Eliza (I Reincarnated as a Noble Girl Villainess) [Bahasa Indonesia] - Chapter 69
- Home
- Eliza (I Reincarnated as a Noble Girl Villainess) [Bahasa Indonesia]
- Chapter 69 - Batu Nisan Tanpa Nama
Satu bulan tertidur pasti telah menurunkan stamina dan kekuatan Eliza. Tubuhnya tidak bergerak seperti yang dia mau, dan rasanya berat. Karena kondisinya telah seperti ini, dia sebenarnya ingin seseorang untuk membantunya, tapi tidak ada orang yang melakukannya.
Hal yang bisa dia lakukan adalah bergantung pada Rashiok, dan berjalan hampir seperti merangkak.
Dan begitu, dia tiba di kolam kecil dekat taman. Cemara beracun yang telah membunuh keluarganya masih tumbuh hijau di bawah sinar matahari, dan masuk ke bidang penglihatan Eliza. Meskipun ada bunga berwarna cerah disini saat musim panas, saat ini sudah lewat pertengahan musim gugur, dan hanya terlihat warna coklat dan hijau kusam.
Kolam ini tidak sering dilewati oleh manusia. Tanpa memikirkan itu, Eliza berjalan ke mengitari tepi kolam.
Saat ini kolam hanya menjadi tempat penampungan air, dan dibuat sudah lama untuk melengkapi taman.
Dibangun bahkan sebelum ada mansion, sudah sangat lama.
Itulah mengapa, masih ada jejak orang dari zaman dulu yang tertinggal di kolam. Sisi kanan kolam bisa dilihat dari taman mansion, dan berbagai bayangan pohon jatuh menimpa air kolam, dan di bawah air ada batu di sana sini. Eliza menjatuhkan dirinya ke tunggul pohon datar.
Ada sedikit suara ketika air beriak dari angin yang juga menggoyangkan rerumputan, dan selain itu yang Eliza dengar hanya degup jantungnya.
Meskipun udaranya dingin, berkat Rashiok yang berbaring di sampingnya dan menghangatkannya, dia dengan cepat melupakan udara dingin.
Saat dia menghela napas, Eliza berhenti untuk melihat ke lokasi tertentu. Pandangan matanya diarahkan pada pangkal pohon, dimana ada batu mengkilap yang tingginya kurang dari setengah tinggi tubuhnya.
Itu adalah nisan kuburan.
Meskipun tidak ada nama yang dipahatkan, ataupun ada tubuh yang mungkin terkubur di dalamnya, itu tetap nisan kuburan.
Eliza meraihnya dan menyeka debu yang ada pada nisan dengan jari – jarinya.
Rashiok membawanya ke mansion, meninggalkan tubuh Kamil di belakang, dan ini pertama kalinya dia kembali ke kolam ini. Dia belum lupa orang yang memiliki batu nisan ini, hanya saja dia sudah terikat oleh semua emosi dan perasaannya.
“-sudah lama. Maaf karena tidak datang selama ini.”
Eliza mulai berbicara kepada nisan dengan suara kecil. Tentu saja tidak ada jawaban. Karena nisan dimaksudkan untuk orang mati, dia tidak mengharapkan ada jawaban.
“…Aku membiarkan seseorang yang penting untukku mati. Semua karena kebodohanku.”
Meski begitu, Eliza terus berbicara pada batu nisan, hanya seorang diri. Meskipun jemarinya kotor karena menyeka debu yang ada di permukaan batu, dia tidak peduli.
“Kamil… Kau telah menjadi orang yang penting bagiku…”
Hanya ada suara gemerisik dari angin musim gugur yang melalui daun sebagai jawaban. Suaranya menggema di semua tempat, sementara Eliza dalam diam berpikir kepada diri sendiri selama beberapa saat.
“Aku selalu berpikir bahwa jika aku mempercayai orang, aku akan dikhianati dan kehilangan nyawaku, tapi sekarang aku tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpa mempercayai orang… atau mungkin, aku seharusnya berkata bahwa aku merasa akan lebih baik untuk mati daripada dikhianati.”
Setelah mengatakan itu, Eliza terdiam selama sesaat. Dia menunduk untuk menghindari terik matahari.
“…Berkat semua ini, aku mengingat berbagai hal di dalam mimpiku yang sudah lama terlupakan. Meskipun aku memiliki semua kenangan itu, semua sudah terlanjur…”
Dia mengatakan semua kata – kata itu dengan tidak ada kekuatan di belakangnya. Tidak ada intonasi dalam suaranya, dan jelas suaranya terdengar kosong.
Saat ini, hati Eliza masih diatur oleh pikirannya tentang yang telah pergi. Ketika Eliza dibangunkan oleh Ratoka yang mengguncangnya dan berteriak di telinganya, dia sebenarnya sedikit kesal, tapi saat ini dia tidak sebenarnya tidak jauh berbeda dari ketika dia tidur.
Setelah kehilangan Kamil, rasanya seperti ada lubang besar di dalam dirinya, dimana emosi dan perasaannya telah keluar.
“…Aku telah tidur dalam waktu yang lama. Aku akhirnya bangun karena bocah itu terus mengguncangku. Aku pikir aku seharusnya memanggilnya Elise. Kamil, kau pernah bertanya apa yang aku lakukan sebelumnya, memberinya nama yang serupa denganku, seseorang yang sangat dia benci. Itu karena aku bisa membuat gadis lain bernama Elise… sebenarnya apa yang sedang aku lakukan, aku ingin tahu. Daripada sesuatu seperti itu, aku seharusnya melakukan hal yang lebih baik…”
Eliza hampir terdengar seperti merintih, dan terdiam lagi. Dia mengingat kembali wajah menangis Ratoka ketika dia membangunkannya.
Bahkan jika seseorang menghiburnya, atau mendorongnya, dunia berkabut Eliza masih belum jelas. Tidurnya selama waktu ini, mungkin merupakan bentuk pelarian. Paling tidak, dia tidak menderita ketika tidur, dia tidak akan merasakan kesedihan atau bersalah atau yang lain. Bahkan jika itu menipu, itu masih semacam kedamaian.
Ledakan emosi Ratoka lah yang akhirnya menyeret Eliza keluar, memaksanya untuk menghadapi kenyataan lagi.
Meskipun Eliza pernah berpikir bahwa Ratoka cukup pintar untuk seusianya, tampaknya emosinya sedikit terbelakang untuk anak seusianya. Mungkin dia harus sedikit mengubah cara untuk menghadapinya, tapi saat ini dia belum mendapatkan ide apapun.
Pada kehidupan sebelumnya, dia tidak memiliki pengalaman dalam mengurus anak kecil atau semacamnya, dan dalam kehidupan ini, dia juga tidak memiliki teman yang berusia sama dengannya. Dia tidak memiliki pemahaman bagaimana emosi anak – anak seharusnya berkembang, dan pertama – tama dia sendiri tidak memiliki emosi ekspresif, jadi Eliza benar – benar tidak tahu.
Eliza mengalihkan pandangan dari nisan batu, menatap ke langit.
Langit biru belum berubah sama sekali, entah Kamil hidup, atau ketika dia mati, itu tetap sama.
“… Lahir di dunia permainan otome, aku pernah berpikir bahwa ini lebih menyenangkan. Aku bereinkarnasi sebagai gadis bangsawan jahat, tapi mengapa semua menjadi seperti ini?”
Sambil bergumam pada dirinya sendiri, dia menyeret dirinya ke arah Rashiok dan memanjat punggungnya.
Satu – satunya makhluk yang mendengarkan monolog Eliza selama ini adalah draconis-nya, yang akhirnya berteriak “kuu-on” sebagai balasannya.
Akhir Babak 1, Bagian 4
- Home
- Eliza (I Reincarnated as a Noble Girl Villainess) [Bahasa Indonesia]
- Chapter 69 - Batu Nisan Tanpa Nama
Donasi pada kami dengan Gojek!
