The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia] - Chapter 1.1
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 1.1 - Roti yang Sangat Lezat (1)
Pada awalnya, ini hanyalah sebuah kisah biasa.
Sebuah desa miskin yang ditelan oleh kejamnya perang. Harta, makanan, dan nyawa, semuanya direnggut hingga habis tak bersisa.
Para penjajah dengan keji menginjak-injak tanah para penduduk desa, yang sebelumnya telah mengalami gagal panen dan dilanda kelaparan. Tanpa mampu melawan, hidup mereka yang menyedihkan satu per satu dicabut oleh sebilah pedang atau mungkin sebuah tombak.
Teriakan dan jeritan terdengar di seluruh penjuru desa, dan perlahan mulai menghilang seiring waktu.
Demi memuaskan nafsu bengis mereka, mereka kemudian membakar rumah-rumah setelah menjarah habis setiap harta berharga yang bisa mereka dapatkan. Seorang ayah dan anaknya mencoba kabur setelah melihat adanya kesempatan, namun malang, puluhan anak panah dengan tepatnya melubangi punggung-punggung mereka.
Tidak ada satu manusia pun yang mampu selamat dari lubang neraka ini.
Dari dalam api neraka yang membakar habis segala yang ia sentuh inilah,
terdapat seorang gadis kurus, lusuh, dan tirus, dengan matanya yang hampa dari segala bentuk api kehidupan tengah bersembunyi di dalam gubuk reyot. Ia tidak lagi memiliki daya maupun tenaga untuk bahkan sekedar menggerakkan kaki-kakinya. Keluarganya telah mencoba untuk lari, namun akhirnya mereka terbunuh.
Gadis yang terlalu lemah untuk mampu bertani itu akhirnya hanya dianggap sebagai beban, tak hanya oleh para penduduk, namun bahkan oleh orang tuanya sendiri. Mereka pun menganggap bahwa kematian gadis itu akan jauh lebih baik bagi kebaikan mereka. Oleh karenanya, gadis itu akhirnya menjadi satu-satunya penduduk yang ditinggalkan, dan satu-satunya yang masih bertahan hidup hingga sekarang, karena tak ada seorang pun yang berhasil kabur hidup-hidup dari desa yang dikepung itu. Kepasrahan, rasa putus asa, dan kepedihan telah memenuhi dan saling bercampur aduk dalam hatinya.
Namun, di atas semua perasaan itu, ada sebuah perasaan yang lebih kuat di dalam dirinya. Hanya sebuah perasaan yang bisa melebihi semua hal itu. Adalah sebuah hasrat pahit yang menyedihkan, sebuah hasrat yang juga bisa dikatakan sebagai insting dasar manusia,
Sebuah rasa “lapar”.
Sejak gadis ini lahir, ia tidak pernah merasakan rasa kenyang. Panen yang berlimpah tidaklah dapat diharapkan dari tanah kering yang tandus ini. Ditambah lagi dengan upeti yang tidak manusiawi, tidaklah mungkin bagi warga desa itu untuk dapat menikmati jerih payah mereka. Sisa makanan yang sangat sedikit itu pun akan dibagikan kepada para pekerja. Mereka yang pergi berburu, mereka yang menggarap ladang-ladangnya, mereka yang harus menjaga dan membesarkan anak-anaknya.
Gadis lemah yang tidak mampu melakukan satu pekerjaan itu pun hanya bisa mendapatkan makanan yang sisa.
Adalah sebuah keajaiban dan keberuntungan karena anak itu bisa bertahan hidup hingga sekarang. Karena Desa-desa lain terpaksa harus mengorbankan penduduk mereka demi mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan.
Oleh karena itu, ketika para penjajah itu datang, gadis itu bahkan tidak gemetar. Bahkan ketika mereka menunjukkan senyum keji dan biadab, gadis itu bahkan tidak memalingkan wajahnya. Bahkan ketika salah seorang dari mereka mendorongnya dan berusaha untuk menidurinya, gadis itu bahkan tidak melawan.
Bahkan ketika sang Maut datang sembari membawa sabit besarnya, gadis itu tidak merasakan panik dan takut. Apakah itu hanya ilusi, apakah itu benar-benar dewa kematian, apakah ia datang untuk mencabut nyawanya?
Sang Maut, datang dengan jubah hitam lusuh dan topeng putih. Namun rasa lapar tidak bisa dipuaskan dengan kemunculan sosok menakutkan sang penguasa kematian tersebut. Sosok sang Maut dan prajurit yang mendorongnya tersebut terlihat saling bertumpuk. Pandangan gadis itu sepertinya semakin tidak beres. Di dunia yang tampaknya semakin dinodai dengan cela ini, sang gadis tersebut berkali-kali mengulang kata lapar dalam pikirannya.
Baju lusuh gadis itu mulai dilucuti dengan paksa. Gadis itu tidak lagi peduli dengan apa yang mungkin akan terjadi kepadanya. Perutnya kosong, tidak adakah satu hal pun yang bisa ia makan? Gadis itu bersenandung sambil melihat-lihat.
Dari perilakunya yang tak lazim itu, sang tentara yang sedang berusaha untuk menidurinya menunjukkan wajah yang bingung. Ketika pandangan sang tentara tersebut bertemu dengan mata sang gadis, seketika, sang tentara itu terkesiap. Seorang tentara terlatih, tentara yang telah membunuh puluhan nyawa, kini terpaku dalam kengerian.
“K-kau, apa yang-”
“….zat.”
“A-apa?”
“Kau, kau tampak sangat lezat.”
Gadis itu menatap lelaki yang seolah dirasuki oleh Sang Maut, dan hanya ada satu hal yang terlintas dalam pikirannya. Bibirnya bergerak, membentuk sebuah senyum bahagia, sembari menunjukkan giginya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah,
“Leher lembut orang ini….. Terlihat sangat lezat.”
.
.
.
Dua negara, Kerajaan Yuze dan Kekaisaran Keyland, saling berjuang, bertikai, demi merebut kekuasaan absolut terhadap Benua Mundo Novo. Sangat jelas bahwa keadaan saat ini sangat genting. Pemicunya adalah gagal panen masal tahun lalu. Kerajaan Yuze yang memiliki daerah dengan gagal panen terbanyak, hingga terpaksa harus bergantung pada impor bahan makanan dari negara lain. Namun, Serikat Dolebacks yang merupakan mitra dagang mereka, tiba-tiba memberlakukan embargo.
Bersamaan dengan itu, Kekaisaran Keyland secara sepihak menarik perjanjian non-agresi mereka. Serikat Dolebacks merupakan daerah yang menyatakan kemerdekaan mereka dari Kerajaan Yuze. Kekaisaran Keyland seharusnya berada dalam pengaruh gencatan senjata terhadap Kerajaan Yuze, namun pertempuran kecil telah berulang kali terjadi di perbatasan. Jatuhnya ekonomi Yuze tentunya merupakan keuntungan bagi mereka. Dengan tujuan kehancuran internal, secara kooperatif mereka terus memberikan tekanan, secara perlahan memutuskan garis hidup kerajaan tersebut. Karena adanya embargo ini, keuangan Kerajaan Yuze mengalami defisit. Mereka terpaksa harus menetapkan upeti yang tinggi terhadap rakyat. Karenanya, tidak sedikit rakyat yang mati kelaparan dalam teritori Kerajaan Yuze.
Kekaisaran Keyland akhirnya memperlebar jangkauan mereka, dan berhasil mempengaruhi Putri Altura, seorang anak dari pangeran Kerajaan Yuze yang kini yatim piatu. Kerajaan Keyland kemudian mendanai Putri Altura dan membentuk “Pasukan Pembebasan Ibu kota Kerajaan”.
Sebagai otak dari operasi ini, Keyland kemudian menunjuk pangeran kedua mereka sebagai wakil pemimpin pasukan itu. Tentu saja pangeran itu akan menikahi sang putri, sebagai salah satu langkah Kekaisaran Keyland untuk mengambil alih kerajaan tersebut.
Para Pasukan Pembebasan sangatlah membutuhkan dana dan tenaga manusia. Mereka tahu bahayanya menjadi negara boneka, namun mereka memiliki alasan yang lebih penting untuk tetap menerima bantuan Kekaisaran. Demi membebaskan rakyat dari para tiran dan perang sebagai akibat dari perebutan kekuasaan, bagi mereka, Kerajaan Yuze yang menjadi tanah air mereka merupakan musuh dibandingkan Kekaisaran Keyland.
Pada awalnya, mereka berencana untuk membentuk Pasukan Pembebasan yang terdiri dari 30.000 orang prajurit, namun pada kenyataannya, mereka tidak bisa merekrut sebanyak itu.
Kerajaan Yuze sebenarnya mampu menghabisi pasukan tersebut, namun mereka memilih untuk mengabaikan pasukan kecil itu, dan memusatkan perhatian mereka kepada pergerakan Kekaisaran Keyland.
Hal ini kemudian menyebabkan Pasukan Pembebasan mampu merebut Benteng Salvador, dan dari sanalah, mereka perlahan-lahan memperluas genggaman mereka, mengundang mereka yang merasa dibebani oleh tirani Kerajaan Yuze. Jumlah mereka pun semakin bertambah, hingga pada akhirnya tidak mungkin lagi diabaikan oleh Yuze.
Jika dibiarkan, mereka bisa menjadi potensi yang berbahaya bagi Yuze. Pada akhirnya, para petinggi Yuze memutuskan untuk bergerak, semakin memerasa rakyat-rakyat mereka yang sudah di ujung tanduk.
Kastil Antigua adalah pertahanan garis depan dari Kerajaan Yuzu. Berada di bagian selatan Zona Perbatasan Pusat, merupakan pangkalan penting dalam memantau perbatasan Keyland. Lebih jauh di utara terdapat benteng Salvador, pangkalan para Pasukan Kebebasan.
Sejumlah besar aset mulai diinvestasikan untuk memperkuat dinding Kastil Antigua, sebuah deretan tembok kuat yang telah berkali-kali menangkis serangan Keyland. Separuh dari para tamtama1 ditempatkan di sini
Lalu, apakah mereka akan mati dalam suatu pertikaian kecil? Apakah mereka akan dihukum mati karena berusaha kabur? Atau apakah mereka akan bertahan dan mendapatkan upah mereka yang tak seberapa? Takdir manakah yang akan menanti mereka? Tentu saja, tak ada yang tahu. Tentu saja, diantara mereka terdapat orang-orang unik yang dengan sengaja mengajukan diri untuk bergabung dengan militer. Namun, kebanyakan dari para tamtama tersebut adalah mereka yang dipaksa melalui wajib militer.
Di antara para tamtama dengan raut wajah yang suram itu, seorang gadis sedang melahap sebongkah roti dan daging kering. Ia merupakan salah satu tamtama yang bisa dikategorikan sebagai mereka yang unik dan tidak biasa.
“Seperti biasa, kau menikmati waktumu dengan makan. Bukannya benda itu tak terlalu enak?”
“Ini enak. Karena aku bisa makan banyak. Karena mereka semua tidak suka makan sebanyak ini.”
“Selama perutmu kenyang dan buncit, enak dan tidak bukan masalah bagimu. Dasar anak aneh…”
Komandan peloton yang bertugas mengurusi para tamtama bergumam heran, namun gadis itu hanya meminum minumannya dengan sekali teguk, seolah tak peduli dengan sekelilingnya.
“Selera Schera agak aneh, ya kan? Itu rahasia umum. Tapi yang lebih penting, Komandan, apa rumor yang beredar itu benar?” tanya salah seorang prajurit peloton yang belum pernah terlibat pertempuran itu dengan gelisah.
“… Rumor apa?”
Komandan peloton balik bertanya dengan wajah serius.
“Rumor bahwa jumlah serangan kita terhadap para pemberontak semakin meningkat, dan tentang para petinggi militer mulai berdatangan?”
Petinggi militer yang disebut oleh tentara muda itu terdiri dari para laksamana atau mungkin para jenderal yang memiliki sederet medali yang disematkan di dada mereka, yang memiliki penjaga elit, beberapa pegawai, serta ratusan prajurit yang mengikuti mereka. Mereka merupakan bala bantuan yang berasal dari bagian timur Belta. Termasuk pasukan cadangan Antigua, dengan jumlah mereka yang kasarnya sekitar 100.000 orang. Ini merupakan pergerakan besar-besaran yang pertama sejak bertahun-tahun.
Jumlah mereka banyak, namun hanya dilengkapi dengan perlengkapan ala kadarnya, hanya cukup untuk menjaga nama Pasukan Kerajaan. Selain itu, kualitas dan pengalaman pasukan ini juga terbilang rendah. Bisa dibilang bahwa sebagian pasukan ini terdiri dari gerombolan yang tidak berguna.
“…Ahh, seharusnya tidak lama lagi kita akan menerima perintah. Kita harus bersiap-siap dengan bekerja keras dalam latihan kita. Hidup dan mati kita akan benar-benar bergantung pada kebiasaan latihan kita, dan keberuntungan.”
“Uwaaa, jadi itu benar, tapi aku masih belum mau mati…”
“Terima kasih atas makanannya.”
Gadis muda yang dikenal dengan nama Schera itu menelungkupkan kedua tangannya, ekspresinya terlihat puas. Melihat itu, prajurit muda itu spontan meneriakkan kritikan.
“Ayolah, jangan hanya memikirkan soal makanan. Pikirkanlah tentang apa yang baru kami katakan. Hidupmu besok lebih penting daripada sepotong roti dan daging kering kan?!”
“Bagiku, roti dan daging hari ini lebih penting. Mereka sangat penting, jauh lebih penting daripada aku harus mengiyakan protesanmu.”
“Dasar kau gadis cerewet bau kencur!”
“Bau kencur? Tidak terima kasih.”
“Hei, anak baru, sudah cukup. Ayo, kalau kau sudah selesai makan, cepat kau kembali berlatih!”
Kedua tentara itu mengambil sikap hormat ketika kepala peloton berteriak, dan mereka tergesa-gesa kembali ke lapangan.
Pemuda itu tampak normal, layaknya pemuda pada umumnya. Jika keberuntungannya bagus, dia akan tetap hidup. Dan jika buruk, kemungkinan terburuknya dia akan mati, tanpa meninggalkan apapun, bahkan namanya dalam catatan sejarah. Dia hanya seorang prajurit biasa, barang yang bisa dibuang.
Namun, tentu saja dirinya menyadari hal ini. Hanya dengan keberuntungan, dia bisa memiliki hak untuk membanggakan bahwa dirinya mampu bertahan hidup.
Pemimpin peloton itu menyalakan rokoknya. Asap rokok memburamkan pandangannya.
Namun, gadis itu, gadis muda itu, gadis muda yang baru saja cukup umur untuk mendaftarkan dirinya dalam militer, merupakan suatu keanehan. Ia adalah gadis aneh yang dengan sukarela mendaftarkan dirinya dalam militer.
Usianya sekitar 16 tahun. Tanah kelahirannya merupakan desa pertanian yang telah diserbu oleh pasukan pemberontak. Alasannya bergabung dengan militer sangat konyol, “Untuk makan hingga kenyang”. Ada satu alasan yang membuat gadis muda yang tampak tidak mampu untuk sekadar mengangkat sebilah pedang ini diterima oleh militer. Karena dengan berlumuran darah, ia membawa kepala sepuluh orang tentara pemberontak saat mendaftar. Kepala-kepala itu, bersama dengan surat identitas mereka dimasukkan begitu saja kedalam sebuah kantong kulit besar. Ia bahkan dengan baiknya membawa pulang bendera dari pasukan yang mengaku sebagai Pasukan Kebebasan tersebut.
Dalam keadaan normal, seharusnya banyak orang yang akan merasa curiga, namun ada satu hal terkenal yang sangat dibanggakan oleh kerajaan ini. Selama seseorang memiliki kekuatan untuk membunuh musuhnya, maka tidak masalah. Oleh karenanya, gadis itu pun langsung diterima dalam pasukan. Saat itu, sedikit uang telah diberikan kepada gadis itu sebagai hadiah terhadap jasanya membunuh pasukan musuh. Dan kemudian, takdir mengatur agar gadis itu menjadi salah satu tentara yang berada di bawah pimpinannya. Pria yang diangkat sebagai pemimpin peloton itu, hanya bisa mendesah setelah mendengar cerita itu.
“Haaah, aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya merasakan firasat buruk tentang gadis ini…”
Melihat gadis itu berlatih dan mengayunkan sabit besarnya, sang kepala peloton kembali menghela nafas. Terlepas dari betapa konyolnya pemandangan itu, gadis itu dengan sigap memperlihatkan kemampuannya dalam menggunakan sabit yang ia dapatkan entah darimana, walaupun ia diperbolehkan untuk menggunakan pedang.
Saat gadis itu pertama kali bergabung dalam latihan, pria itu mengingatkan sang gadis, “Jangan gunakan sesuatu yang di luar kemampuanmu”, dan ia pun mencoba untuk menyita sabit itu. Namun, Komandan peloton terpaksa menjatuhkan sabit itu, karena beratnya yang jauh diluar dugaannya. Ia bahkan membutuhkan dua orang tamtama hanya untuk mengangkat sabit yang konyol itu. Bisa mengayunkan sabit itu adalah suatu hal yang mustahil. Walaupun merupakan sebuah misteri, bagaimana gadis kurus kering itu mampu mengangkat sabit seberat ini, dibandingkan harus memegang pedang, gadis itu jelas menunjukkan lebih andal dalam mengayunkan sabit itu ketimbang pedang biasa. Mungkin bukan hal yang berlebihan jika gadis itu dikatakan tidak punya harapan dalam ilmu pedang.
Mau tak mau, ia harus menerima gadis itu sebagai kasus khusus. Namun bagaimanapun juga, sebuah sabit merupakan senjata yang tidak bisa dikategorikan sebagai senjata. Benda itu tidak bisa mengalahkan jangkauan tombak, dan kalah jauh dalam kemampuan memotong suatu benda jika dibandingkan dengan pedang. Benda ini tampak intimidatif, namun sebagai sebuah senjata, nilainya hanyalah itu, hanya sebuah ornamen. Alasan mengapa sabit tidak dipandang sebagai senjata dalam perang sangatlah simpel. Benda ini tidak dibuat dengan tujuan untuk membunuh manusia.
Namun, ketika ia melihat gadis muda itu mengayunkan sabitnya dengan ekspresi bahagia dengan mata sabitnya yang memotong-motong boneka jerami, ia teringat akan sesuatu, walaupun itu adalah sebuah hal yang tak mengenakkan. Tentang makhluk yang ditakuti dan harus dihindari semua orang.
Diselimuti jubah hitam, sebuah sosok yang memburu jiwa-jiwa para manusia. Sebuah simbol jahat yang hanya muncul pada akhir hayat seseorang.
Maut.
“Hei, Schera. Apa kau benar-benar akan berperang dengan sabit itu? Itu tidak praktis dan tidak efisien. Tidak ada yang hebat dari benda ini, bahkan walaupun kau memiliki kekuatan yang luar biasa.”
Pemuda tadi berteriak kepadanya dengan nada khawatir. Ia memiliki mulut yang kasar, namun sekasar-kasarnya pria itu, ia tetap adalah seorang pemuda yang baik dan perhatian.
“Pedang biasa tidak cocok buatku, jadi ya apa boleh buat. Sabit ini terasa sangat cocok untukku. Aku juga tak tahu kenapa.”
Schera mengangkat sabit itu dengan satu tangan, dan ujung tajam sabit itu menyebabkan kepala dari boneka latihan yang dijadikan lawannya, terbang melayang. Rambut hitam kecoklatan Schera mengayun bebas seiring dengan ayunan itu. Tidak panjang, tidak juga pendek, rambut Schera menjuntai sepanjang pundaknya. Dengan wajah murung, ia mengayun-ayunkan tangan kirinya. Pemuda yang berada di dekatnya terkejut melihat pemandangan itu.
“Dari mana kau menemukan benda itu? Jangan bilang itu khusus dibuat untukmu?”
“Aku memungutnya.”
“Tidak mungkin! Mana mungkin benda berbahaya seperti itu bisa tergeletak begitu saja di jalanan?”
“Apakah kau benar-benar ingin tahu?”
“Kalau kau mau bercerita, maka aku akan mendengarkan, mumpung kita sedang membicarakan hal ini.”
“… Sebenarnya,”
Suara Schera semakin mengecil, diikuti dengan senyumannya yang terlihat menghipnotis. Sikapnya berbeda dari perilakunya yang biasa. Prajurit muda itu dengan refleks menelan ludahnya.
“Sebenarnya?”
“…. Aku adalah Dewa Kematian.”
Kata-kata itu dibisikannya ke telinga sang pemuda. Pemuda itu, sadar bahwa ia sedang dipermainkan, berteriak dengan wajah yang memerah.
“Dasar kau anak ingusan! Aku sudah serius mendengarkan!”
“Karena aku sudah mengatakannya padamu, kapan-kapan traktir aku roti. Kalau bisa dengan keju juga. Aku sudah tak sabar menunggu. Janji ya.”
Schera mengulurkan tangannya, namun pemuda itu menepisnya dengan kuat.
“Berisik! Kau makan saja rumput di jalan!”
Pemuda itu menegakkan bahunya dan berjalan ke arah boneka jerami lainnya. Setelah bosan melihatnya, Schera melanjutkan kembali latihannya.
“Kalau rumput, aku sudah pernah memakannya berkali-kali. Rasanya tak enak. Pahit dan sama sekali tak mengenyangkan. Manusia bukan kuda atau sapi…. Hal terenak yang pernah kumakan adalah…”
“Dewa kematian saat itu”
Dari atas, sabit itu mengayun vertikal di atas kepalanya, membelah boneka jerami itu menjadi dua.
.
.
.
-
- Tamtama adalah tingkat ketentaraan terendah, tentara yang baru direkrut.
-
- Komandan peloton atau Platoon leader., adalah kelompok terkecil dalam kemiliteran. Dalam militer, biasanya pasukan akan dibagi bagi kedalam kelompok untuk mempermudah komando, dimulai dari pasukan/squad, peloton/platoon, hingga korps atau divisi, tergantung badan ketentaraannya
- Home
- The Girl Who Ate a Death God [Bahasa Indonesia]
- Chapter 1.1 - Roti yang Sangat Lezat (1)
Donasi pada kami dengan Gojek!
