. Bagi sekelompok pasukan yang sedang dilanda kekalahan, ini adalah fakta yang sukar dipercaya. Perbekalan yang mereka bawa telah lama habis. Stamina Schera sudah hampir habis. Ia sangatlah kelaparan. Mengapa ia harus kembali merasakan sensasi perut yang kosong ini?
“Mayor, ini permen terakhir, silakan dimakan.”
“………”
Ketika Katarina memberikan persembahan bagi sang Maut, dalam diam Schera mengambil dan mengunyahnya. Benar-benar tak cukup untuk mengenyangkan. Rasa kesalnya karena perut yang kosong sama sekali tak menghentikannya. Sabit yang dipanggulnya, kini bergetar keras karena amarah. Vander dengan hati-hati bertanya, agar tidak menyulut kemarahan Schera lebih jauh.
“Ma-Mayor, apa yang akan kita lakukan setelah ini? Di depan kita, pasukan musuh telah menunggu. Kita sudah berhasil sejauh ini. Jika kita sedikit ke utara, akan ada bagian sungai yang dapat kita se-“
Ia tak melanjutkan perkataannya, Schera menatapnya dengan pandangan penuh amarah. Satu saja kata yang salah, ia merasa bahwa sabit itu akan segera melayang ke arahnya. Kini, suasana hati Schera benar-benar buruk.
“Walaupun ada jalan pintas tepat di depan mata kita, kenapa kita harus mengubah arah? Letnan Dua Katarina, apa kau memiliki pendapat yang sama?”
Nafsu membunuh yang luar biasa mengalir dari tubuhnya yang kecil.
Setelah mengatakan hal itu, Schera menatap ke ajudannya yang lain.
“Menurut saya tak perlu. Kita tinggal menyerang mereka dari belakang, dan mereka akan hancur. Akan mudah bagi kita untuk menembus barisan musuh. Saya akan mencurahkan tenaga saya yang tak seberapa ini hingga akhir.”
“Begitu? Kalau begitu tak masalah.”
“S-siap, sama sekali tak masalah, Mayor Schera.”
Katarina memperbaiki posisi kacamatanya, lalu mengeluarkan sebuah tongkat kecil dari kantung pinggangnya. Benda itu adalah tongkat sihir mini. Ini merupakan pertama kalinya Vander melihat tongkat itu. Ia sama sekali tak pernah mendengar informasi bahwa koleganya itu mampu menggunakan ilmu sihir.
“O,oi, Kau bisa sihir? Aku sama sekali tak pernah mendengarnya.”
“Aku hanya tak pernah mengutarakannya. Namun, aku tak perlu menyembunyikannya lagi. Demi Mayor Schera, aku akan mencurahkan seluruh kekuatanku. Aku sudah memutuskannya sejak lama. Aku akan dengan sukarela menggunakan ilmu sihir pagan1. Apel tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Anak gadis seorang musyrik tentunya akan menjadi seorang musyrik juga,” ucap Katarina tanpa henti. Matanya kini memiliki sinar mata yang sama dengan anggota kavaleri lainnya.
“… Apa maksudmu?” tanya Vander yang tak bisa memahami perkataan koleganya itu. Katarina sama sekali tak menjawab pertanyaan itu.
2.500 kavaleri menunggu perintah. Perintah untuk maju dan menghabisi. Kuda-kuda meringkik, merasakan hasrat membunuh yang luar biasa, dan tubuh kuda-kuda itu pun gemetar.
Schera mengangkat tinggi sabitnya, dan meneriakkan perintah.
“Target: Jembatan Besar Sulawesi! Pasukan, serang! Bunuh mereka semua!!”
“”””OU!!!!”””
Teriakan mereka menggema, dan Schera berkuda di garis depan, menuruni bukit itu. Kedua ajudannya mengikuti, 2.500 orang pasukan kavaleri itu berderap, meninggalkan jejak debu yang pekat, dan mereka pun bergerak layaknya ombak yang sangat kuat. Bendera Pasukan Pembebasan semakin dekat. Banyak pasukan musuh yang mulai menyadari Schera dan pasukannya. Mereka segera melambaikan tangan dan bersorak. Mereka menyambut kedatangan sang Maut. Para rakyat sipil yang tak bersenjata itu tersenyum. Namun, ekspresi Schera tak berubah. Di depan matanya hanya ada musuh, sekumpulan makanan yang menunggu untuk dilahap.
“T-tunggu! Hentikan kuda ka…”
Sabitnya menyapu beberapa rakyat sipil yang mencoba kabur. Pasukan kavaleri itu mengikutinya dari belakang dengan tombak mereka yang terjulur. Mereka menginjak-injak dan membunuh sekumpulan manusia.
“Bunuh semua musuh yang ada di dekat kalian! Tak perlu repot bertanya siapa mereka! Bunuh semua pasukan pembelot!!”
Maut memberi perintah, dan para penunggang kuda itu memulai sebuah adegan pembantaian. Rakyat sipil yang tak bersenjata berlarian, mencoba untuk kabur. Beberapa orang wajib militer dengan perlengkapan seadanya mencoba melawan, namun mereka dihujam oleh tombak dan mati sia-sia.
“A, ampuni kami. Kami bukan tentara.”
“Kalian, kalian Pasukan Kerajaan bukan? M, mengapa kalian tega melakukan ini”
“Lepaskan kami…”
Tanpa bersuara, mata sabit yang tajam itu mengayun ke arah mereka yang berlutut dan memohon, dan membunuh mereka.
Mengikuti Komandannya, Katarina mengarahkan tongkatnya ke arah mayat-mayat itu dan merapalkan sebuah mantra. Mantra itu merupakan ilmu nekromansi, sebuah ilmu sihir untuk memanipulasi mayat tak bernyawa. Ini merupakan ilmu sihir yang digunakan oleh mereka yang tersesat dari jalan Sang Pencipta. Hanya ada satu mantra yang dapat digunakan olehnya. Mayat-mayat itu tak dapat bergerak selincah penggunanya, juga tak mungkin bagi Katarina untuk menggerakkan ratusan mayat. Katarina hanya mampu menggerakkan dua mayat. Dari pembelajaran mandirinya, ia hanya mampu menggunakan satu mantra ini.
“…Maju.”
“Menarik. Untuk menggunakan kembali mayat-mayat yang tak berguna. Benar-benar menarik.”
“Terima kasih, Mayor Schera.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah ini?”
“Ini…. Meledak!”
Mayat-mayat yang diperintah oleh Katarina bergerak jauh menembus barisan musuh, dan meledak. Ledakan itu menelan para tentara yang ada di sekelilingnya, dan area itu kemudian dipenuhi oleh bau daging gosong.
Schera mengamati, ia terlihat cukup puas, dan ia pun tertawa.
Vander hanya membunuh mereka yang membawa senjata di dekatnya. Jelas, mereka yang berada di depan matanya bukanlah seorang tentara. Mereka hanyalah orang-orang yang hingga beberapa hari lalu bekerja sebagai penggarap ladang dan penggembala sapi. Ia tidak bergabung dengan ketentaraan untuk membunuh rakyat sipil, bukan untuk melakukan pembantaian tanpa pandang bulu. Ia berbeda. Ia sangatlah berbeda dari para pasukan kavaleri itu.
“Mati kau!”
“Diam!”
Tombak yang terhujam saling berbenturan, dan kemudian menghujam daging. Memanfaatkan kelengahan itu, sebuah tombak berhasil menghujam punggung Vander. Namun tangan itu masih sangat amatir, dan ujung tombak itu menggores baju pelindungnya kemudian terpental dari tubuhnya. Vander menarik tombaknya, bermaksud untuk membalas. Dengan cepat ia membalik kudanya. Di depan matanya, seorang terdapat seorang pria pendek yang menggunakan baju zirah yang tak layak. Sepertinya, ia masih sangat muda, bahkan bisa dibilang anak-anak, dengan tinggi yang tak jauh berbeda dari Schera, dan wajah yang masih terlihat kanak-kanak.
Prajurit itu terkejut dan gemetar melihat tombak yang ia hujamkan dengan sepenuh tenaganya terpental dari tubuh sasarannya. Ia benar-benar merasa takut.
“Tsk, Hei bocah, menurutlah! Apa kau mau mati!?”
“Hi-Ah, ah-“
“Jangan kurang ajar!”
Vander memukul jatuh senjata anak lelaki itu dengan tombaknya. Ia sama sekali tak bermaksud untuk membunuh bocah itu.
Namun….
“Kubilang, bunuh semua musuh, Letnan Dua Vander.”
Dari belakang bocah itu, sebilah sabit mengayun. Setelah terpekik, anak lelaki itu kemudian mati seketika.
“Ia hanya seorang anak kecil, Mayor.”
Vander membantah perkataan Schera, namun gadis itu sama sekali tak peduli dan mengayunkan sabitnya untuk membersihkan darah pada bilah sabit itu. Matanya bergerak liar, seolah mencari korban selanjutnya.
“Kalau begitu, kenapa ia ada di medan perang? Jika kau ingin mendendam, dendamlah pada mereka yang menempatkan dirinya di sini.”
“Dia sudah tak bisa lagi bertarung-“
“Jika ia bisa mengangkat sebuah pedang, maka ia masih bisa bertempur. Lalu, ia akan menantangmu lagi. Apakah kau bukan seorang prajurit? Ataukah kau seorang suci? Kau kira kita sekarang sedang di gereja?”
“…!”
“Prajurit, berkumpul!! Kita akan menghancurkan musuh di Jembatan Sulawesi!!”
Atas perintah Schera, para pasukan kavaleri itu berkumpul dan mengarahkan kuda mereka ke Sulawesi.
.
.
.
“Kolonel, serangan musuh dari belakang! Ada satu unit kavaleri yang bergerak maju sambil membantai rakyat sipil!!”
“Apa katamu? Dari mana mereka muncul? Bukankah unit kavaleri musuh seharusnya sudah dikalahkan?!”
“T-tapi mereka sekarang ada di belakang kita! Musuh terlihat mengibarkan bendera berlatar hitam dengan motif seekor burung putih! Garis depan mereka dipimpin oleh seorang komandan yang membawa sebilah sabit besar!”
“Dewa Kematian yang menjadi rumor itu?! Baiklah, kita akan menghentikan mereka di sini. Apa pun yang terjadi, jangan biarkan mereka menembus barisan kita dan melewati jembatan ini! Kita akan menjadi bahan tertawaan jika mereka bisa lolos begitu saja!!”
Unit Kaveleri penyerang yang telah memporak-porandakan jalur perbekalan mereka. Pasukan yang dikenal dengan sebutan Maut. Ia sudah banyak mendengar tentang komandan mereka.
“Siap! Pasukan Infanteri! Susun barisan!! Kita akan menghalang Pasukan Maut!!”
Pasukan infanteri diutus ke pertengahan jembatan, dan membentuk barisan tombak. Tentu saja kavaleri memiliki kekuatan terjang yang sangat kuat, namun mereka sangat lemah terhadap barisan tombak yang disusun layaknya barikade. Mereka pastinya akan ragu untuk menerjang. Jika mereka mampu mengepung mereka pada saat-saat tersebut, maka tak ada yang perlu mereka takutkan.
“Barisan tombak, maju berdampingan!!”
“Tombak, bersiap!!!”
Para pembawa tombak itu, dengan semangat yang tinggi, mempersiapkan tombak mereka. Dari arah yang seharusnya merupakan kumpulan kawanan mereka, darah bercipratan, dan sekelompok pasukan yang janggal datang menerjang. Walaupun membentuk formasi kolom, mereka datang beriringan dalam satu barisan.
“UOOOOOOOOOOOOOO!!”
“Pasukan tombak! Majuuuu!!!”
Pasukan yang mengibarkan bendera hitam itu datang menghujam barisan tombak tanpa adanya keraguan. Mereka menghujamkan tombak mereka dari atas kuda, dan memutuskan untuk mencoba menggilas para pasukan tombak tersebut dengan memanfaatkan momentum mereka. Mereka maju tanpa sedikit pun merasa ragu.
Kuda dan penunggangnya terhujam oleh tombak. Secara bersamaan, mereka juga menjatuhkan pasukan infanteri musuh. Mereka yang terjatuh dari kudanya melompat dari Jembatan Sulawesi, memastikan bahwa mereka membawa pasukan musuh beserta dengan mereka. Pasukan Schera berhasil membuka jalur pada barisan musuh dengan mengorbankan sejumlah pasukan mereka.
Pada celah tersebut, Schera mengayunkan tombaknya dari atas kudanya. Katarina, yang telah menghabiskan kekuatan sihirnya, kini juga ikut mengayunkan pedang. Tentara dari Pasukan Pembebasan kini mulai didorong mundur. Mereka tak mampu menghentikan momentum musuh.
“Komandan mereka, bunuh Komandan mereka! Itu akan melemahkan momentum musuh! Bagaimanapun juga, hentikan mereka!”
“Kolonel, Anda maju terlalu jauh! Mohon mundur sedikit!”
Ajudannya berusaha menghentikan dirinya, namun sang Kolonel Pasukan Pembebasan itu melepaskan dirinya dari ajudannya dengan sekali empasan kapak perang. Ia berhasil memukul seorang pasukan kavaleri. Walaupun terluka parah, tentara itu masih berusaha untuk berdiri, maka dari itu, sang Kolonel harus memotong kepalanya. Benar-benar tekad yang luar biasa, ia merasa terkejut. Pasukan musuh kali ini benar-benar berbeda dari para Pasukan Kerajaan.
“Diam! Jika begini terus, mereka akan berhasil melewati Jembatan ini!! Dasar monster! Bagaimana mereka bisa mempertahankan kekuatan serangan mereka?”
“Kolonel, situasinya semakin berbahaya!”
“Kepung mereka dengan pasukan! Kalahkan mereka dengan jumlah!! Jangan berikan mereka kelengahan!!”
Kolonel itu memperkeras suaranya, berusaha untuk menyemangati pasukannya. Seorang pengendara kuda dengan baju zirah hitam berdiri dengan mencolok. Tak diragukan lagi, ia adalah komandan pasukan ini. Ketika Sang Kolonel menatap tajam komandan musuh tersebut, ia bertatapan mata dengannya.
Schera tersenyum layaknya seorang gadis kecil… dengan wajah yang bersimbah darah. Sang Kolonel seolah terhipnotis oleh Sang Maut.
“…ah.”
Sebuah sabit kecil menghujam wajah wang Kolonel yang tak mampu berkata-kata. Benda itu dilempar tanpa adanya aba-aba. Komandan Unit Pengecoh Pasukan Pembebasan ditumbangkan dengan sangat mudah. Tenggorokan sang ajudan yang berusaha menolong Komandannya, juga ikut menjadi korban lemparan sabit tersebut.
.
.
.
Markas David kini berada dalam kepungan musuh.
Laporan-laporan yang membawa berita buruk masuk silih berganti. Kondisi markas David kini juga berada dalam situasi yang genting. Ia menyiapkan pedang warisannya dan mempersiapkan mentalnya. Seorang bangsawan harus gugur dengan gagah berani.
“Yang Mulia, saya mohon, apa pun yang terjadi, Anda harus bisa kabur dari tempat ini! Kami akan membuka jalan bagi Anda menuju Belta!”
“Tak bisa. Jika aku kabur, kita akan dihancurkan dengan mudah. Jika aku harus kabur dan mati layaknya pengecut, lebih baik aku mati di sini! Aku masih punya harga diri sebagai seorang bangsawan!”
“N-namun! Belta!”
Jika David kabur, maka jelas pasukan yang ia pimpin akan dikalahkan.
Namun, dalam situasi ini, merupakan kewajiban Komandan pasukan yang kalah untuk menyelamatkan segelintir pasukan dan bergabung kembali ke markasnya, Belta. David mungkin memiliki harga diri, namun ia adalah Komandan yang sangat buruk. Untuk seorang David yang bertindak sebagai pimpinan pasukan bersama dengan pengawal elitnya, sebuah laporan kini masuk untuk yang kesekian kalinya.
“Yang Mulia!”
“Apa lagi! Apakah mereka berhasil melewati Sulawesi!?”
“B-bala bantuan! Bantuan dari pasukan kita telah datang!!”
“Omong kosong! Darimana mereka bisa datang!? Jangan bilang mereka meninggalkan Belta!!”
David tak cukup bodoh untuk meninggakan Belta dalam kondisi kosong. Ia telah mengirimkan pembawa pesan, dan dengan tegas memerintahkan agar mereka bertahan. Sejauh yang ia tahu, sangatlah tak mungkin bagi pasukan bantuan untuk datang dari area Belta.
“Tidak! Bantuan datang dari arah Jembatan Sulawesi!! Mereka dengan gagah berani menembus barisan musuh!”
Untuk beberapa saat, David mengira bahwa pembawa pesan itu sudah gila, begitu pula pikiran para Petinggi Staf Militer. Namun, ketika mereka melihat ke arah Sulawesi, situasinya cukup aneh. Pasukan yang sebelumnya terpukul mundur, kini berhasil bangkit kembali dan mendorong musuh. Pasukan musuh juga kini berbalik arah tanpa berhasil mencapai daratan.
“Siapa? Pasukan siapa yang datang? Apakah itu kavaleri Alexei?”
Dengan sangat bersemangat David mencondongkan tubuhnya untuk berusaha melihat lebih jelas. Suaranya serak akibat terlalu bersemangat.
Siapa? Siapa yang datang? Apakah pasukan Alexei berhasil bertahan? Apakah ini bantuan dari Ibu kota Kerajaan? Akan sangat sulit dipercaya, namun bukanlah tak mungkin bahwa mereka adalah pasukan wajib militer.
“Gagak putih pada bendera hitam!! Komandannya masih tak diketahui, namun mereka memporak-porandakan perkemahan musuh!!”
“Y-yang mulia, silakan gunakan ini.”
Seorang Petinggi Staf Militer memberikan sebuah teropong. Kualitasnya tak sebagus milik Kekaisaran, namun ia dapat melihat cukup jelas ke arah Sulawesi. David memerhatikan dengan seksama. Bendera hitam dengan emblem gagak putih. Ia belum pernah melihatnya sebelumnya. Ia juga tak mengingat lambang keluarga seperti demikian. Hitam juga merupakan lambang kesialan.
Ia melihat pasukan kavaleri yang membawa bendera itu. Mereka semua bertarung dengan keberanian, yang makin lama terlihat makin mengerikan. Mereka menginjak-injak musuh tanpa memedulikan barisan tombak di hadapan mereka.
Ia menatap komandan mereka yang benar-benar mencolok dengan sabit yang ia bawa. Ia menggunakan sebuah helm, namun ia terlihat mungil.
Wajah muda yang bersimbah darah. Ia adalah seorang gadis muda dengan senyum yang tak wajar, yangmengayunkan sabitnya ke arah musuh.
“I-itu S..Mayor Schera.”
Nama itu terlontar dari bibirnya, dan ia kehilangan kata-kata. Melihat cara bertarung yang mengerikan itu, ia sama sekali tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Gadis itu menghabisi musuh-musuh layaknya seorang veteran tua yang sangat berpengalaman. Ketika ia mengira bahwa mereka akan berhasil melewati Sulawesi, gadis itu kembali meneriakkan perintah, dan sekali lagi bergerak menyerang sisi sungai lainnya. Semangat pasukan musuh, yang sama sekali tak mengira bahwa posisi mereka akan berbalik, kini benar-benar hancur. Pasukan musuh yang telah kehilangan pemimpin, kini tak ubahnya sekumpulan pemula yang kabur demi menyelamatkan nyawa mereka, berusaha kabur dari sabit sang Maut. Mengikuti gadis itu dari belakang, sekelompok pasukan kavaleri yang dengan brutalnya membabat habis mereka. Sulawesi kini dipenuhi dengan darah segar.
“Y-yang Mulia David! Kita tak bisa membiarkan ini. Ambil pasukan kita yang ada di Jembatan dan alokasikan mereka ke sisi kita, dan berikan perintah untuk mundur! Hamba rasa kita tak mungkin melawan pasukan utama musuh dalam serangkaian pertempuran seperti ini!”
“……………”
“Yang Mulia! Mayor Jenderal David, Yang Mulia! Mohon keluarkan perintah Anda dengan segera!”
“Ah, Ya. Kuserahkan padamu. S-segera urus mereka.”
“Siap!”
Petinggi Petugas Militer itu mengeluarkan perintahnya pada para pimpinan pasukan. Dengan cara ap apun, mereka harus menghindari kehancuran total. Kini, mereka benar-benar putus asa.
“…I-itu adalah sang Maut. Tak salah lagi, sang Maut. A-apakah Yalder benar?”
Gemetar, David menatap lama sosok Schera yang sedang bertarung, seolah berupaya untuk mencerna pemandangan itu. Ia benar-benar lupa untuk memimpin pasukannya.
Setelahnya, pasukan yang diutus David untuk berjaga di tepi sungai dan jembatan berhasil dipindahkan ke sisi pasukan utama.
Pasukan Pembebasan yang menyerang mereka dari belakang merasa terkejut akan balasan yang diluar dugaan mereka. Pasukan yang berada di ambang kehancuran itu kini seolah mendapat kesempatan kedua dan berhasil bangkit kembali.
Pasukan Pembebasan yang menyerang dari belakang itu, walau disebut sebagai pasukan utama, kebanyakan hanya terdiri dari mereka yang mampu bergerak cepat. Mereka ditekan untuk mampu mengepung musuh, dan seharusnya mampu menghabisi musuh dengan kecepatan mereka. Setelah serangkaian pertempuran, mereka mulai kelelahan, dan kekuatan mereka menurun dengan drastis. Karena perbedaan stamina, korban dari Pasukan Pembebasan mulai bertambah.
Komandan Pasukan Pembebasan, Behrouz, yang merasa cukup, perlahan mulai menarik pasukannya. Ditambah lagi, ia menerima laporan bahwa banyak rakyat sipil dan wajib militer yang menjadi korban. Ia membutuhkan waktu agar kondisi mereka menjadi tenang.
David, yang berhasil lolos dari situasi itu, kini bergerak mundur kembali ke Belta. Pasukan yang kalah kini mulai bergerak pulang menuju Belta layaknya sungai yang mengalir terus menerus. Mereka semua merasa kelelahan.
Pasukan Kerajaan telah kehilangan banyak hal dalam pertempuran ini.
Tentara dari Pasukan Keempat yang berhasil selamat: 30.000.
Sepertiganya gugur dalam pertempuran, dan sisanya menyerah atau kabur.
Jembatan Besar Sulawesi, dan bahkan situs penyeberangan Alucia berhasil direbut oleh musuh. Setelahnya, kemungkinan besar Pasukan Pembebasan akan bergerak perlahan mendekati mereka, layaknya tali yang menjerat leher Pasukan Kerajaan.
David yang marah dan merasa malu, kini jatuh sakit akibat rasa cemas. Pertempuran Operasi Penyeberangan Alucia berakhir degan kekalahan telak bagi Pasukan kerajaan. Seiring dengan tenggelamnya matahari, hasil pertempuran ini mengabarkan ke seluruh penjuru, bahwa Kerajaan ini kini sudah tak lagi memiliki kekuatan untuk meringkus Pasukan Pembebasan. Pasukan Pembebasan yang memenangkan pertarungan, merekrut para prajurit yang menyerah ke dalam barisan mereka, dan meningkatkan kembali kekuatan tempur mereka.
Schera kembali dengan tanpa banyak bicara, membawa pasukan kavalerinya bersama dengannya. Setiap dari mereka bersimbah darah, namun mereka memasuki kastil itu dengan gagah dan bangga. Penjaga kastil yang mengiring mereka hanya bisa memerhatikan sambil menahan napas. Burung putih itu kini berwarna merah, entah berapa jiwa yang telah ia renggut.
Masih dengan baju zirahnya yang bersimbah darah, Schera bergegas menuju kafetaria. Ia mengambil makanan sebanyak yang ia bisa, dan bergegas menuju perkemahan di mana pasukannya tengah menunggu. Semua pasukan kavaleri yang bertahan hidup kini tersenyum sambil makan bersama dengan komandan mereka. Berhasil kembali dan makan bersama dengan pasukannya membuat dirinya merasa sangat senang.
Setelah memakan porsi tiga orang, Schera tertidur pulas dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Untuk para rakyat sipil yang menjadi korban, cerita mereka akan dikenal sebagai ‘Tragedi Jembatan Besar Sulawesi.’ Mereka dengan gagah menghadapi serangan kejutan sang Maut, bertempur dan gugur dengan gagah berani. Mereka merupakan pahlawan. Demi memperingati pengorbanan mereka, sebuah monumen raksasa didirikan demi menenangkan jiwa mereka di sisi Jembatan Besar Sulawesi.
-
- Bagian kepercayaan yang merupakan kepercayaan di luar agama-agama resmi. (Dalam cerita ini, lebih berupa pemujaan setan.).
.
.
Terjemahan ini milik Centinni
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/qHkcfMcKami juga membuka donasi via Gojek pay guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
- Bagian kepercayaan yang merupakan kepercayaan di luar agama-agama resmi. (Dalam cerita ini, lebih berupa pemujaan setan.).
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 14.2 - Makanan Yang Disantap Bersama Setelah Hari Yang Melelahkan Akan Terasa Lebih Enak (2)
Donasi pada kami dengan Gojek!
