The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 11.1
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 11.1 - Rela Mati Demi Kenikmatan Absinthe (1)
Ketika upacara penyambutan ‘Yang Mulia David Sang Penerus Panglima Tinggi’ berlangsung di ruangan VIP Kastil Belta:
Schera bersama dengan pasukan kavalerinya sedang mengemban tugas terpenting yang pernah diberikan kepada mereka oleh Utusan Tertinggi Belta. Bendera Pasukan Ketiga yang telah mencoreng dan mengundang kekalahan demi kekalahan bagi Kerajaan, diperintahkan oleh Pasukan Keempat untuk dibuang dan diganti dengan bendera agung Pasukan Keempat.
Dengan kata lain, ini adalah hinaan dari Pasukan Keempat bagi Schera. Menurut petugas yang memerintahkan mereka, “Kalian sangat cocok untuk tugas serabutan seperti ini.” Perlakuan ini tak hanya diterima Schera, namun juga seluruh personil Pasukan Ketiga.
Tak mungkin seseorang bisa menyatukan pasukan yang berasal dari Utara dengan mereka yang sejak awal ditugaskan untuk mempertahankan Belta dan Antigua. Sejak awal, mereka membenci satu sama lain, dan perkelahian selalu terjadi akibat perdebatan konyol. Oleh karena itu, walaupun mereka hanya melepaskan bendera dari pasak-pasaknya, ejekan dan hinaan dapat terdengar di mana-mana. Melihat bendera Pasukan Ketiga menggunung layaknya tumpukan sampah, Vander mulai mengomel.
“Haruskah aku menjadi pengrajin, seorang perajut bendera? Sedari tadi kerjaanku hanya melipat bendera.”
Ia mengambil sebuah bendera dari tiangnya, kemudian menggantikannya dengan bendera baru. Ia merasa hampir pingsan karena muak dengan tugas repetitif itu.
“Gerakkan tanganmu, bukan mulutmu. Masih ada ratusan bendera lagi yang harus kita ganti.”
“Ya…. kurang lebih, 1000, mungkin?”
“Ahh, aku lapar. Sehat sekali, berjemur dibawah sinar matahari yang cerah. Apa kalian sudah membawa bekal yang nikmat?”
“Tak ada, Mayor. Tapi, kurasa Yang Mulia Jenderal David punya banyak makanan. Makanan mewah bertumpukan seperti gunung. Mereka pasti sedang melakukan pesta makan yang megah.”
“Letnan Dua Vander, maukah kau ke sana dan mengambilkanku beberapa makanan?”
“Mohon maaf, namun saya tak bisa mengikuti perintah itu. Saya tak mau dijebloskan ke dalam penjara, dan saya tak bisa kabur dengan mudah seperti Mayor Schera.”
Ketika Vander bersenda gurau dengan Schera, Katarina melemparinya dengan bendera yang sedang ia genggam.
“Hei, bukankah sudah kukatakan untuk menggerakkan tanganmu? Jika begini caranya, kita tak akan selesai hari ini!”
“Ya, ya. Aku mengerti, Oh Letnan Dua Katarina yang agung… Mayor, kami akan melanjutkannya. Jika atasan kami ikut melakukan tugas serabutan seperti ini, hal ini akan memengaruhi harga diri pasukan kita.”
“Seperti yang ia katakan, Mayor, Anda tak perlu terlibat untuk hal-hal seperti ini!”
Katarina angkat bicara. Ini bukanlah tugas bagi seorang pahlawan. Namun, seakan tak peduli, Schera tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Aku tak tahu harga diri apa yang kau maksud, kau bisa melemparkannya untuk dimakan anjing, aku tak perduli. Aku punya waktu luang, jadi aku tak masalah dengan tugas seperti ini. Lagi pula, lihat. Mereka yang berasal dari satuanku sedang melakukan hal menarik.”
Schera menunjuk ke arah sekumpulan pasukan dengan cat khusus, yang entah mengapa, sedang ribut-ribut. Sepertinya mereka sedang mengecat ulang bendera Pasukan Ketiga. Seorang prajurit yang terlihat memiliki jiwa seni sedang memegang kuas dan menggerakkan tangannya dengan perlahan.
“Apa yang sedang mereka lakukan? Sepertinya mereka sedang menulis sesuatu, tapi…”
Ketika Vander memfokuskan matanya, mereka telah selesai mengecat bendera itu menjadi warna hitam pekat. Mereka merubah bendera itu menjadi serasi dengan Schera.
“Mereka bilang mereka sedang memanfaatkan barang-barang bekas untuk hal yang berguna. Kupikir, benda itu akan menjadi sampah pada akhirnya, jadi kurasa tak akan masalah dan kuizinkan mereka melakukannya. Bendera-bendera ini masih bisa dipakai, jadi kurasa akan sangat sayang jika harus dibuang.”
“Jika mereka bertingkah seenaknya begini, mereka pasti akan dimarahi lagi. Dari tadi mereka sudah dipelototi oleh orang-orang.”
“Aku tak peduli. Jika hanya dipelototi, tak akan ada hal buruk yang terjadi.”
Bergumam bahwa ia tak peruli, Schera melanjutkan pekerjaannya. Pasukan Kavalerinya yang sedari tadi membuat kegaduhan, merasa senang dengan hasil pekerjaan mereka, lalu bersorak gembira. Mereka memasangkan bendera itu pada sebuah tiang dan dengan bangganya mengayun-ayunkan bendera itu. Sebuah emblem burung putih tergambar pada latar belakang yang berwarna hitam.
“Menurutmu itu gambar apa? Burung, bukan?”
“Mereka bilang itu gagak putih. Katanya, pada tempat kelahirannya, burung itu adalah burung suci yang berkuasa atas hidup dan mati, dan menurutnya, lambang itu sangat cocok untukku dan sangat berharap agar aku mengenakannya. Sepertinya, hasilnya terlihat cukup baik.”
“Apa gagak seperti itu benar-benar ada?”
“Jika memang benar ada, aku ingin mencicipinya. Kira-kira, bagaimana ya rasanya?”
Gagak putih juga melambangkan pertanda baik. Tentu saja, gagak itu tak benar-benar ada. Para prajurit itu, yang menyamakan Schera dengan sang Maut, merasa bahwa emblem itu cocok digunakan sebagai lambang mereka. Karena nama Schera akan semakin terkenal, bendera ini akan berperan penting. Hanya dengan melihatnya, para musuh akan gemetar ketakutan. Hanya dengan mengibarkannya, seseorang akan merasa bahwa darahnya mendidih, dan tak lagi takut mati.
Semuanya karena para prajurit itu, yang dipenuhi dengan harapan, bekerja atas inisiatif mereka sendiri demi pimpinan mereka yang sangat mereka agungkan.
“Walaupun begitu, tidakkah bendera hitam pekat seperti itu membuatmu merasa tak nyaman? Tak hanya itu, dengan seenaknya membuat bendera dengan lambang dapat mengakibatkan masalah antara Anda dengan pengadilan militer.”
“Itu tak akan terjadi. Sekarang aku adalah seorang bangsawan, aku tinggal bilang bahwa bendera itu adalah lambang keluarga Zade yang baru. Yah, jika ini jadi masalah, kita bisa berkata bahwa kita tak tahu menahu soal ini. Omong-omong, kau punya cemilan?”
“Ah, aku membawa beberapa permen keras. Apakah Anda mau mencobanya?”
Katarina mengeluarkan sebuah botol kecil dari kantongnya. Sepertinya ia membawa permen ini ke mana-mana demi atasannya. Menurutnya, permen itu setidaknya terlihat lebih layak daripada roti yang dikunyah di tengah-tengah pembicaraan penting. Menurut apa yang didengar Katarina, sepertinya Schera dicurigai mengikuti pertemuan dewan militer yang lalu sambil mengunyah kacang. Katarina yang menebak bahwa ini bukanlah hanya sebuah rumor, telah menyerah untuk mengonfirmasi kebenaran berita itu. Tentu saja ia tak mau bertanya, ‘Apakah anda benar mengunyah kacang selama dewan militer berlangsung?’
“Terima kasih banyak. Boleh kuminta sedikit?”
“Tentu saja, silakan.”
Tak berhenti untuk menggubris para prajurit yang berlari ke arahnya, ia mulai mencicipi permen yang diberikan oleh Katarina. Rasanya hanya manis. Menahan keinginannya untuk mengunyah permen itu, ia dengan saksama menikmati sensasi manis yang dihasilkan permen itu.
“Kami berhasil, Mayor! Bagaimana menurut Anda?”
“Ah, ya. Sangat bagus.”
“Terima kasih banyak! Kami akan menjadikan ini bendera unit kami, Kavaleri Schera!”
“Silakan, silakan. sepertinya bagus. Pemikiran kalian sangat bagus.”
Kepada prajurit yang bertanya dengan penuh semangat, Schera hanya mengangguk dan mengiyakan. Ia sama sekali tak peduli dengan sebuah bendera. Menurutnya hal ini cukup berguna untuk membedakan kawan dan lawan. Wajah prajurit itu memerah atas pujian dari komandannya yang gagah dan pemberani itu. Ia mengangkat bendera itu tinggi. Sang Gagak Putih seakan terbang disinari oleh matahari yang agung. Merasa cukup puas, ia berbalik dan menatap rekan-rekannya.
Lalu, “Kita akan mengecat semua bendera yang ada di bagian ini!” dengan pernyataan yang meresahkan itu, ia bersiap untuk melanjutkan aksinya. Sepertinya ia sudah mulai diracuni oleh kepribadian atasannya.
“Semangat mereka sangat tinggi. Jauh berbeda dengan kondisi pasukan dari unit lain. Sepertinya, kepercayaan mereka pada Anda sudah cukup menjadi bukti,” ucap Katarina sembari membetulkan kacamatanya.
Ini bukanlah sanjungan maupun usahanya untuk menjilat atasan. Jika mereka mendengar baik-baik, mereka bisa mendengar prajurit tadi berkata “Schera memberikan ucapan selamat padaku! Mungkin kalian kira aku melebih-lebihkan, tapi aku melihatnya dengan mata kepala kusendiri!” dengan keras.
“Kurasa kami sudah cukup lama bersama. Rasanya sejak kejatuhan Antigua. Komandan mereka juga kalah dan gugur dalam pertarungan satu lawan satu.”
Semua atasannya kebanyakan telah gugur atau bernasib buruk, pikir Schera. Mungkin seharusnya Yalder, yang masih bertahan hidup hingga kini, harus bersyukur dan merasa senang. Schera berpikir bahwa mungkin dialah sang pembawa nasib buruk, namun sebaliknya, ada juga orang-orang yang telah ia selamatkan, dan membuat dirinya segera membuang pikiran itu.
Menyandang lambang penguasa hidup dan mati, Schera menatap burung putih yang ada pada baju zirahnya. Ia tak memikirkan sesuatu yang khusus. Oh ya, dia sudah lama tidak makan daging burung.
“Saya dengar Mayor Schera memegang komando sementara sejak saat itu. Anda menjatuhkan komandan musuh dan memenuhi misi Anda. Para pasukan kavaleri dengan bangga menceritakan kejadian ini, Anda tahu? Menurut mereka, Anda memimpin mereka layaknya seorang komandan veteran.”
“Bahkan diriku sendiri merasa aneh. Lebih cepat dari yang bisa kupikirkan, mulut dan tubuhku bergerak dengan sendirinya. Yah, kami bertahan hidup, dan bisa menikmati makanan hangat kembali. Itu cukup untuk membuatku merasa senang. Kebanyakan dari mereka juga berhasil kembali dengan selamat.”
Schera mengunyah permen itu. Ya, ia tak dapat menahan keinginannya. Ia tak tahan, dan mulai menghancurkan permen itu dengan rahangnya.
Ia berpikir untuk memakan satu permen lagi, namun sepertinya arah pembicaraannya kurang tepat. Schera berusaha menahan diri, dan mendengarkan pembicaraan mereka. Ia berusaha menahan diri, namun bayangan makanan berwarna putih dan berbentuk bulat melintas di kepalanya. Sepertinya, dirinya menghubungkan hal ini dengan daging burung yang ia pikirkan tadi.
.
.
.
Terjemahan ini milik Centinni
Bergabunglah bersama kami di discord untuk mendapatkan update terbaru dan kesempatan untuk bertemu penerjemah favorit Anda ~
Jadilah bagian dari komunitas indonesia yang menyenangkan ~
Tautan discord: https://discord.gg/qHkcfMc
Kami juga membuka donasi via Gojek pay guys. Setiap Rp. 10.000 yang terkumpul, kalian akan dapat satu chapter ekstra. Dan kalian juga, jangan lupa tulis untuk buku apa kalian berdonasi yaa. Kode QR ada di halaman muka yaaa.
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 11.1 - Rela Mati Demi Kenikmatan Absinthe (1)
Donasi pada kami dengan Gojek!
