The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 12.1
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 12.1 - Sosis Usus Domba, Entah Mengapa, Enak Juga (1)
Jenderal David, yang telah selesai menggabungkan Pasukan Ketiga ke dalam Pasukan Keempat, dengan segera menyusun rencana untuk merebut kembali Antigua. Menghancurkan Pasukan Pengkhianat itu telah menjadi tujuan utama bagi David. Pasukannya cukup untuk melakukan tugas ini. Persediaan berlimpah, sebagai akibat dari transportasi yang berjalan lancar. Jika mereka ingin melancarkan serangan, maka inilah waktu yang tepat. Terlebih lagi, musim panen sudah di depan mata. Sebelum hasil panen itu dijamah oleh para pengkhianat itu, ia ingin dengan segera merebut kembali hak atas tanah tersebut. Merebut kembali Padang Altura menjadi lebih penting dan mendesak dibandingkan dengan situasi finansial mereka yang ketat.
Dalam ruang konfrensi yang panas dan pengap akibat cerahnya matahari di musim panas, para Petinggi Militer Pasukan Keempat berdebat dengan sengit. Agar opini mereka diterima, demi mencari perhatian komandan mereka, bisa dibilang, mereka terlihat cukup panik.
“Ketika pasukan seseorang berjumlah lebih banyak, serangan langsung merupakan cara yang paling mudah. Pertempuran pengecut dengan mengandalkan tipu muslihat sangatlah tak cocok bagi orang seperti Yang Mulia.”
“Itulah yang dikatakan oleh Yalder, dan lihat, ia telah dikalahkan dengan telak. Kita harus merancang rencana yang jelas dan tidak bertindak gegabah.”
“Yang terpenting adalah, bagaimana cara kita untuk menyeberangi Sungai Alucia. Sangatlah berbahaya bagi pasukan berjumlah besar untuk menyeberangi sungai yang begitu lebar dan dalam. Kita akan dengan mudah diserang. Di sisi lain, Belta dan Antigua terhubung oleh jembatan ini. Tapi menyeberangi Jembatan Besar Sulawesi juga memiliki bahaya tersendiri.”
Ia menunjuk sebuah tempat yang tergambar dalam peta. Terdapat titik lalu lintas penting, dimana keramaian dapat selalu terlihat, dan para selalu melintas. Pada saat ini, ketika Kerajaan dan Pasukan Pemberontak saling berhadapan, hampir tak ada pedagang yang melewati dan menggunakan jalur itu. Terdapat sebuah metode yang membuat mereka harus merelakan sejumlah uang lebih, namun keamanan mereka akan jauh lebih terjamin. Metode itu, adalah melewati jalur sungai menggunakan sebuah feri.
“Sangat tak masuk akal bagi kita untuk menggunakan jembatan itu. Jembatan itu hanya bisa dilewati oleh satu kompi pasukan dalam sekali jalan. Mereka akan dengan mudah dikalahkan oleh para musuh yang telah menunggu di sisi lain.”
“Lalu, bagaimana jika kita menyeberangi sungai itu dengan paksa? Kita akan menerobos dengan sekali dorong. Beberapa korban tak mungkin dihindari. Kita tak bisa mengikuti sebuah pertempuran dengan perasaan takut akan jatuhnya korban. Kita akan memberdayakan seluruh Pasukan Keempat dan menyeberangi sungai itu. Kita telah lama berlatih untuk ini.”
Dengan penuh percaya diri ia menyebarkan beberapa bidak pasukan di sekitar Sungai Alucia. Kekuatan dalam jumlah, merupakan dogma utama mereka.
Dengan decakan, Petinggi Militer lain mengambil bidak yang melambangkan Pasukan Pembebasan, dan menempatkannya pad peta itu. Dari posisi bidak itu, tampak bahwa pertahanan Pasukan Kerajaan terbuka dengan lebar dan dapat ditembak mati dari ketinggian oleh Pasukan Pembebasan.
“Tak mungkin musuh kita akan duduk dan menonton dengan tenang selagi kita menyeberangi sungai itu. Kembali saja kau ke sekolah militer dan ulang kembali dari awal. Apa yang kau pikirkan? Aku benar-benar penasaran dengan isi kepalamu yang tolol itu. Tak ada bedanya antara kau dan Yalder.”
Mendengar cemoohan itu, ia tak bisa lagi menahan amarahnya.
“Kekuatan dalam jumlah. Setelah itu, berserah pada petunjuk Tuhan dan keberuntungan. Kita sedang memperhitungkan, bagaimana caranya kita bisa menyiapkan pasukan dengan jumlah yang lebih banyak dan bisa langsung siap bertempur. Selain itu, kita juga telah meningkatkan jumlah pasukan kita. Jika seperti ini, kita harus melancarkan serangan langsung. Aku tak melihat kegunaan menyusun strategi cerdik, tak ada gunanya.”
Pria ini baru saja ditunjuk menjadi seorang Petinggi Staf Militer. Awalnya, ia adalah bekas seorang Petinggi Militer, dan entah takdir apa yang membawanya ke tempat ini. Tentunya ia memiliki kepribadian dan pola pikir yang tak cocok sebagai seorang Petinggi Staf Militer.
“Kita perlu mendengar opini lain.” Mendengar satu kalimat dari Komandan Korps, suasana kembali tenang. Pangkatnya sebagai Petinggi Staf Militer hanyalah untuk mengelabui, dan tugas aslinya adalah sebagai pengawal bagi David. Ia adalah orang yang keras kepala, namun lihai dalam berpedang. Petinggi Staf Militer lain terpaksa menurut, mengira bahwa ini adalah kemauan David.
“Hentikan omong kosong ini. Kita sebagai Petinggi Staf Militer bertugas untuk memikirkan bagaimana caranya mengurangi korban di pihak kita, dan membawa unit kita pada kemenangan. Itu, dan hanya itu. Dalam aspek ini, kita bertarung dengan otak, bukannya otot. Pola pikirmu tak berbeda dari seorang Petinggi Militer, dan sangat tak cocok bagi seorang Petinggi Staf Militer. Jangan kau ulangi lagi kesalahan itu. Bagaimanapun juga, menyeberangi sungai itu sepertinya tak mungkin, Yang Mulia. Jika mereka menyerang kita ketika kita tak siap dan kecepatan barisan yang tak optimal, tentunya kita akan menjadi mangsa yang mudah ditaklukan.”
Setelah mendisiplinkan mantan petinggi militer yang sekarang menjadi Petinggi Staf Militer, ia menginformasikan kepada David bahwa menyeberangi sungai itu sangatlah tidak dianjurkan. David yang sedari tadi duduk di mejanya menyortir dokumen, meraih air minum yang ada di hadapannya. Pengawal sekaligus Petinggi Staf Militer itu merasa kurang setuju dengan perilaku atasannya itu.
“Baiklah. Pertukaran pendapat ini sangat menarik. Sangat mengesankan bisa duduk di sini dan mendengar perbedaan pola pikir antara Petinggi Militer dan Petinggi Staf Militer. Jadi, bagaimana jika kita menggabungkan kedua opini itu?”
David tersenyum, dan para Petinggi Staf Militer bertukar pandang dalam bingung
“Jadi… Tuan… Maksud Anda?”
“Kita akan menggunakan strategi yang mereka gunakan. Ketika kita berpura-pura menyerang, kita akan bertahan. Kita buat mereka mengira kita tidak akan melakukan sesuatu, padahal kita lakukan. Kita menyembunyikan jumlah kita, namun kenyataannya jumlah kita berbeda. Bukankah ini taktik dasar yang kalian pelajari di akademi militer? Apakah Anda semua terlalu sibuk hingga melupakannya?”
David meletakkan sebuah bidak di Jembatan Besar Sulawesi, lalu bidak lainnya digerakkan pada titik dimana Sungai Alucia memiliki kedalaman yang relatif dangkal. Lalu ia menggerakkan bidak itu ke arah Kastil Antigua.
“Begitu. Jadi pasukan yang berada di Jembatan Sulawesi berlaku sebagai umpan. Jika begitu, maka tak masalah. Seperti yang saya dengar, kebijaksanaan Tuan David benar-benar membuat saya terkesan.”
“Kurasa ini akan menjadi rencana yang sangat efektif. Mereka akan memperkuat formasi di sisi lain sungai, dan pada jangka panjang, membuat penjagaan Antigua melemah.”
“Jika mereka memperketat penjagaan di Antigua, kita bisa dengan mudah melewati sungai itu,” puji para Petinggi Staf Militer itu, dan yang lainnya menganggukkan kepala mereka tanda setuju.
“Lalu, bagaimana kita akan menyeberangi sungai itu? Persenjataan berat akan dibutuhkan demi menembus pertahanan Antigua, benar? Selain itu, alur suplai juga dibutuhkan untuk mempertahankan pasukan dengan jumlah besar. Tak mungkin kita bisa menyeberanginya begitu saja.”
Pengawal sekaligus Petinggi Staf Militer itu memainkan sebuah bidak berbentuk kereta dorong. Persenjataan berat, pelantak, tangga pengepungan, dan pelontar batu pada saat ini sedang dalam persiapan. Mereka masih membutuhkan sejumlah banyak persenjataan itu, untuk dapat meruntuhkan tembok Antigua. Jika seperti ini, akan sulit bagi mereka untuk dapat menyeberangkan persenjataan itu.
“Persenjataan berat dapat kita susun setelah menyeberangi sungai. Tentu saja, pasukan ahli mesin akan kita gerakkan. Tentang bagaimana kita akan menyeberangi sungai itu, kita tinggal membuat jembatan ponton. Kita jauh-jauh membawa benda itu untuk momen ini.”
Petinggi Staf Militer meletakkan potongan kayu kecil di titik tempat mereka akan menyeberangi Sungai Alucia. Rakit kecil akan dijajarkan dan diikat satu sama lain, menciptakan sebuah jembatan instan. Ketahanan jembatan itu mungkin agak meragukan, namun akan cukup hingga mereka bisa menyeberangi sungai itu.
“Begitu… kalau begitu, sepertinya rencana ini akan berjalan lancar.”
Pengawal itu akhirnya mengangguk setuju. Ketika Pengawal itu memikirkan bagaimana ia harus menjelaskan rencana ini pada para petugas lapangan, ia mulai merasa mual. Namun, kesulitan ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan hasil yang akan dirinya dapatkan. Jika ia bekerja dengan keras, ia akan dipindahkan ke pekerjaan bergaji buta seperti para Petinggi Staf Militer Pasukan Ketiga.
Ia meluruskan kembali pikirannya, berdiri dan merangkum isi pertemuan tersebut.
“Pertama, kita akan mengutus pasukan ke Jembatan Besar Sulawesi, memancing pasukan utama musuh, dan mengunci mereka di tempat. Malam harinya pada hari yang sama, kita akan mengutus pasukan konstruksi, membangun jembatan ponton di area penyebrangan sungai yang telah ditetapkan. Fajar, kita mulai bergerak. Unit kavaleri bertindak sebagai divisi pertama akan menyeberangi sungai, menginjak dan menghancurkan penjagaan musuh. Divisi kedua yang terdiri dari pasukan infanteri akan membangun markas pendaratan di bibir sungai, lalu bergerak menuju Antigua. Divisi ketiga akan menjadi saluran utama perbekalan, persenjataan berat, serta para pekerja. Ada tambahan, Yang Mulia?”
David menggelengkan kepala, dan Petinggi Staf Militer lain menunjukkan persetujuan mereka.
“Baik. Unit pengecoh yang ditempatkan di Jembatan Besar Sulawesi akan memenuhi bibir sungai di area itu sambil membawa bendera mereka. Lalu, mereka akan bergerak seolah-olah akan menyeberangi sungai… Tidak, mungkin itu tak akan cukup. Aku juga akan mengambil formasi berperang di dekat Jembatan Besar. Jika bendera komandan Pasukan Kerajaan dikibarkan, maka mereka akan semakin yakin bahwa unit pengecoh itu merupakan pasukan utama kita,” kata David, dan para Petinggi Staf Militer itu kembali saling bertukar pandang. Walaupun bertindak sebagai pengecoh, hal ini tidak mengubah fakta bahwa lokasi itu akan menjadi area yang paling berbahaya.
“Yang…Yang Mulia, apakah Anda juga akan berangkat ke garis depan? Walaupun sebagai unit pengecoh, bahaya akan tetap selalu menyertai mereka.”
“Tentu saja. Mereka yang pantas mengemban kebangsawanan haruslah menunjukkan otoritas mereka dan berdiri dengan gagah di garis depan, di depan para rakyat jelata. Jika komandan pasukan sendiri merasa takut, para pasukan tak akan mengikuti. Itulah perang. Seperti apa yang dikatakannya tadi, kita tidaklah boleh bertindak seperti pengecut,” balas David.
Sangatlah sulit menggantikan kebanggaan sebagai bangsawan dengan nyawa mereka sendiri. Sebagai orang militer, ia akan mencurahkan segala yang ia miliki untuk kerajaan, terlebih lagi jika jabatan yang dipertaruhkan. Itulah pemikiran yang dimiliki David.
“Tekad gigih Yang Mulia sangat mengagumkan. Kami semua bersumpah untuk selalu setia pada Anda.”
“Aku mengharapkan kerja yang bagus dari kalian.”
“Siap. Serahkan pada kami.”
“Kami pasti akan mengantarkan Anda pada kemenangan.”
Demi menjaga keselamatan David, Pimpinan Petinggi Staf Militer mulai menyusun rencana untuk menyempurnakan strategi mereka. Komandan yang terbunuh adalah kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.
“Melihat pasukan utama musuh, sepertinya sangatlah tak mungkin bagi mereka untuk menyeberangi sungai. Namun, jika saja seandainya mereka menyeberangi sungai melalui Sulawesi, kurasa kita harus mengepung dan meringkus mereka. Jika mereka memaksa untuk menyeberangi sungai, kita akan menyambut mereka di bibir sungai. Kita juga akan memanggil bantuan dari Belta jika hal ini terjadi. Ini merupakan pertimbangan lebih jauh, oleh karena itu, kita perlu mengutus sebanyak 10.000 pasukan untuk menjadi pasukan pengecoh di Sulawesi.”
“Pasukan elit dari unit kita akan diturunkan untuk melindungi Yang Mulia bersama dengan pengawal Yang Mulia David. Kita harus memastikan kesempurnaan rencana ini.”
“Jika mereka mengikuti perintah Yang Mulia David, bukankah seharusnya tak akan ada masalah?”
Pengutusan pasukan infanteri ter elit di seluruh pasukan kerajaan, mereka akan terlihat seolah berkekuatan sebanyak 30.000 orang dengan menggunakan boneka jerami yang akan dirias sedemikian rupa dan mengenakan seragam dan baju zirah Pasukan Kerajaan serta mengibarkan bendera kerajaan. Mereka merupakan pasukan cadangan dan membuat seolah mereka adalah pasukan bantuan. Mereka akan mengunci pergerakan pasukan musuh, dan memainkan peranan terpenting dalam peperangan ini. Kepemimpinan sang komandan akan diuji dalam perang ini.
“Benar. Misalnya, jika pasukan utama musuh tiba-tiba berubah arah, kita akan menyeberangi jembatan itu dan menyerang punggung mereka mengikuti aba-aba komandoku. Pasukan musuh mungkin akan dapat kita ringkus akibat terjepit oleh pasukanku dan pasukan yang menyeberangi sungai. Bukankah ini bisa dibilang sebuah kemenangan yang pasti bagi kita?”
David mengangguk dengan yakin. Operasi ini sudah ditentukan –Operasi Penyebrangan Alucia- Tentunya ini akan menjadi sebuah legenda dalam sejarah Kerajaan. Mungkin ini akan menjadi catatan militer yang luar biasa tentang David. Jalan menuju Panglima Tinggi akan terbuka lebar baginya. Tanpa sadar, ia tersenyum memikirkan masa depannya yang cerah.
.
.
.
Terjemahan ini milik Centinni
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/qHkcfMc
Kami juga membuka donasi via Gojek pay guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 12.1 - Sosis Usus Domba, Entah Mengapa, Enak Juga (1)
Donasi pada kami dengan Gojek!
