The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 14.1
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 14.1 - Makanan Yang Disantap Bersama Setelah Hari Yang Melelahkan Akan Terasa Lebih Enak (1)
Jembatan Besar Sulawesi, Markas Pasukan Pengalihan David.
Mengira bahwa mereka telah sukses menghambat pergerakan pasukan musuh, suasana hati David menjadi sangat senang. Dengan tenang ia duduk di kursinya dan menunggu berlalunya waktu sambil menenggak manisan cuka apel. Tak ada pertempuran yang senyaman ini. Hanya dengan mempertahankan formasi, kemenangan ada di tangan mereka.
“Hmph, Pasukan Pembelot itu sama sekali bukan apa-apa. Dasar Yalder, bisa-bisanya direpotkan oleh manusia-manusia seperti ini. Dia tak akan pernah dipanggil sebagai Jenderal Pemberani lagi.”
“Benar,Yang Mulia, Jenderal Yalder bermental lemah. Dia mendapat apa yang sepantasnya ia dapatkan.”
“Kali ini, tak akan ada ampun bagi mereka. Kita akan lanjut menuju Antigua, lalu Benteng Salvador akan segera jatuh ke tangan kita. Kita akan menghabisi semua dari mereka yang tersisa. Kita juga harus membabat mereka yang bekerja sama dengan mereka. Agar hal seperti ini tak terjadi lagi, kita harus memangkas orang-orang seperti mereka hingga ke akar-akarnya.”
David menancapkan pisaunya tepat di benteng Pasukan Pengkhianat yang ada di peta.
“…. Namun, mereka sama sekali tak menunjukkan adanya pergerakkan. Walaupun kita sudah berhadapan dengan mereka selama tiga hari. Mereka juga sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan merubah haluan. Apa mereka berencana untuk meninggalkan Antigua?”
“Mereka pasti takut akan adanya pasukan pengejar jika mereka mundur. Pada akhirnya, mereka hanyalah sekelompok manusia remeh. Mereka tak bisa maju, tak bisa pula mundur, walaupun mereka musuh, aku tetap merasa kasihan pada mereka. Sayangnya mereka tak pantas untuk diberi simpati,” ujar David dengan penuh percaya diri untuk membalas perkataan staf militernya.
“Selama kita menunggu, mungkin pasukan utama kita hampir tiba di Antigua. Kurasa, saat ini mereka tengah dalam pengepungan. Atau mungkin, kastil itu sudah jatuh ke tangan kita.”
“Mereka benar-benar bodoh. Pasti sekarang mereka telah menyadari apa yang terjadi pada kastil mereka. Bagaimana jika kita mengikatkan surat pada sebuah anak panah untuk memberitahu mereka? Mereka akan mengira ini tipuan, tapi sebenarnya benar, hah. Ketika mereka sadar, semua sudah terlambat, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan!”
Ketika David tertawa dengan keras, Pimpinan Petinggi Militer yang melayaninya ikut tersenyum. Kemenangan sudah di depan mata. Ia hanya tinggal menunggu kabar jatuhnya Kastil Antigua. Jika musuh di depan mereka memutuskan untuk bertahan, maka mereka akan diimpit dari dua arah.
Momentum musuh akan tertahan, dan jika mereka memutuskan untuk mundur menuju Benteng Salvador, maka mereka akan dikejar. Setelah itu, tinggal membereskan mereka saja, dan tentunya itu adalah momen terbaik untuk memanen bintang jasa.
gilas, rampas, lalu bantai. Itu adalah hasrat para pasukan. Petugas militer pastinya juga dipenuhi dengan semangat. Pintu kemenangan akan segera terbuka.
Tiba-tiba, suara terompet menggema memenuhi Sulawesi, yang kemudian diikuti drum dan simbal.
“Jadi mereka melakukannya juga. Biarkan mereka memainkannya, ini akan menjadi hiburan yang bagus.”
“…? Tidak, mereka belum diberikan perintah untuk berpura-pura menyerang.”
Seorang petinggi militer menyuarakan kesangsiannya, namun ia sama sekali tak dihiraukan. Karena pasukan mereka tak akan bergerak, mereka sama sekali tak perlu pusing dengan peraturan militer.
Sesaat kemudian, seorang pembawa pesan datang ke markas David membawa sebuah laporan.
“Maaf, Yang Mulia!”
“Ada apa?”
“Siap, Pasukan Pembelot yang sedang berhadapan dengan kita saat ini tengah bergerak. Pasukan musuh yang sebagian besar terdiri dari infanteri kini tengah menyeberangi Jembatan Besar Sulawesi!”
“Hmph, tipuan sia sia. Apakah ini langkah putus asa mereka? Sepertinya mereka memohon agar kita hancurkan.”
David menenggak sisa cuka apelnya dengan perasaan bingung.
“Yang Mulia, Anda tak perlu khawatir. Kita tunggu saja dan hujani mereka dengan panah. Saya rasa mereka hanya mengetes kita. Jika kita menyerang, mereka akan segera mundur.”
“Kuserahkan padamu Kepala Petugas Militer. Kuizinkan kau untuk sedikit menyerang mereka. Yang penting, jangan mengejar mereka terlalu jauh. Kita sama sekali tak perlu kehilangan pasukan dengan sia-sia.”
“Siap! Serahkan saja pada hamba, saya akan segera mengusir mereka.”
Petinggi Pasukan Militer itu segera memberi perintah, dan pembawa pesan itu bergegas kembali ke garis depan.
Lalu, pembawa pesan lain masuk dengan tergesa-gesa. Berbeda dari sebelumnya, wajah pembawa pesan ini tampak pucat dan panik.
“M-maaf tuan, mohon izinkan hamba!”
Wajahnya tercoreng lumpur dan keringat. Tubuhnya dipenuhi luka, dan napasnya terengah-engah. David mencemooh penampilan pembawa pesan itu sebelum ia bisa bicara.
“Kau adalah pembawa pesan Pasukan Kerajaan yang Agung. Dengan penampilan seperti itu, apa kau bisa membawakan informasi dengan akurat?”
“Y-Yang Mulia, b-berita buruk!”
“Dasar bodoh, tenanglah dulu! Kau terlalu berisik, memangnya ada apa!?”
“Divisi Pertama yang menyerang A-Antigua telah kalah! Mayor Jenderal Alexei gugur dalam pertempuran! Kavaleri Penyerang Bagian Depan sama sekali tak bersisa!”
Mendengar ucapan pembawa pesan itu, seluruh ruangan menjadi sunyi. Tak ada seorang pun yang mampu bicara. Pembawa pesan itu pun melanjutkan laporannya.
“Divisi Kedua yang telah menyeberangi sungai tiba-tiba saja diserang dan mereka tak mampu kabur karena kepungan musuh dan sungai yang ada di belakang mereka! Saat ini mereka telah dikepung, dan mereka telah kehilangan lebih dari separuh pasukan mereka. Saat ini mereka yang tersisa sedang mencoba untuk kabur!!”
“J-jangan bercanda! Hal seperti itu tak mungkin terjadi!! Cek sekali lagi! Bukankah pasukan utama musuh tepat berada di depan kita!?”
David melempar gelas yang ada di tangannya. Namun, laporan itu masih jauh dari usai.
“Pasukan musuh telah merekonstruksi jembatan ponton yang kita gunakan dan mengalahkan Divisi Ketiga. Sekarang, mereka dalam perjalanan menuju ke sini!!”
Mereka menghabisi Divisi Pertama, menghancurkan Divisi Kedua, lalu memperbaiki jembatan ponton. Divisi Ketiga yang bersiaga di sisi lain sungai akhirnya harus menghadapi mereka. Divisi Ketiga yang sebagian besar terdiri dari persenjataan berat dan iring-iringan perbekalan sama sekali tak bisa menandingi pasukan musuh yang sepenuhnya terdiri dari pasukan militer, dan akhirnya dikalahkan oleh musuh.
Setelah berhasil menyeberangi sungai Alucia, pasukan utama dari Pasukan Pembebasan sama sekali tak mengacuhkan Belta, dan bergerak menuju Jembatan Besar Sulawesi. Mereka sama sekali tak memiliki persiapan untuk mengepung Belta, namun Jembatan Besar Sulawesi merupakan titik strategis yang perlu mereka kuasai. Jika mereka berhasil, maka sama saja mereka telah menguasai Belta.
“Bohong. A-aku tak bisa memercayainya. Ini berita bohong. Tidak, ini pasti muslihat musuh!”
David berdiri, tubuhnya gemetar ketakutan. Wajah para petugas militer yang ada di ruangan itu memucat. Jika berita ini benar, berdiam diri di sini akan jadi sangat berbahaya, karena pasukan musuh yang menyeberangi sungai kini bergerak tepat menuju ke posisi mereka. Mereka akan terjepit.
“Yang Mulia, pasukan garis depan mulai menghadapi musuh di Jembatan Sulawesi, dan banyak dari mereka mencoba menyeberangi sungai dengan kapal feri!”
“Tembak mereka dengan panah!! Jangan biarkan mereka mendekat!!”
“Siap!!”
“Yang Mulia, kita harus menarik pasukan dari Belta dengan segera. Jika begini, tinggal menunggu waktu hingga kita dikepung musuh.”
“Diam! Lanjutkan strategi kita! Sebentar lagi, kabar bahwa Antigua berhasil direbut akan mencapai kita, pasti! Mengikuti berita bohong ini akan membuat kita jatuh dalam perangkap musuh, bukan? Aku tak akan termakan tipuan mereka!”
David menendang mejanya. Pasukan keempat masih bertahan dengan kuat. Ia hanya bisa percaya akan hal itu. Musuh mereka hanyalah sekelompok pasukan tak terorganisir; kekalahan bukanlah hal yang mungkin terjadi. Fakta bahwa ia, David, akan dikalahkan musuh adalah hal yang tak mungkin terjadi.
“Lapor! Sejumlah besar pasukan musuh terlihat di selatan. Mereka mengibarkan bendera Pasukan Pembelot! Kita diserang dari belakang!”
Suara genderang yang memekakkan telinga terdengar. Dari kejauhan, terdengar suara derapan langkah kuda.
Waktu, bagi David, terasa berhenti.
.
.
.
Jembatan Besar Sulawesi, Perkemahan Pasukan Pembebasan.
Setelah mengonfirmasi jalannya pertempuran, seorang Jenderal berambut perak itu berkali-kali mengangguk.
Ia adalah komandan yang memimpin sekelompok orang yang selama ini dikira David adalah sekelompok pasukan musuh.
“Sejak awal tak mampu menyadari tipuan musuh, sungguh menyedihkan.”
“Sangat sial menjadi mereka. Seluruh strategi mereka sudah diketahui musuh, hanya dilihat dari petinggi militer mereka saja, kita sudah tahu mereka sungguh gila. Memikirkannya saja membuatku merinding.”
“Dengan mempertimbangkan hal itu, merekalah pastinya yang telah membuat strategi itu. Fakta bahwa mereka tak memahami pasukan kita adalah buktinya. Mereka akan dikalahkan sesuai rencana,” ujar seorang Kolonel.
“Perkataan Kolonel menyakitkan telinga. Walaupun moral kita cukup tinggi, kita agak kurang percaya diri terhadap kemampuan kita, maka…”
Pasukan pengecoh ini merupakan kumpulan dari 10.000 orang pasukan biasa, 5.000 pasukan wajib militer, dan sisanya merupakan rakyat sipil yang mengajukan diri. Karena bendera dan orang-orangan jerami yang didandani, jumlah mereka kini terlihat seperti tiga atau empat puluh ribu.
“Namun, kita tak bisa memenangkan perang hanya dengan kemampuan. Semangat pasukanlah yang pada akhirnya akan menentukan. Mereka harus memiliki semangat untuk menang; mereka bukanlah apa-apa tanpa semangat itu. Tak peduli bagaimana mereka menyusun siasat, atau seberapa lihainya komandan mereka.”
“Tentu saja. Kita memiliki idealisme yang harus direalisasikan. Kita tak akan kalah dengan gerombolan manusia seperti orang-orang kerajaan yang busuk itu.”
“Itu namanya semangat. Tulang-tulang renta ini sudah mulai lelah.”
Komandan itu menggosok pinggangnya dengan bercanda. Mendengar perkataan atasannya, ajudan itupun tersenyum getir.
“Kami akan bekerja untuk Anda hingga akhir, Kolonel.”
Pertunjukan konyol dua pasukan pengecoh yang saling bertatap muka itu akan segera berakhir. Mereka dengan agresif menyeberangi sungai itu menggunakan jembatan dan feri kecil. Pasukan utama mereka akan menyerang dari belakang. Situasi kini sudah berbalik, dan menghancurkan perkemahan musuh hanya tinggal masalah waktu.
Pertahanan dan perlawanan di Sulawesi cukup imbang, namun perbedaannya terletak pada fakta bahwa pasukan musuh akan ditekan dari dua sisi. Hanya tinggal satu dorongan, dan musuh yang kini dilanda kepanikan akan disingkirkan dengan mudah, dan mereka akan mengambil alih kepemilikan Sulawesi. Mereka sudah cukup merusak pertahanan musuh, dan tak lama lagi, Kastil Belta juga kemungkinan besar akan jatuh.
Komandan yang telah berumur itu mengenang wajah lelaki muda yang membuktikan dirinya di medan perang, wajah sang pahlawan yang memanggul masa depan kerajaan di pundaknya. Ia adalah seorang lelaki yang akan memenuhi mimpi mereka tanpa kenal menyerah. Ia berpikir, apakah ia akan dapat menyaksikan terwujudnya mimpi itu dengan matanya sendiri.
“…Kau tahu, kudengar Letkol Fynn kembali berhasil merebut kepala komandan musuh. Performa yang luar biasa, seperti biasanya. Bendera Singa itu sepertinya bukanlah hanya sebatas hiasan.”
Ia telah memporak-porandakan pasukan kavaleri musuh, dan merampas kepala Mayjen Alexei. Ia berinisiatif untuk mengejar sisa pasukan Divisi Kedua musuh.
“Sebentar lagi, ia, Letkol Fynn, akan menjadi pahlawan dalam perang ini, saya berani bertaruh. Namanya juga mulai naik daun diantara para pasukan. Jika ia mendapat promosi lagi, maka ia akan seimbang dengan Anda.”
“Putri Altura dan Letkol Fynn. Dengan ini, reputasi para orang tua akan hancur. Hmph, kita tak boleh kalah dengan mereka yang muda. Kita hanya perlu menunjukkan pada mereka bagaimana berbedanya pengalaman antara kita dan mereka dalam medan perang, bagaimana menurut Anda?”
Sang Komandan itu menghela nafas dan berdiri. Walaupun berumur, ia masih dapat menggerakkan tubuhnya dengan leluasa. Ia mengambil kapak perangnya dan mengayun-ayunkannya sebagai pemanasan.
“Sang Kolonel masih bisa melayani negara… jika begini, bukankah sudah waktunya bagi kita untuk melancarkan serangan penuh?”
“Baiklah! Pindahkan pasukan penjaga garis belakang ke depan. Katakan pada para rakyat sipil yang bergabung dengan kita untuk mundur. Hasil pertempuran ini sudah jelas. Yang tersisa hanyalah menyerbu mereka. Kita akan merebut kepala musuh, dan mempersembahkan pertempuran ini pada Putri Altura, bagaimana menurutmu?!”
“Siap, Laksanakan!”
.
.
.
Pasukan Pembebasan, Pasukan Pengecoh Jembatan Sulawesi, memulai serangan.
Pertempuran ini harusnya akan selesai dengan satu serangan ini.
20.000 orang pasukan David berhasil dihancurkan dari depan, dan mereka telah dilanda kepanikan. Mereka kalah jumlah, kalah kemampuan memimpin, dan pasukan mereka sama sekali tak punya semangat bertempur. Karena mereka adalah unit gabungan yang disatukan tanpa adanya persiapan, kerja sama antar unit berada dalam kondisi yang menyedihkan. Saat ini, pasukan itu akan hancur dalam beberapa saat lagi, dan Pasukan Pembebasan akan dengan mudah menyingkirkan mereka.
Semua Jenderal Pasukan Pembebasan yang hadir di tempat itu menunggu kemenangan mudah bagi Pasukan Pembebasan. Pertempuran ini seharusnya telah lama berakhir.
Hingga di belakang seorang rakyat sipil yang mengembuskan nafas lega akibat suasana kemenangan ini, muncul seekor burung putih pembawa kabar petaka. Adalah sebuah pasukan yang berderap dengan kecepatan yang luar biasa, dalam barisan yang sempurna dan tak satu pun yang keluar dari barisan, yang muncul tanpa diundang. Para rakyat sipil itu memandang mereka dengan tersenyum. Itu merupakan bantuan dari Benteng Salvador. Mereka melambaikan tangan dan menyapa mereka. Seseorang bahkan bersorak. Mereka mengaitkan tangan mereka dan tertawa.
Orang-orang yang tak lagi tertindas ini, tersenyum dengan sepenuh jiwa.
Mereka akhirnya bisa bebas, dan mereka merasa puas.
Hingga akhirnya, sebuah sabit raksasa yang berlumuran darah, mengayun dengan tanpa kenal ampun ke arah mereka
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 14.1 - Makanan Yang Disantap Bersama Setelah Hari Yang Melelahkan Akan Terasa Lebih Enak (1)
Donasi pada kami dengan Gojek!
